Liputan6.com, Cilacap - Gasab menurut tinjauan bahasa berarti mengambil sesuatu secara zalim lantaran bukan haknya. Sementara berdasarkan istilahnya, artinya menguasai hak orang lain secara zalim, permusuhan, dan dengan cara yang tidak benar.
Namun, kali ini, yang dibahas bukan gasab dengan pengertian yang seserius itu. Di dunia santri, gasab ada banyak macamnya. Meski jika diartikan terkesan seram, rupanya gasab juga berlaku pada kejahatan-kejahatan kecil, yang kadang-kadang, bahkan tak perlu mendapat hukuman. Meski, tentu saja tetap salah.
Contoh kecil, seorang santri meminjam sandal santri lainnya kala ke kamar mandi. Itu yang disebut gasab. Akan tetapi, secara bersamaan, lantaran sudah jamak dilakukan, maka muncul pula, istilah rukhshah, yang berarti pengurangan, atau bisa diartikan pula keringanan. Di kalangan santri, pinjam meminjam sandal, kopiah, sarung, bahkan sabun yang tertinggal di kamar mandi adalah hal biasa, dan tak perlu dibahas.
Advertisement
Di dunia santri pula, ada keyakinan untuk "ngalap berkah" atau mencari berkah. Cium tangan guru dan kiai adalah salah satu yang populer. Ini termasuk silaturahmi, atau "sowan" ke "ndalem" kiai. Ada pula, mencari berkah kiai dengan cara yang nyentrik, unik, sekaligus konyol. Begini kisahnya.
Siapa tak kenal KH Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, gus-nya orang NU se-dunia. Gus Dur adalah sosok yang cerdas, berpikiran lebih maju dibanding zamannya, sekaligus sosok kontroversial dan penuh humor. Maka, oleh beberapa kalangan, ia diyakini sebagai wali di zaman modern. Terlebih para santri di pondok pesantren.
Alkisah, suatu hari, mendekati Pemilu 1999, Gus Dur melakukan safari, atau dalam istilah santri, sowan ke kiai-kiai khos. Tersebutlah, kiai karismatik Majenang, Kabupaten Cilacap, KH Najmudin, pengasuh Pondok Pesantren El Bayan. KH Najmudin atau panggilan akrabnya, Mbah Naj, memiliki ratusan santri baik putra maupun putri.
Baca Juga
Sosok Mbah Naj, masa itu, adalah pengejawantahan nadhlidiyin, sekaligus merepresentasikan kekuatan politik Islam. Keilmuannya, amat mumpuni. Mulai dari fikih, hingga ilmu karomah. Tak aneh, jika Gus Dur pun takzim dan sowan kepada kiai sepuh ini.
Singkat cerita, tibalah rombongan Gus Dur di rumah Mbah Naj. Lantas, layaknya tamu, mereka pun dijamu dan berbincang santai dengan seluruh anggota rombongan. Perihal maksud dan tujuan Gus Dur sowan kepada Mbah Naj, seperti kebiasaan para kiai, hanya diketahui oleh dua ulama besar ini, empat mata.
Usai sowan, rombongan Gus Dur kala itu hendak salat berjemaah di masjid pesantren yang letaknya berhadapan dengan rumah Mbah Naj. Celaka, sandal Gus Dur tinggal satu. Pasangannya, hilang. Pengikut Gus Dur, santri, dan pengurus pondok pun mencari ke berbagai penjuru. Namun, satu sandal itu tak ditemukan.
Maka dengan kerelaan hati, Gus Dur meminjam sandal yang tersedia di halaman. Ia paham, tabiat santri yang suka meminjam tanpa bilang-bilang (gasab).
"Gus Dur sangat paham dengan dunia santri. Beliau meyakini, bahwa santri yang mengambil itu tak berniat mencuri. Si santri hanya ingin karomah Gus Dur," tutur Lurah Pondok El Bayan Majenang kepada Liputan6.com, Muhammad Ajid, Minggu, 22 Agustus 2017.
Dengan kerelaan hati pula, Gus Dur, ketika berpamitan, meninggalkan satu sandalnya yang tertinggal. Oleh karena itu, si santri pun gembira bukan kepalang karena ia memperoleh sepasang sandal Gus Dur.
Saksikan video pilihan berikut:
Beda Nasib Sepatu Jokowi dan Hamzah Haz
Keberadaan Pesantren El Bayan sebagai representasi kekuatan kaum santri rupanya juga amat diperhitungkan oleh Hamzah Haz. Ajid berkisah, Hamzah Haz yang saat itu hendak maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2004 juga berkunjung ke pesantren ini.
Bedanya, saat itu, kepemimpinan El Bayan sudah berada dalam tanggung jawab kedua putra Mbah Naj, yakni KH Imam Subky Najmuddin (Abah Subky) dan KH Mahsun Yusuf (Abah Sun). Abah Sub adalah alumnus Tebuireng Jombang, sementara Abah Sun merupakan alumnus Ploso, Kediri.
Prosesi penerimaan tamu antara Hamzah Haz dan Gus Dur hampir sama. Hamzah Haz adalah mantan wakil presiden pada periode sebelumnya. Kurang lebih, hiruk-pikuknya tak kalah dengan kedatangan Gus Dur sekitar lima tahun sebelumnya. Anehnya, sepatu Hamzah Haz utuh. Tak kurang satu pun.
"Waktu itu saya sudah mondok, tapi masih baru," Ajid menambahkan.
Kunjungan petinggi negeri ini juga terjadi pada 2014. Kala itu, calon Presiden Joko Widodo melakukan safari politik dan kunjungan ke pesantren-pesantren di Jawa. Saking ramainya, jalan kecil menuju yang berjarak sekitar 3 kilometer dari Jalur Nasional Lintas Selatan (JLS) El Bayan macet total dan tak bisa bisa dilewati kendaraan. Jokowi pun terpaksa jalan kaki menuju Pondok Pesantren El Bayan.
Kemudian, seusai silaturahmi ke kediaman Mbah Najmuddin yang kini dihuni oleh cucu dan buyutnya, Jokowi pun berbincang dengan masyarakat dan santri di aula pesantren. Lantas, bagaimana dengan nasib sepatu Jokowi yang ditinggal di rumah peninggalan Mbah Naj. Ternyata, sandalnya pun tetap utuh.
Menurut Ajid, hal itu menunjukkan bahwa santri sama sekali tak berniat mencuri. Santri hanya tertarik dengan karomah kiai. Jika dibandingkan nilai material, antara sandal Gus Dur dan sepatu milik Hamzah Haz maupun Jokowi tentu tak sebanding. Namun, santri lebih tertarik dengan sandal Gus Dur.
Kisah hilangnya sandal Gus Dur di pesantren hanya satu dari berbagai kisah hilangnya barang-barang pribadi Gus Dur lainnya, seperti kopiah, sapu tangan, hingga handuk, di pesantren-pesantren lainnya. Gus Dur pun diyakini memaklumi.
"Kisah ini diceritakan kalangan santri sampai sekarang," kata Ajid.
Advertisement