Sukses

Foto Seharga Nyawa, Apakah Harus Dikejar?

Tugas pewarta foto harus bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat, jika ada kesimpangsiuran informasi.

Liputan6.com, Semarang - Pernahkah membayangkan bagaimana sebuah foto jurnalistik dihasilkan? Bisa jadi sang pewarta foto akan masuk ke dasar gua, dibayang-bayangi awan panas gunung meletus, atau bahkan harus bertahan berhari-hari melawan jenuh, lelah fisik lelah jiwa, sekadar untuk mendapatkan gambar yang keren.

Pengalaman Budi Purwanto sebagai jurnalis foto menegaskan bahwa di balik karya foto jurnalistik yang wow, ada pertaruhan nyawa.

"Menjadi pewarta foto itu menantang. Apalagi zaman dulu, belum banyak. Hanya media-media mainstream yang punya jurnalis foto," kata Budi kepada Gina Mardani Cahyaningtyas, finalis Citizen Journalist Academy Semarang dari kelas menulis.

Budi berkisah banyak hal di balik munculnya sebuah foto yang menghebohkan. Menurut dia, menjadi pewarta foto adalah pilihan. Meski demikian, untuk menjadi pewarta foto, tak boleh mengorbankan segalanya.

"Pernah dengar tidak ada foto seharga nyawa? Sebagai jurnalis foto pun harus tahu yang lebih berharga tetap nyawa. Percuma dapat gambar yang bagus kalau enggak selamat," kata Budi, Kamis (26/10/2017).Budi Purwanto, Pewarta Foto dari Tempo ketika diwawancarai Gina Mardani Cahyaningtyas, finalis CJA EMP Semarang. (foto : Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)Tugas pewarta foto harus bisa memberikan penjelasan kepada masyarakat, jika ada kesimpangsiuran informasi. Dicontohkan simpang siur adanya mata air bawah tanah. Masyarakat dan para ahli yang menolak pembangunan pabrik semen menyebutkan adanya banyak mata air atau sumber air yang menjadi penyangga kebutuhan air di situ. Sementara kelompok yang setuju pembangunan menyebutkan isu itu dilebih-lebihkan.

"Sebagai jurnalis, pewarta foto harus bisa menjernihkan masalah ini. Salah satunya dengan foto. Jangan heran kalau saya sampai harus menuruni dasar gua yang hanya muat untuk satu tubuh saja. Belum lagi nanti kesulitan pengambilan gambar karena sempitnya ruang," kata Budi.

Menurut Budi, pewarta foto tidak jarang harus bertaruh nyawa. Salah satu kisah menarik yang dipaparkan Budi ketika ia harus memotret keadaan Merapi pascaerupsi.

"Saat itu memakan korban, ada orang yang berlindung di bungker, tapi bungkernya tembus. Kita harus ke sana, masih dibayang-bayangi wedhus gembel kan, sehabis erupsi," kata Budi.

Tantangan menjadi jurnalis foto tidak hanya berhenti sampai di situ. Kerap kali pewarta foto harus sabar menangkap momen, begitu pula yang ia rasakan ketika Gunung Merapi statusnya menjadi Awas.

Gina Mardani Cahyaningtyas finalis Citizen Journalist Academy Semarang kelas menulis.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.