Sukses

Perjuangan Nenek Adri Selamatkan Bahasa Enggros

Penutur bahasa Enggros hanya tersisa 30 orang dan berusia 60 tahun ke atas.

Liputan6.com, Jayapura - Ame nhehk anu want, kata-kata dalam bahasa daerah itu diucapkan secara perlahan-lahan dari mulut seorang nenek bernama Adri Meraudje, 62 tahun, kepada sejumlah anak berusia sekolah dasar.

Ame, kata si nenek. Langsung saja, anak-anak yang duduk melingkari sang nenek menirukan ucapan tersebut. Berkali-kali Nenek Adri mengulangi kata tersebut kepada anak-anak, hingga pelafalan katanya jelas. Kegiatan itu dilakukannya setiap sore hari kepada anak-anak di Kampung Enggros, Kota Jayapura, Papua.

Ia resah dengan banyaknya anak-anak yang tak lagi mengerti dengan bahasa ibu, yakni bahasa daerah Enggros yang harusnya bisa diucapkan oleh anak-anak.

Berbahasa Enggros dilakukan Nenek Adri setiap hari kepada siapa pun ia berhadapan dan bertemu. Tujuannya hanya satu, agar bahasa Enggros tak punah di kampungnya.

"Sa (saya) sengaja pakai bahasa, agar dorang (mereka) mengerti bahasa daerah," kata Nenek Adri, kepada Liputan6.com, saat ditemui di Kampung Enggros belum lama ini.

Nenek Adri menyebutkan penutur bahasa Enggros hanya tersisa 30 orang dan berusia 60 tahun ke atas, dari total jumlah penduduk di kampung tertua di Kota Jayapura itu yang berjumlah 696 jiwa.

Kepala Kampung Enggros, Orgenes Meraudje, 54 tahun, pun mengaku telah sulit bertutur dengan bahasa Enggros.

"Saya tidak fasih berbahasa Enggros. Kalaupun menggunakan bahasa itu, pasti dicampur dengan bahasa Indonesia," kata Orgenes.

Dengan hampir punahnya bahasa Enggros, maka ia bermaksud akan membuat kamus bahasa Enggros, untuk dipelajari dan diingat terus oleh generasi penerus Enggros.

Tak hanya itu saja, untuk mengingatkan tentang bahasa dan budaya Enggros, warga setempat selalu dikenalkan budaya lewat lagu dan tari-tarian Enggros.

Yulius Pegappong, pengkaji bahasa pada Balai Bahasa Papua, menuturkan dari 700-an bahasa daerah di Indonesia, sebanyak 371 bahasa daerah tersebar di Papua dan Papua Barat.

Jumlah bahasa daerah di Papua dan Papua Barat bisa mencapai lebih dari bahasa daerah di Indonesia, karena banyak kampung yang bisa menggunakan dua sampai tiga bahasa lokal dalam kesehariannya.

Sampai dengan saat ini, tiga bahasa daerah, yakni bahasa Dusner dan Tandia di Manokwari, Papua Barat dan bahasa Mapia yang terletak di Pulau Mapia, Supiori, sudah punah karena tak ada lagi penuturnya.

Penyebab kepunahan bahasa, menurut Yulius, diakibatkan oleh ketidaksetiaan penutur terhadap bahasanya, jumlah penutur sedikit, penutur bahasa yang terpencar, rendahnya status sosial penutur, komposisi perubahan penduduk, perkawinan campur, serta transformasi sosial budaya.

"Bahasa Enggros ini hampir punah, karena jumlah penutur yang kurang dan berdekatan dengan ibu kota provinsi, sehingga kesehariannya lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia," kata Yulius.

Anak-anak di Kampung Enggros (Liputan6.com / Katharina Janur)Balai Bahasa Papua berharap pemerintah daerah dapat berperan aktif untuk melestarikan bahasa daerahnya. Di Kota Jayapura, misalnya, harus ada pelajaran muatan lokal (mulok) tentang bahasa daerah yang dipelajari kepada siswa.

"Sampai saat ini mulok bahasa daerah belum ada, karena belum ada kesepakatan dari masyarakat dan pemerintah, soal bahasa apa yang akan digunakan dalam mulok itu," ujar Yulius.

Sebab, bahasa daerah di Kota Jayapura ada lima bahasa, yakni bahasa Tobati dan Enggros yang diucapkan masyarakat di Kampung Enggros dan Tobati, bahasa Kayu Pulau yang diucapkan masyarakat Kampung Kayu Pulau dan Kayu Batu.

Lalu, ada bahasa Nafri yang dituturkan oleh warga Nafri, bahasa Elseng yang diucapkan oleh warga Kampung Koya Koso, bahasa Skouw yang diucapkan oleh masyarakat Kampung Skouw Yambe, Skouw Sae dan Skouw Mabo. Kemudian bahasa Nyauw yang diucapkan oleh warga Kampung Mosso yang berbatasan langsung dengan negara Papua Nugini.

Saksikan video pilihan di bawah ini: 

Â