Liputan6.com, Yogyakarta - Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah meminta pemerintah mendamaikan persoalan antar-kelompok terkait pembakaran Masjid At Taqwa di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireun, Aceh yang terjadi pada Selasa, 17 Oktober 2017. Masjid itu merupakan milik Muhammadiyah yang rencananya digunakan sebagai basis kegiatan dakwah.
"Kami minta Bupati menyelesaikan sengketa atau konflik yang timbul atas pendirian dan pembangunan Masjid Al Taqwa, karena perizinan untuk pendirian juga sudah diterbitkan," ujar Busyro Muqqodas, Ketua PP Muhammadiyah dalam jumpa pers di Kantor Pusat PP Muhammadiyah Yogyakarta, Senin (23/10/2017).
Ia mengatakan, konflik yang berujung pada pembakaran masjid berawal dari fitnah bahwa Muhammadiyah di Aceh berpaham Wahabi yang tidak sesuai dengan paham Aswaja. Padahal, Persyarikatan Muhammadiyah adalah gerakan Islam amar ma'ruf nahi munkar yang berdasarkan Alquran dan Assunah yang selalu mengindahkan peraturan dan menjaga ukhuwah Islamiyah dan ikatan kebangsaan.
Advertisement
Muhammadiyah, kata Busyro, mengajak seluruh komponen bangsa untuk tidak mudah memfitnah dan menuduh pihak lain yang tidak sesuai paham keagamannya karena dapat menyebabkan dan menjadi sumber konflik dalam masyarakat.
Ketua Cabang PP Muhammadiyah Samalanga sekaligus Ketua Panitia Pembangunan Masjid At Taqwa, Yahya Arsyad, menyebut penolakan disebabkan karena tiga hal, yakni masjid Muhammadiyah dianggap bertentangan dengan syariat, pembangunan masjid berpotensi memecah belah umat, serta mengundang konflik agama.
Baca Juga
"Ketiga poin itu tidak bisa diterima. Di kecamatan kami tidak ada perpecahan dan konflik dan kami berharap pemerintah kabupaten mau untuk mendamaikan kami, supaya sama-sama bisa berlaku jujur," kata Yahya.
Sementara itu, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Bireun, Athaillah A Latief, memaparkan kronologis kejadian pembakaran masjid. Tiang bangunan masjid yang baru dibangun dan balai di sekitar tiang dibakar sekitar pukul 20.00 WIB.
Rencana pembangunan masjid sudah dimulai sejak tiga tahun lalu. Awalnya, rekomendasi dari desa dan kecamatan tidak keluar dengan alasan takut menimbulkan konflik karena kebanyakan di Samalanga adalah kaum Aswaja.
Isu Wahabi, tuturnya, muncul sejak awal pembebasan lahan. Ketika itu, dana pembebasan tanah yang berasal dari wakaf tunai disangka mendapat aliran dana dari luar negeri yang ingin membawa aliran Wahabi ke Aceh.
"Setelah beberapa lama, akhirnya izin pendirian masjid dari pemerintah keluar pada 13 Juni 2017," kata Athaillah.
Penolakan mulai muncul ketika akan ada peletakan batu pertama oleh Din Syamsuddin. Namun, rencana pembangunan tetap berjalan hingga terjadi kasus pembakaran.
"Kasus pembakaran masjid adalah kriminal dan kami meminta Kapolri untuk mengusut pelaku dan dalangnya, persoalan tuduhan aliran lain pernah menimpa seorang tokoh juga di Bireun tetapi tidak pernah selesai kasusnya," ucap Athaillah.
Saksikan video pilihan berikut ini!