Liputan6.com, Palembang - Menteri Sosial Khofifah Parawansa sudah mencanangkan 2017 sebagai tahun bebas pemasungan. Harapannya, pada tahun yang ditetapkan itu tidak ada lagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) yang dipasung, alias semuanya harus menjalani perawatan medis.
Apa yang dicita-citakan itu tampaknya masih jauh dari harapan. Secara nasional, jumlah orang yang dipasung pada 2016 lalu ditaksir lebih dari 18.000 orang. Berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) Sumatera Selatan (Sumsel) jumlahnya 386 orang.
Data soal jumlah kasus pemasungan juga ada dari Dinas Sosial (Dinsos) Sumsel. Dimana, jumlah orang yang dipasung lebih kecil, yaitu 295 orang dari pendataan di sembilan kabupaten.
Advertisement
Di Sumsel, daerah yang paling banyak kasus pemasungan adalah Kabupaten Empat Lawang. Data Dinkes Sumsel mencatat ada 92 kasus pasung, sedangkan Dinsos Sumsel menemukan 52 kasus. Kasus pemasungan terendah berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), yaitu sebanyak lima kasus.
Baca Juga
Selain pemerintah punya program bebas pasung, regulasi juga sudah mendukung program itu. Undang Undang No 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa juga tegas melarang praktik pemasungan dan menyediakan sanksi pidana bagi yang melanggarnya.
Belum ada terbaru secara nasional soal penderita gangguan jiwa. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesda) 2007 hingga 2013, penderita gangguan jiwa berat di Sumsel berada di barisan yang tergolong rendah.
Pada 2007 mencapai 0,92 persen, di tahun 2013 menjadi 0,11 persen dari total jumlah penduduk Sumsel. Secara nasional, berdasarkan data tahun 2013, pemasungan terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa berada di urutan 18 dari 33 provinsi, yaitu 14,4 persen dari total penduduk.
Kepala Seksi Pelayanan Rehabilitasi Sosial Penyandang Disabilitasi Dinsos Sumsel Yusri Hayani mengatakan,hasil survey itu menunjukkan bahwa pemasungan terjadi di kalangan keluarga dengan tingkat ekonomi menengah ke bawah.
Dari beberapa kasus, kata Yusri, mereka melakukan pemasungan karena sudah kehabisan dana untuk menyembuhkan penderita ODGJ. Padahal, untuk membiayai kehidupan sehari-harinya saja sudah sangat pas-pasan.
"Banyak sekali yang kondisinya buruk, tidak dimandikan, tidak menggunakan pakaian, dipasung di kamar berbau busuk. Bahkan ada yang ditempatkan satu ruangan dengan ayam," katanya kepada Liputan6.com, yang ditulis Jumat, 6 Oktober 2017.
Kepala Bidang P2P Feri Yanuar melalui Kepala Seksi (Kasi) PTM Keswa Icon Harizon mengatakan Dinkes Sumsel telah membentuk seksi khusus untuk menangani soal ODGJ ini. Penanganan tingkat awal bisa dilakukan tenaga medis puskesmas setempat.
Jika dari tingkat fasilitas kesehatan (faskes) awal tidak bisa lagi menangani, barulah diberi rujukan untuk pengobatan tingkat lanjut ke RSJ Ernaldi Bahar Palembang.
"Tidak semuanya harus dirujuk, karena kapasitas kamar rumah sakit juga terbatas," kata Feri.
Terapi kesehatan untuk ODGJ tidak hanya berpatok pada obat-obatan saja, namun juga bisa bersifat konseling agar gangguan kejiwaan tidak kambuh lagi.
Sayangnya, dari 300 puskesmas yang tersebar di Sumsel, baru sekitar 40 puskesmas yang sudah mendapatkan pelatihan konseling. Salah satunya karena kendala kucuran dana dari Kementrian Kesehatan (Kemenkes) RI yang terbatas.
Anggaran dari Kemenkes RI sebesar Rp 200 Juta dan tahun ini tidak ada dana khusus dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Sumsel untuk penanganan korban pasung.
Dia mengatakan pihaknya juga sering menerima ajuan rujukan ke RSJ Ernaldi Bahar Palembang dari luar provinsi, seperti Jambi dan Lampung. Di Sumatera, hanya ada dua faskes tingkat lanjut yang menangani secara khusus pengobatan gangguan kejiwaan, yaitu di Palembang dan Bengkulu.
Kabid Keperawatan RSJ Ernaldi Bahar Sri Suwarni mengatakan, banyak penderita gangguan jiwa baik dari Sumsel maupun luar provinsi sering dirujuk ke rumah sakit, namun masih terkendala keterbatasan fasilitas kamar. Di RSJ Ernaldi Bahar Palembang tersedia 250 unit tempat tidur.
"Banyak pasien lama, kasus pasung masih terus berlanjut karena keluarga tidak rutin memberi obat ke pasien setelah keluar rumah sakit. Padahal obat harus diberikan setiap hari seumur hidup agar tidak kumat," ujarnya.
Program Cegah Pasung
Penanggung Jawab Program Kesehatan Jiwa dan Napza Dinkes Sumsel, dr Farah Shafitry Karim, mengatakan, penyediaan obat untuk penderita gangguan jiwa sudah dianggarkan dari APBD Provinsi Sumsel, APBD Kabupaten/Kota dan Kementrian Kesehatan.
"Sudah tersebar di 17 kabupaten/kota. Takarannya tersebut dilihat dari jumlah pasien di tiap daerah. Stok obat juga sudah disebar untuk kurun waktu satu tahun, ditambah stok tambahan enam bulan. Setiap penderita gangguan jiwa wajib konsumsi dua butir obat setiap hari secara rutin," ujarnya.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel juga sudah mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 36 Tahun 2015 tentang Penanggulangan Pemasungan Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ). Dinkes kabupaten/kota juga terus memberikan laporan korban pasung. Dari laporan tersebut, Dinkes Sumsel langsung bisa evakuasi korban pasung.
Fidiansyah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Kesehatan Jiwa dan Napza Kementerian Kesehatan, mengatakan, masih tingginya kasus pemasungan juga menunjukkan rendahnya akses pelayanan Kesehatan Jiwa (keswa). Selain itu, ini mencerminkan kesenjangan pengobatan penderita gangguan jiwa yang masih tinggi.
Kementerian Kesehatan sudah menganggarkan dana untuk menangani pemasungan yang dibagi ke semua provinsi di Indonesia. Dana tersebut digunakan oleh provinsi untuk meningkatkan SDM dalam melaksanakan program Keswa dan monitoring pasung di daerah.
“Khusus untuk Sumsel, tahun ini kita berikan dana dekonsentrasi sekitar Rp 250 Juta untuk peningkatan SDM di puskesmas,” kata Firdiansyah.
Kementerian juga melakukan advokasi ke pemerintah daerah di 34 provinsi untuk membuat peraturan daerah atau peraturan gubernur tentang kesehatan jiwa. Namun saat ini, baru delapan provinsi yang sudah punya regulasi untuk melaksanakan Program Keswa.
Menurutnya, masalah pemasungan ini sangat kompleks. Karena terkait dengan faktor sosial, seperti stigma dan diskriminasi, budaya, ekonomi dan keterbatasan pelaku perawatan di dalam keluarga.
Ada juga masalah akses terhadap pelayanan kesehatan, faktor sumber daya manusia di bidang kesehatan, ketersediaan obat, minimnya dana, pelayanan dasar tidak tersedia, koordinasi lintas sektor belum berjalan dan regulasi serta kebijakan yang belum mendukung.
Kemenkes RI sedang menyusun Program Penanggulangan Pemasungan ODGJ yang nantinya akan dituangkan dalam peraturan menteri. Program tersebut berupa upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
“Ada upaya promotif untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dan keluarga tentang gangguan jiwa, sehingga tidak perlu melakukan pemasungan dan menghilangkan stigma negatif penderita gangguan jiwa,” kata Fidiansyah.
Upaya preventif juga dilakukan dengan deteksi dini terhadap gejala awal gangguan jiwa dengan melatih dokter dan tenaga kerja di Puskesmas. Tindakan kuratif dilakukan dengan menyediakan obat sehingga penderita pasca perawatan di RSJ dapat meneruskan pengobatan di puskesmas dan di rumah.
Untuk upaya rehabilitatif dilakukan agar penderita yang sudah stabil dapat beraktifitas dan bersosialisai kembali. Penanganan rehabilitasi psikososial harus dilakukan agar penderita mampu berinteraksi dengan masyarakat tanpa mengalami sitgmatisasi. Mereka juga perlu dibekali keterampilan untuk bekerja dan berperilaku.