Sukses

Kotabaru, Miniatur Kota Belanda Tempo Dulu di Yogyakarta

Kotabaru didirikan untuk obat rindu kampung halaman para pejabat Belanda di Yogyakarta pada masa kolonial.

Liputan6.com, Yogyakarta - Daerah Kotabaru di Yogyakarta selama ini dikenal sebagai kawasan lama yang bangunannya bercirikan kolonial. Rumah-rumah berarsitektur Belanda dengan pilar-pilar raksasa berjajar di ruas-ruas jalan Kotabaru. Kelurahan seluas 70 hektare yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Gondomanan ini dulu bernama Niewu Wijk.

"Kotabaru didesain oleh arsitek dari Belanda pada 1800-an untuk hunian pejabat pabrik gula Madukismo dan Sleman," ujar Riyan Wulandari, Lurah Kotabaru, beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, corak bergaya Hindia Belanda kental terasa di daerah itu untuk mengurangi homesick para pejabat itu.

Ada kesan mewah ketika orang berada di kawasan Kotabaru. Selain rumah yang berukuran besar, tata ruang juga dibuat menyerupai kota-kota maju di dunia kala itu. Hal itu ditunjukkan dengan artileri, pohon besar, ruas jalan cukup lebar, tanaman berbunga, dan bundaran yang kini dikenal sebagai Stadion Kridosono.

Sejumlah bangunan peninggalan Belanda pun sampai saat ini masih digunakan, seperti, Gereja Santo Antonius Kotabaru yang berdiri sejak 1926, SMA Bopkri 1 yang sebelumnya merupakan gedung Christelijke MULO, Gedung SMA Negeri 3 yang dulu digunakan untuk AMS.

Gedung SMP 5 yang dulu dipakai sebagai Normalschool, Gedung Kolese Santo Ignatius merupakan bekas kantor Kementerian Pertahanan, Museum Sandi Negara yang sebelumnya menjadi Kantor Kementerian Luar Negeri, dan sebagainya.

Kotabaru juga pernah menjadi merupakan wilayah pusat pemerintahan Jepang dan menjadi lokasi peristiwa bersejarah Pertempuran Kotabaru. Kantor Asuransi Jiwasraya yang dulu menjadi rumah dari pegawai asuransi dan pernah digunakan sebagai perundingan pelucutan senjata oleh M. Saleh dengan Butaico Mayor Otsuka pada 1945.Sebelum menyerbu kawasan Kotabaru, kelompok-kelompok pemuda dari Kampung Pathuk, Jagalan, Jetis Utara, dan Gowongan mengadakan pertemuan pada tanggal 5 Oktober 1945. Mereka sepakat menyiapkan sejumlah rencana untuk menguasai markas Jepang, antara lain para pemuda menunggu berita mengenai hasil perundingan dengan Jepang, melucuti senjata Jepang dengan cara damai, dan menyerbu Kidobutai kalau perundingan gagal.Jepang terdesak karena kekuatan rakyat bersenjatakan bambu runcing tidak bisa dibendung. Dalam pertempuran ini, sebanyak 27 tentara Jepang tewas dan berkibarlah bendera Merah Putih. Pasukan Jepang satu per satu mulai menyerah.

Gudang senjata juga direbut oleh para pemuda, sehingga banyak mendapat senjata. Akhirnya, pada 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, penjajah Jepang di Kotabaru secara resmi menyerah. Kemudian berkibarlah bendera merah putih di markas Kotabaru. Beratus-ratus tentara Jepang ditahan dan senjatanya dirampas.

Dalam penyerbuan Kotabaru, sebanyak 21 pejuang Yogyakarta gugur, dan sekitar 32 orang mengalami luka-luka. Mereka yang gugur adalah Sareh, Sadjiyono, Sabirin, Soenaryo, Soeroto, Soepadi, Soehodo, Soehartono, Trimo, Mohammad Wardani, Atmosukarto, Ahmad Djazuli, Achmad Zakir, Abu Bakar Ali, Djoemadi, Djuhar Nurhadi, Faridan M. Noto, Hadi Darsono, I Dewa Nyoman Oka, Oemoem Kalipan, dan Bagong Ngadikan."Saat ini Kotabaru menjadi kawasan penopang keistimewaan DIY seperti yang tercantum dalam peraturan daerah keistimewaan atau perdais, dari sisi arsitektur penempatan ruang Kotabaru untuk permukiman, ruang terbuka hijau, perdagangan, jasa, dan pelayanan umum," ucap Wulan.