Liputan6.com, Banyumas - Sukaryo (45) bersungut-sungut kala menciduk air dari dalam kolam pemijahan ikan dewa atau tambra yang dikelolanya. Ia memperlihatkan telapak tangannya penuh dengan gumpalan lumpur pekat.
Padahal, kolam yang diperlihatkannya adalah kolam yang mestinya paling bersih dan jernih. Sebab, di kolam itu, ikan peliharaannya berpijah. Namun, sekarang, kolam itu pun tak luput dari dampak keruhnya aliran Sungai Prukut yang menjadi sumber pengairan utama.
"Begini keadaannya, dasar kolamnya ada 5 senti lumpur yang mengendap," tutur Sukaryo, petani ikan Dewa di Desa Karangtengah Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Kamis, 12 Oktober 2017.
Advertisement
Kolam khusus pemijahan dibuat dua tingkat. Bagian atas dibuat lebih kecil, kira-kira berukuran 5x4 meter. Air deras itu lantas dialirkan melalui semacam air terjun mini setinggi 50 sentimeter ke bagian kolam yang lebih rendah.
Baca Juga
Menurut Sukaryo, puluhan pasang ikan dewasa, secara otomatis akan meloncat ke kolam atas jika telah untuk berpijah. Kolam itu dibuat untuk menuruti tabiat ikan dewa di perairan alam.
Sebagaimana diketahui, semakin ke hulu, maka air bertambah jernih lantaran berdekatan dengan mata air. Di bagian terjernih itu, ikan-ikan dewa berpijah. Ikan dewa tak akan mau berpijah di perairan yang sudah tercemar.
"Kotor sedikit, ikan ngambek. Tidak mau berpijah," kata Sukaryo.
Tak hanya direpotkan oleh ikan dewasa yang enggan berpijah, sejak aliran sungai kotor oleh lumpur eksplorasi Pembangkit Tenaga Panas Bumi (PTLP), banyak ikan yang terserang penyakit cacar. Pada ikan dewasa, cacar menurunkan produksi.
Sementara, pada ikan muda, penyakit ini banyak menyebabkan kematian. Sebab itu, Sukaryo pun harus mengeluarkan tenaga ekstra menguras kolam-kolam lain yang juga penuh dengan endapan lumpur.
Padahal, dalam kondisi normal, kolam cukup dikuras setengah tahun sekali. Namun, sejak terdampak PLTP, kolamnya harus dibersihkan tiap dua pekan atau paling lambat sebulan.
Jika tidak, ikan peliharaanya terancam sakit dan mati. Sukaryo menjelaskan, lantaran tak mau berpijah, ia rugi ratusan juta. Soalnya, dalam kondisi normal, dalam sebulan ia bisa menjual hingga 200 ribu ekor benih berbagai ukuran ke Palembang dan Pati.
Kerugian bertambah saat ikan-ikan muda mati. Ini adalah kali kedua kolamnya terdampak proyek PLTP. Sebelumnya, air sungai-sungai di Cilongok berubah keruh pada periode November 2016 hingga Maret 2017 lalu.
Pada periode pertama, ia mengaku meminta ganti rugi sebesar Rp 780 juta. Namun, dari angka itu, PT SAE hanya menyetujui sebesar Rp 225 juta.
Celakanya, hingga kini, baru Rp 100 juta yang dibayarkan. Sisanya, belum jelas kapan akan ditunaikan.
"Hanya Rp 700 juta sekian lah. Perjanjiannya itu akan membantu Rp 225 juta. Baru dikasih Rp 100 juta. Yang sudah keluar itu belum ada separuhnya," ujarnya.
Sukaryo menambahkan, sejak air berubah keruh tiga pekan lalu, ikan yang dipeliharanya juga kembali berhenti berproduksi. Ia pun tak tahu kapan dampak itu bisa ditanggulangi.
Â
Simak video pilihan berikut ini: