Liputan6.com, Jambi - Jambi pernah memiliki dua lokalisasi tersohor, yakni Payo Sigadung dan Langit Biru. Lokalisasi Payo Sigadung atau biasa disebut Pucuk menjadi yang terbesar dan tertua di Jambi. Menurut salah satu sejarawan Jambi, Junaedi T Noor, lokalisasi Pucuk sudah ada sejak dekade 1970-an. Lokasinya di Kelurahan Rawasari, Kecamatan Alam Barajo. Daerah itu disebut Pucuk karena letaknya lumayan jauh dari tengah kota.
Sedangkan lokalisasi Langit Biru berada di Kecamatan Jambi Timur. Lokalisasi ini memang tidak sebesar dan terkenal layaknya Pucuk. Selain lebih kecil, lokalisasi ini juga dikenal sebagai tempat "buangan" bagi pekerja seks yang sudah uzur.
Dua lokalisasi itu resmi ditutup Wali Kota Jambi, Sy Fasha, 13 Oktober 2014 lalu, berbekal Peraturan Daerah (Perda) Kota Jambi No. 42 Tahun 2014. Para penghuninya dipulangkan menuju daerah asalnya masing-masing secara bergelombang. Fasha saat itu menyatakan, lokalisasi itu sangat berbahaya karena menyasar para pemula yang ingin mengenal seks.
Advertisement
Baca Juga
Manajer Program KPA Provinsi Jambi, Ferdi mengatakan, lokalisasi sebenarnya tidak berdampak langsung terhadap penularan HIV/AIDS . Sisi lain dari lokasilisasi, kata dia, adalah menjadikan praktik seks lebih terbuka dan mudah dideteksi. Sebab, hampir seluruh pekerja seks yang ada di lokalisasi itu mendapatkan layanan pemeriksaan HIV/AIDS secara rutin.
Menurut Ferdi, sebelum resmi ditutup, dua lokalisasi di Jambi itu menjadi salah satu sasaran kampanye pencegahan HIV/AIDS. Jumlah pekerja seks di lokalisasi Pucuk dan Langit Biru mencapai 500 orang, bahkan lebih. Salah satu dampak dari penutupan itu, mengubah praktik seks yang sebelumnya terbuka menjadi tertutup.
"Praktik tertutup ini yang berbahaya karena penjangkauan intervensi kampanye penggunaan pencegahan virus HIV/AIDS menjadi sulit," ujar Ferdi.
Penutupan itu menimbulkan praktik seks berlangsung secara sembunyi-sembunyi. Ini akan menyulitkan program pencegahan HIV/AIDS. Sebab, bisa dipastikan para pekerja seks menutup diri dan menyebabkan laju penularan HIV/AIDS malah lebih sulit dideteksi.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Jumlah ODHA di Jambi
Koordinator Jaringan Komunitas ODHA Kanti Sehati, David Chandra Harwindo mengatakan, ditutupnya lokalisas Payo Sigadung dan Langit Biru bukan solusi tepat untuk menekan laju HIV/AIDS di Jambi. Ia justru menilai penutupan lokalisasi itu tak hanya menyulitkan upaya kampanye terhadap para pengidap HIV/AIDS (atau disebut ODHA-Orang Dengan HIV AIDS), tapi juga bisa memperluas wilayah penjangkitan.
Menurut dia, sejak pertama kali ditemukan di Jambi, penyebaran HIV/AIDS terbanyak atau sekitar 80 persen ada di Kota Jambi. Selain karena jumlah penduduk yang lebih banyak, kota ini juga menjadi daerah urban atau tujuan prioritas bagi para pendatang. Penutupan dua lokalisasi itu mendorong sejumlah pekerja seks yang enggan pulang kampung malah memilih mencari lokasi baru untuk "usahanya".
Tempat yang disasar oleh eks penghuni Pucuk dan Langit Biru adalah daerah yang terdapat banyak perusahaan, baik tambang, perkebunan hingga kawasan pelabuhan. Sebab, di situlah terdapat kantong-kantong para pekerja tambang, perkebunan, dan pelabuhan yang tentunya memiliki uang untuk "jajan". Daerah-daerah itu seperti Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), Muarojambi, Tebo, dan Merangin.
David menyebutkan, berdasarkan pemantauan awal, di beberapa daerah itu ditemukan penderita HIV/AIDS baru dalam beberapa tahun terakhir ini. Pada tahun 2015 di Muarojambi ditemukan tujuh orang penderita AIDS. Di Tanjabbar juga terdapat tujuh orang ODHA, empat di antaranya positif AIDS. Di Merangin dan Tebo masing-masing ditemukan tiga dan dua orang yang terdeteksi HIV.
Ia mengatakan pula, fakta soal adanya penderita baru itu memperlihatkan ada pergeseran wilayah penjangkitan dari sebelumnya yang hanya terdeteksi di Kota Jambi. Selain karena tidak adanya petugas kesehatan yang memantau, sebagian daerah lokalisasi baru itu juga sukar dijangkau karena letaknya jauh.
"Ini karena titik-titik lokalisasi baru ini biasanya terdapat di wilayah-wilayah tambang atau perkebunan yang memang jauh dari perkotaan," ucap David.
Advertisement
Langkah Berat Pemerintah
Dinas Kesehatan Provinsi Jambi melakukan berbagai cara untuk menekan angka penderita HIV/AIDS. Hingga 2015 lalu, Dinkes Jambi diberi alokasi APBD Rp 1,5 miliar untuk biaya berbagai program penanggulangan HIV/AIDS. Antara lain, layanan berobat gratis untuk pasien kurang mampu melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesmasda) dengan rujukan RSUD Raden Mattaher. Lalu ada program sosialisasi, edukasi, dan pemberdayaan.
Saat masih menjabat sebagai Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jambi, Andi Pada menyatakan, berbagai program kegiatan itu melibatkan LSM yang selama ini fokus dalam isu HIV/AIDS.
"Edukasi ini juga berlaku tidak hanya kepada ODHA dan masyarakat umum. Namun juga pelatihan kepada petugas kesehatan agar lebih baik dalam memberikan pelayanan. Jangan sampai ada kesan diskriminatif atau pengucilan dari petugas terhadap ODHA," ujar Andi, akhir 2016 Lalu.
Selain itu, menurut Andi, ada juga program penambahan layanan kesehatan untuk ODHA. Paling banyak ada di Kota Jambi, yakni ada 20 puskesmas yang bisa melayani pasien HIV/AIDS. Kemudian ada 30 puskesmas lain yang tersebar di 11 kota/kabupaten di Provinsi Jambi.
Selanjutnya ada program layanan konseling dan testing atau voluntary, Counseling and Testing (VCT) di RSUD Raden Mattaher, RSUD A Manaf Kota Jambi, RSUD Daud Arif Kuala Tungkal di Kabupaten Tanjabbar dan RSUD Hanafi Kabupaten Bungo.
Empat rumah sakit pelat merah itu juga melayani program Care Support Treatment (CST) yakni berupa layanan medis meliputi psikologis dan sosial yang terpadu berkesinambungan. Lalu ada layanan PMTCT atau program Pencegahan Penularan HIV dari Ibu Hamil ke Bayi yang baru ada di RSUD Raden Mattaher, Kota Jambi.
Menurut Andi, seluruh data penderita sudah tercatat dan ditangani oleh masing-masing daerah di Jambi dan dikoordinasikan dengan Komisi Penanggulangan HIV/AIDS (KPA) Provinsi Jambi. Adanya perbedaan data antara Dinkes Jambi dengan KPA atau organisasi pendamping ODHA, menurut Andi, hal itu bisa saja terjadi.
"Sebab kami (Dinkes) hanya menerima laporan dari tiap puskesmas dan rumah sakit setiap triwulan," ujarnya.
Andi menilai, respons layanan untuk menangani penderita HIV/AIDS di Provinsi Jambi, sudah cukup lengkap. Selain layanan VCT, CST dan PMTCT, untuk layanan Infeksi Menular Seksual atau IMS yang terdapat di Puskesmas Rawasari, Puskesmas Pijoan Baru di Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjabbar), dan Puskemas Muara Bungo di Kabupaten Bungo. Untuk layanan jarum suntik terdapat di Puskesmas Tanjung Pinang, Kota Jambi. Layanan Rumatan Metadon ada di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kota Jambi.
Untuk Layanan CST terdapat di Rumah Sakit Raden Mattaher, RSUD Hanafi Bungo dan RSUD Daud Arif Kuala Tungkal. Layanan PMTCT hanya terdapat di RSU Raden Mattaher. Sedangkan layanan pencegahan penularan HIV di kalangan pengguna napza suntik melalui Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM) ada di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kota Jambi.
Â
Penanganan HIV/AIDS di Jambi
Wakil Gubernur Jambi, Fachrori Umar juga mengatakan, Pemprov Jambi sudah cukup serius menangani masalah HIV/AIDS ini. Namun, dia mengakui bahwa alokasi anggaran untuk penanggulangan penyakit mematikan ini, yang besarnya Rp 1,5 miliar itu, masih minim. Pada, tahun ini, pemerintah provinsi akan berkoordinasi dengan DPRD untuk menambah alokasi anggarannya.
Profil Kesehatan Provinsi Jambi menunjukkan bahwa alokasi dana APBD untuk menanggulangi HIV/AIDS paling tinggi hanya pada 2016 lalu, yaitu Rp 1,8 miliar. Itu sekitar 0,5 persen dari seluruh total anggaran kesehatan Provinsi Jambi yang mencapai Rp 348.078.712.499,10.
Jumlah alokasi anggaran tahun 2016 ini memang lebih tinggi dari 2015 dan 2014 yang sama-sama Rp 1,5 miliar. Jumlah tersebut memang mengalami kenaikan dibandingkan dengan alokasi anggaran tahun 2013 yang Rp 1,2 miliar.
Menurut Koordinator Jaringan Komunitas ODHA Kanti Sehati David Chandra Harwindo, besar kecilnya alokasi anggaran merupakan salah satu faktor keberhasilan penanggulangan HIV/AIDS. Namun, faktor lain yang mempengaruhi adalah aspek sosialnya. Stigma dan diskriminasi terhadap penderita HIV/AIDS masih tinggi. Sebab, kebanyakan warga masih menganggap penderita HIV/AIDS adalah seseorang dengan riwayat hidup tidak baik, entah pelaku seks bebas atau pengguna narkoba.
"Padahal tidak semua penderita HIV/AIDS seperti itu. Banyak dari mereka yang tertular dari suami atau istri," ujarnya.
Meski pemerintah mengaku sudah menyediakan sejumlah layanan, menurut David, akses para penderita itu ke layanan kesehatan masih kurang dan sulit. Di beberapa tempat pelayanan kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas, belum menyediakan fasilitas kesehatan bagi ODHA.
Salah satunya adalah alat viral load yakni alat ukur jumlah virus HIV/AIDS dalam darah manusia. Sampai saat ini belum ada satu pun rumah sakit di Jambi yang memiliki alat tersebut.
Selain stigma jelek dari masyarakat, perlakuan serupa kadang juga datang dari petugas kesehatan terhadap ODHA. Dari beberapa kasus, kata David, ada sejumlah ODHA mengaku mendapat perlakuan kurang baik.
"Ada beberapa mengaku yang mendapat kata-kata tidak sopan. Atau ada juga yang tersinggung karena merasa menjadi bahan ejekan saat berobat. Hal ini menjadikan beberapa ODHA makin tertutup akan penyakitnya," kata David.
Kondisi tersebut diperparah oleh sikap warga dan pelaku usaha yang mengucilkan mereka. Jika ada ODHA yang ketahuan bekerja di suatu perusahaan, justru bisa dikucilkan, bahkan diberhentikan.
Ia berharap ada sosialisasi menyeluruh untuk menanggulangi HIV/AIDS ini. Masyarakat perlu diberi pengertian bahwa HIV/AIDS memang merupakan penyakit menular, tapi dapat diputus mata rantainya.
"Karena bagi orang yang baru mengetahui terinveksi HIV/AIDS, tekanannya amat tinggi. Kadang mereka hanya berpikir akan mati saja. Padahal, virus ini bisa dilemahkan. Penderita bisa hidup sehat asal menjalani perawatan yang tepat. Ini dibutuhkan dukungan semua pihak," ujar David.
Secara umum, kata David, upaya penanggulangan HIV/AIDS di Jambi dalam kurun waktu lima tahun terakhir menunjukkan peningkatan. Beberapa biaya pengobatan, mulai dari cek darah, obat rutin, sudah disubsidi oleh pemerintah pusat.
Upaya pengobatan HIV/AIDS juga sebagian sudah dicover BPJS Kesehatan. Ia menilai upaya pemerintah daerah di Jambi belum sepenuhnya tepat. Salah satu yang perlu didorong adalah lahirnya kebijakan pemerintah daerah khusus mengatur soal itu. Hingga kini, daerah yang sudah memiliki peraturan daerah (Perda) khusus HIV/AIDS baru Kota Jambi saja.
Menurut David, perda khusus tersebut bisa menjadi dasar atau payung hukum penanggulangan HIV/AIDS. Perda itu bisa mengatur berbagai hal meliputi aspek sosial yang berkaitan dengan ODHA/OHIDHA, pengobatan terhadap penderitanya, dan semacamnya.
Ia juga berharap pemerintah memberi perhatian kepada para pendamping ODHA. Salah satunya bisa dilakukan dengan memberi insentif. Sebab, pekerjaan pendamping itu tidaklah mudah dan tak banyak yang bersedia melakukannya.
"Pemerintah harus lebih serius (mengalokasikan) anggaran untuk HIV/AIDS ini," David memungkasi.
Advertisement