Liputan6.com, Ponorogo - Siapa sangka, Jenderal Soedirman ternyata pernah singgah di Bumi Reog saat memimpin perang gerilya. Saat itu, ia bersama puluhan prajurit sempat singgah di Desa Ngindeng, Kecamatan Sawoo, tepatnya di rumah Kebayan, Ginut.
Seperti yang dilakukan oleh Nyamir (72), anak kandung Ginut. Nyamir menuturkan pihaknya selalu merawat perabot yang digunakan Jenderal Soedirman.
"Saat itu saya masih usia empat tahun, dan saya masih ingat peristiwa itu," tuturnya kepada Liputan6.com, Senin, 30 Oktober 2017.
Advertisement
Waktu itu usai salat Maghrib, rumah Ginut didatangi oleh salah satu pengawal Jenderal Soedirman. Prajurit itu meminta diizinkan untuk menjadi persinggahan temannya yang sakit. Tanpa banyak bertanya, Ginut mengangguk.
Baca Juga
"Setelah sampai dan beristirahat sejenak, Jenderal Soedirman yang ditandu bercerita dirinya tengah menghadapi perang gerilya," ujar Nyamir.
Sebagai tuan rumah yang baik, Ginut menyiapkan tempat tidur dari bambu atau yang biasa disebut lincak dan menghadap ke arah tenggara sesuai arahan Jenderal Soedirman. Awalnya, Ginut tidak mengetahui jika yang berkunjung adalah seorang jenderal besar karena para prajurit memanggil lelaki itu dengan sebutan Pak Dirman.
"Selain itu, Pak Dirman juga berpesan tempat tidurnya diberi pembatas agar tidak terlihat dari luar," katanya.
Rombongan prajurit itu hanya menginap sehari. Keesokannya, mereka pergi meneruskan perjalanan perang gerilya menuju Trenggalek.
"Meski dalam keadaan sakit dan ditandu, semangat juang Jenderal Soedirman harus diteladani," ucap Nyamir.
Hingga kini Nyamir terus mengingat sepotong fragmen singkat itu. Tindakan merawat perabot kenangan merupakan simbol merawat sejarah dan inspirasi panglima besar.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Awal Keputusan Gerilya
Jenderal Soedirman tak sabar. Ajudannya, Kapten Soepardjo Roestam, yang diutus menemui Presiden Sukarno belum kembali. Padahal, Yogyakarta sedang gawat karena tentara Belanda menyerang sejak subuh pada 19 Desember 1948 itu.
Dalam keadaan sakit, Panglima Besar TKR tersebut akhirnya menuju Gedung Agung, mencari Sukarno. Ia ingin mengetahui kebijakan pemerintah soal serangan yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda ke-2 tersebut.
Sekitar pukul 09.00, Soedirman tiba didampingi beberapa staf dan dokter pribadinya, Soewondo. Di Gedung Agung, tempat presiden bekerja di Yogya, Bung Karno menemui. "Tidak ada apa-apa. Pulang saja, istirahat," kata Bung Karno.
Soedirman menolak. Hari makin siang. Para menteri datang dan rapat kabinet pun digelar. Wakil Presiden Muhammad Hatta masih dalam perjalanan dari Kaliurang saat rapat dibuka. Jenderal Soedirman dan para staf menunggu di luar ruang rapat.
Pesawat militer Belanda terus membombardir Yogya. Rapat kabinet belum selesai saat Soedirman meninggalkan Gedung Agung. Akhirnya rapat ditutup dan dua keputusan dihasilkan.
Pertama, Sukarno dan Hatta tetap tinggal di Yogya meski menghadapi risiko penangkapan. Para anggota kabinet yakin, keselamatan keduanya lebih terjamin jika tetap berada di Yogya ketimbang dalam pelarian. Bagaimana pun masih ada anggota Komisi Tiga Negara (KTN), utusan PBB yang memantau perundingan Indonesia-Belanda.
Keputusan ini jelas bersimpang jalan dengan saran Soedirman agar seluruh pemimpin RI meninggalkan Yogya dan ikut bergerilya.
Kedua, memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara yang lagi berada di Sumatera untuk membentuk pemerintahan darurat. Soedirman pun pergi bergerilya.
Sukarno dan Hatta ditangkap Belanda, lalu dibuang ke Pulau Bangka.
Sebelum meninggalkan Gedung Agung, Soedirman sempat mengeluarkan Perintah Kilat No.1 kepada seluruh Angkatan Perang RI. Perintah Kilat itu terdiri dari empat butir:
1. Kita telah diserang.
2. Pada tanggal 19 Desember 1948 Angkatan Perang Belanda menyerang Yogyakarta dan Lapangan Terbang Maguwo.
3. Pemerintah Belanda telah membatalkan persetujuan gencatan senjata.
4. Semua Angkatan Perang menjalankan rencana yang telah ditetapkan untuk menghadapi serangan Belanda.
Perang gerilya dilancarkan. Di sisi lain, meski sulit dan berliku, aksi diplomasi juga terus digulirkan. Hasilnya, Perundingan Roem-Roijen diteken pada Mei 1949. Sukarno dan Hatta dipulangkan ke Yogya pada 6 Juli 1949.Para pemimpin sipil berharap Soedirman juga kembali ke Yogya. Tak kurang, Sri Sultan Hamengkubuwono IX menulis surat ke Soedirman.
"Soedirman harus kembali ke Yogya agar tidak terjadi kesan perpecahan di antara pemimpin Republik," tulis jurnalis Rosihan Anwar yang ada di Yogya pada hari-hari bersejarah itu di TEMPO edisi 24 Maret 1973.
Pada 10 Juli 1949, Soedirman akhirnya masuk Yogya. Babak baru menuju kedaulatan penuh RI dimulai.
Kelak, pada 18 Desember 2006, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Keppres No 28. Tahun 2006 yang menetapkan 19 Desember, tanggal terbentuknya PDRI, sebagai Hari Bela Negara.
Pada 19 Desember 1948 juga perang gerilya Jenderal Soedirman dan pasukannya dimulai.
Advertisement
Pesan Jenderal Soedirman Lewat Cucu
Danang Priambodo Soedirman, cucu Jenderal Soedirman, akan memerankan sang kakek dalam sosio drama dalam puncak peringatan HUT ke-72 TNI di Pelabuhan Indah Kiat, Kota Cilegon, Banten, Kamis, 5 Oktober 2017.
Danang yang perawakannya mirip dengan sang Panglima Besar itu mengaku bahwa kakeknya menitipkan negara Indonesia ini agar terus dijaga oleh segenap lapisan masyarakat.
"TNI bukan suatu golongan, bukan di atas rakyat juga. TNI harus tetap setia untuk keselamatan negara," ucap Danang, yang ditemui usai gladi resik puncak peringatan HUT ke-72 TNI di Kota Cilegon, Banten, Selasa, 3 Oktober 2017.
Dengan rambut yang sudah sedikit beruban, Danang menceritakan sang kakek, Jenderal Besar Soedirman yang dikenal dengan taktik perang gerilyanya itu, adalah sosok yang tak pernah merasa dirinya sebagai pahlawan bangsa Indonesia.
"Kalau menurut cerita ayahanda saya, karena waktu itu saya belum lahir, Soedirman itu sosok yang bukan merasa besar," tuturnya.
Jenderal Soedirman mengatakan bahwa pahlawan sebenarnya bukan dirinya, melainkan rakyat. "Tanpa rakyat, TNI bukan siapa-siapa," ujar Danang yang mengutip perkataan sang kakek, Jenderal Soedirman, dari ayahnya.
Karena itu, ujar Danang, TNI tak pernah diperbolehkan menyakiti masyarakat. Bahkan, Jenderal Soedirman sewaktu peperangan mempertahankan kemerdekaan RI dari penjajah Belanda di zamannya, mendapatkan perlindungan dari rakyat.
"TNI besarnya dari rakyat, pahlawan sebenarnya bukan Soedirman, tapi rakyat," kata cucu Jenderal Soedirman itu.