Sukses

Industri Rotan Cirebon, Hidup Segan Mati Tak Mau

Menurut sejumlah perajin industri rumahan di Cirebon, daftar permintaan dan harga ada, namun stok rotan minim bahkan tidak ada.

Liputan6.com, Cirebon - Industri kerajinan rotan di Cirebon, Jawa Barat, terancam gulung tikar. Kendati demikian, sejumlah pengusaha maupun perajin rumahan berupaya bangkit.

Ternyata, minimnya suplai bahan baku rotan yang dikirim dari Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera menjadi kendala utama. Bahkan, para eksportir rotan Cirebon terpaksa menolak permintaan buyer atau pembeli, baik dari Eropa maupun Asia.

"Suplai bahan baku selama tiga tahun terakhir sulit didapat. Tahun ini bahkan puncak kesulitan kami, baik industri maupun rumahan, untuk mencari bahan," ucap Dewan Penasihat Himpunan Meubel Kerajinan Indonesia (HIMKI), Zaenal Arifin, Kamis, 5 Oktober 2017.

Di sisi pengusaha, agak sulit membuat komitmen dengan buyer. "Karena pertama, buyer meminta volume yang kita sendiri takut mengatakan, iya," ia menambahkan.

Kondisi tersebut, menurut Zaenal, membuat kualitas hasil kerajinan rotan yang diproduksi menurun. Bahkan, hampir semua jenis barang yang diproduksi dilakukan substitusi. Misalnya, satu kursi yang dibuat menggunakan rangka kayu dan dibalut dengan anyaman rotan.Minimnya suplai bahan baku dari Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera, menjadi kendala utama para perajin rotan di Cirebon, Jawa Barat. (Liputan6.com/Panji Prayitno)Selain itu, saat ini, pembelian bahan baku rotan harus mengantre. Jika tidak mendapatkan bahan yang sesuai dengan kebutuhan, maka tidak produksi.

"Saya sendiri dan beberapa distributor besar kadang perlu sekian ton hanya bisa kebeli berapa bendel (ikatan rotan)," ujarnya.

Daftar permintaan dan harga ada, namun stok rotan minim bahkan tidak ada. "Benar-benar menyedihkan dan kecepatan produksi sangat terganggu. Jenis rotan juga sudah banyak yang tidak ada, seperti rotan lambang yang kualitasnya bagus," sebut dia.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Jalur Distribusi Rotan

Sejauh ini, jalur distribusi rotan ke Cirebon, harus melalui berbagai tahapan. Rotan yang diambil dari penghasil dikirim melalui kapal laut ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa TImur.

Namun, sebelum dikirim ke Cirebon, bahan baku rotan diolah terlebih dahulu. Rotan kemudian dikirim ke distributor dan setelah itu ke sejumlah usaha manufaktur di Cirebon.

"Jumlah yang masuk hanya 40 persen dari kebutuhan riil, sehingga hampir semua jenis barang yang diproduksi dilakukan substitusi dengan kayu," Zaenal membeberkan.

Dia mengaku, dampak positif pemerintah melarang ekspor bahan baku rotan ke luar negeri hanya bertahan sampai dua tahun. Hingga memasuki puncak kesulitannya, industri rotan pun kembali terganjal.

Seandainya aliran bahan baku bisa lancar, maka recovery dan pertumbuhan rotan bisa lebih baik. "Dari komitmen bisa memenuhi, desain pengembangan semakin luas dan produksi tidak jadi permasalahan terutama tidak mengecewakan customer." ujar dia.

Salah seorang perajin rotan rumahan, Sobari mengatakan bahan baku rotan untuk jenis rotan asalan saat ini tembus hingga Rp 12.000 per kilogram. Padahal, sebelumnya, harga rotan asalan itu Rp 7.000 per kilogram pada Oktober ini.

"Selain rotan asalan, rotan lesio atau rotan murni juga mengalami kenaikan harga mas. Tadinya itu harganya Rp 17.500 per kilogramnya, sekarang sampai Rp 22.000 per kilogramnya," katanya.

Sobari mengatakan pula, sekalipun ada kenaikan harga bahan baku rotan, harga produk kerajinan tetap tidak mengalami kenaikan. Sebab, mereka khawatir kehilangan pasar.

Minimnya suplai bahan baku dari Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatera, menjadi kendala utama para perajin rotan di Cirebon, Jawa Barat. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Adapun Sobari merupakan perajin rotan spesialis tudung saji yang dijual dengan harga Rp 25.000. Kendati bahan baku naik, dia mengaku belum bisa menentukan kenaikan hasil kerajinan rotan yang dibuatnya.

Perajin rotan yang lain, Hendi, juga menyesalkan adanya kenaikan harga bahan baku. Dalam kondisi pasrah, ia mengantisipasinya dengan mencari bahan baku sisa pabrik besar. Namun, dia tetap melihat kualitasnya.

"Mungkin karena cuaca juga mas, kan rotan tuh di hutan. Petani kesulitan mencarinya. Yang jelas ini dari sananya langka juga tuh mas," ucapnya.

Hendi juga mengaku kesulitan mencari karyawan yang mau bekerja di industri rumahannya itu. Upah yang minim, menjadi salah satu penyebab sulitnya mencari karyawan. "Karena daya jualnya segitu-gitu saja, ya upahnya juga segitu aja," katanya.

Hanya saja, bahan baku rotan terus naik. "Ini yang membuat kami kesulitan, apalagi kalau mencari karyawan. Karena upahnya di bawah Rp 100.000, mas," katanya.