Liputan6.com, Karangasem - Hasil pengamatan citra satelit pada Gunung Agung yang sudah memasuki hari ke-11 sejak ditetapkan status Awas telah diterima petugas Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG). Namun, hasil tersebut belum bisa dianalisis lantaran dalam beberapa hari terakhir gunung api setinggi 3.031 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu terhalang kabut.
"Kemarin itu yang terakhir memang berkabut. Artinya, kita belum bisa menganalisis lebih jauh," ucap Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah PVMBG, Devy Kamil, di Pos Pengamatan Gunung Agung, Desa/Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa (3/10/2017).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Devy, sinyal yang tertangkap proses mitigasi keluarnya asap sulfatara masih terus berlangsung. Dari sinyal itu pula diketahui titik-titik asap sulfatara berasal dari di timur laut permukaan kawah.
"Kita tidak bisa pastikan keberadaan tepatnya. Tapi, hotspot-hotspot ini berada di timur laut permukaan kawah dan asap terlihat keluar," ia menambahkan.
PVMBG berharap asap sulfatara Gunung Agung terus keluar, sehingga tekanan di perut magma keluar. "Tapi, ini tidak kelihatan apakah suplai lebih kecil dari keluaran atau sebaliknya," ujarnya.
Devy memaparkan pula, hasil citra satelit menunjukkan adanya kepulan asap tipis di beberapa sisi lain kawah puncak Gunung Agung. Hotspot atau titik panas tersebut berada di bagian timur laut.
Di sisi lain ada titik panas di permukaan kawah Gunung Agung dengan intensitas lebih kecil. Hanya saja, tidak bisa begitu jelas hitungannya. "Karena dari atas itu kan tertutup asapnya ya. Yang kelihatan lebih dari tiga berdasarkan citra satelit," tutur Devy.
Saksikan video pilihan berikut ini:‎
Â
‎Gunung Agung Simpan Energi?
Sehari sebelumnya, Gunung Agung mengalami sedikit penurunan aktivitas vulkanik. Namun, menurut Kepala Sub Bidang Mitigasi Pemantauan Gunung Api Wilayah Timur PVMBG, Devy Kamil, hal itu justru harus diwaspadai. Sebab, ia mencontohkan, Gunung Merapi di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mengalami penurunan aktivitas sebelum akhirnya meletus.
"(Gunung Agung) ini masih belum stabil, masih naik turun. Merapi itu turun dulu baru erupsi. Makanya sekarang energinya kok menurun," tutur Devy di Pos Pengamatan Gunung Agung di Desa/Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem, Bali, Senin, 2 Oktober 2017.
Ia menganalogikan seperti orang yang tengah beraktivitas. Sebelum pergi bekerja, seseorang sarapan terlebih dahulu. Usai itu ia berangkat bekerja dengan aktivitas tinggi. Kemudian, orang itu bekerja untuk menghancurkan rumah dengan palu atau martil karena setelah makan punya energi.
Energi yang didapat itu seperti energi magma. "Setelah bekerja, energi kita habis kan. Tapi, besoknya kita makan lagi dan bekerja lagi. Itulah gempa-gempa yang kita rekam selama ini," ujar Devy.
Saat ini, magma terus berusaha menghancurkan perut Gunung Agung untuk mencari jalan ke luar.‎ "Nah, kalau misalkan sekarang yang mau dihancurkannya sudah tinggal sedikit. Apalagi yang mau dihancurkan? Maka, tidak akan muncul gempa-gempa itu. Merapi sebelum meletus tak ada gempa," Devy mengingatkan.
Menurunnya aktivitas kegempaan bukan bermakna habisnya energi magma, melainkan hilangnya energi gesekan magma yang menimbulkan kegempaan. ‎"Kalau gempanya berkurang, bukan berarti dia aman," katanya.
Ibaratnya, bila seseorang naik mobil di jalan datar, berarti aman. Namun, dalam kondisi tanjakan harus lebih hati-hati. Sebab, jika gas dilepas, mobil akan turun. "Sama seperti turunan, kalau rem dilepas turun dia. Kalau kita lepas setirnya, kecelakaan," ucapnya.
Lantaran itulah, Devy menegaskan, kondisi Gunung Agung saat ini tidak stabil.
Advertisement