Puluhan menara tobong genteng klasik di Desa Kedawung, Kebumen, Jawa Tengah mencuat, bersirobok dengan rumah-rumah penduduk yang dibangun tak beraturan. Posisinya lebih tinggi, sehingga tampak seperti bangunan rumah tingkat zaman dahulu kala.
Beberapa tobong tampak masih kukuh. Beberapa lainnya, terlihat kotor dan tak terurus. Ramat merambat di sana-sini. Tanda-tanda bahwa tempat khusus membakar genteng itu tak aktif bertahun-tahun.
Konon, struktur bangunannya tak pernah berubah sejak puluhan tahun lalu, ketika warga Kedawung dan Soka, pertama kali mengenal teknik pembuatan genteng. Dari tangan mereka, sejak awal 1900-an, soka menjadi merk genteng klasik merambah seluruh Jawa. Bahkan, pada masa jayanya, ada pula yang sempat diekspor ke Belanda.
Advertisement
Baca Juga
Siang itu, Tursiyah tampak sigap memindah genteng-genteng setengah jadi yang hendak dibakar di tobong milik juragannya. Bersama tiga pekerja perempuan lainnya, mereka memindah genteng ke dalam perapian sebesar 6x6 meter.
Di usianya yang ke 56 tahun, Tursiyah terhitung pekerja paling senior di tobong bata. Sejak usia 14 tahun ia telah memburuh. Ia bekerja dengan sistim borongan. Mulai dari mencetak, memindah genteng, bongkar muat kayu bakar, hingga memuat genteng jadi ke truk pengakut.
Ia bekerja berombongan dengan tiga rekan sesama perempuan. Dua di antaranya, hanya sedikit di bawah usianya. Sedangkan yang termuda, Nurhayati, masih berusia 34 tahun.
Ia menuturkan, pada masa jayanya, sekelompok pekerja yang terdiri dari empat sampai lima orang biasanya bisa menghasilkan antara 9.000 hingga 12.000 genteng mentah per 10 hari. Ongkos produksi genteng mentah adalah Rp 300 per genteng.
Selanjutnya, ada pula ongkos memindahkan genteng ke tobong dengan harga Rp 25 per genteng. Rata-rata, dalam sebulan seorang pekerja laki-laki bisa memperoleh pendapatkan upah total Rp 2 juta – Rp 2,5 juta.
Pekerja laki-laki lebih banyak mengurus pencetakan genteng. Sedangkan perempuan, bekerja memindah genteng ke tobong, membongkar genteng di tobong, memuat ke truk dan membongkar kayu bakar. Upahnya, jika dihitung-hitung, bisa mencapai Rp 1 juta per bulan.
"Kalau sekarang tidak bisa segitu. Soalnya tidak setiap hari bikin genteng. Ya separuhnya lah," ujar Tursiyah, Rabu, 25 Oktober 2017.
Tetapi kini, masa kejayaan itu tinggal kenangan. Pabrik genteng soka mulai redup setelah munculnya produk genteng modern, baik yang berbahan cor, plastik mika, maupun seng. Genteng soka yang berat dianggap tak pas untuk dipasang di kerangka baja ringan atau kayu-kayu kecil proyek perumahan dan bangunan lainnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pabrik Genteng Soka Gulung Tikar
Sudjono (71), pemilik pabrik genteng merk SDN generasi kedua mengungkap, banyak pengrajin genteng skala kecil yang gulung tikar. Pemasaran harga genteng klasik mulai terganggu sejak 5 tahun terakhir.
Persaingan dengan genteng modern itu menyebabkan pengrajin genteng terpaksa mengurangi jumlah produksi hingga 50 persen. Bahkan, banyak pula yang tidak tiap bulan berproduksi. Mereka baru berproduksi ketika ada pesanan. Beberapa di antaranya, telah berhenti beroperasi dan gulung tikar.
"Kalau sekarang produksinya hanya separuh dari kapasitas. Menjualnya yang sulit," tuturnya.
Padahal, tanah bahan baku pembuatan genteng lokal sudah habis. Mereka pun terpaksa mendatangkan bahan baku dari luar daerah. Tentu, hal ini menyebakan biaya produksi membengkak berlipat-lipat.
Di sisi lain, harga genteng soka klasik tertekan oleh harga murah genteng modern. Sebab itu, keuntungan semakin menipis. Akhirnya, beberapa pengusaha yang telah menjalankan bisnisnya secara turun temurun itu terpaksa menghentikan usahanya.
Pengurangan produksi dan banyaknya pabrik yang riwayatnya tamat berimbas langsung pada pekerja borongan. Sebab, mereka kini tak lagi bisa bekerja sesauai dengan kemampuan sebenarnya. Mereka harus berbagi dengan kelompok lain dari pabrik yang telah tutup.
Nurhayati, sekondan Tursiyah di kelompok pekerja borongan, bisa jadi adalah generasi yang tak tak pernah merasakan betapa jayanya para juragan genteng yang pula turut dirasakan pekerjanya. Dalam sepekan, Nurhayati hanya bisa mengumpulkan antara Rp 100 ribu – Rp 200 ribu. Kadang, dalam sehari, tak ada satu pun yang bisa dikerjakan.
"Kemarin tidak ada borongan. Kalau nggak ada pekerjaan ya pulang," tutur Nurhayati, polos.
Nasib genting Tursiyah dan Nurhayati adalah muramnya potret pekerja dan usaha genteng soka. Pasalnya, 80 persen warga Kedawung bekerja di sektor ini. Tak mau kalah oleh nasib, beberapa warga bekerja menjadi buruh serabutan di luar desa. Sebagian lainnya menjadi buruh migran, bekerja di luar negeri.
Advertisement