Liputan6.com, Yogyakarta Suatu pagi di Desa Watu, Kelurahan Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Bantul, seorang wanita keluar dari rumahnya dengan muka cerah. Seperti anak sekolah karena ia keluar bertepatan dengan bel sekolah berbunyi, Sukarti sudah siap memakai seragam hijaunya.
"Semalam dapat kabar stok beras kencur sudah habis dan itu jatah saya," kata Sukarti bercerita kepada Andaru Mahayekti, grand finalis Citizen Journalist Academy Semarang, Sabtu, 4 November 2017 sambil mengepres kemasan jamu.
Seperti dituturkan, minggu ini Sukarti mendapat giliran membuat jamu instan di Rumah Jamu Rewulu. Sebuah bangunan yang dekat dengan rumahnya, tetapi berbeda RT.
Advertisement
Untuk membuat jamu beras kencur, Sukarti harus berbelanja bahan-bahan jamu di pasar Beringharjo, Yogyakarta. Selain itu, ia juga mengambil bahan dari para petani yang juga memasok ke koperasi Jati Husada Mulya (JHM), sebuah tempat jual beli bahan jamu.
"Tidak semua bahan dapat tersedia setiap hari, kadang juga harus menunggu musimnya," kata Sukarti.
Di rumah jamu terdapat 28 ibu-ibu yang ikut dalam kelompok Jati Husada Mulya, mereka dibagi menjadi tiga kelompok untuk pembuatan jamu. Jika jamu secang habis maka kelompok satu wajib membuatnya. Sedangkan, jika jenis beras kencur yang habis maka kelompok dua yang bertanggung jawab.
Baca Juga
"Demikian seterusnya, kalau giliran sudah selesai kita kembali lagi buat jualan jamu keliling," kata Sukarti.
Sukarti mendapat giliran untuk pengemasan. Anggota kelompok ini semuanya adalah pedagang jamu keliling. Sukarti mengaku jika secara pendapatan sebenarnya lebih banyak untungnya jika berjualan sendiri.
"Tapi kan saya anggota kelompok. Meluangkan waktu di Rumah Jamu sudah menjadi tanggung jawab semua anggota kelompok," kata Sukarti.
Di rumah jamu, jamu bubuk instan merupakan primadona. Ada jamu secang, jamu beras kencur, kunir putih mangga, kunir asem, dan lain-lain. Tak hanya itu, jamu kuat yang mereka sebut Top Ceng Instant hingga semacam sari rapet yang mereka beri nama Jamu Putri Singset juga tersedia.
Kelompok ibu-ibu penjual jamu sebenarnya sudah berdiri sejak dulu. Namun, masih memproduksi jamu tradisional cair biasa yang distribusinya tak luas dan kalah bersaing dengan jamu lainnya, terutama jamu kuat Top Ceng Instant jika dibandingkan dengan obat kuat impor seperti Viagra, Cialis.
Perubahan terjadi ketika Pertamina memberi pendampingan dalam program Corporate Social Responsibility (CSR). Berbagai bimbingan dan pelatihan digelar untuk membuat model jamu baru yang diharapkan mampu bersaing dengan kondisi modern.
Â
Supervisor Health Safety Environtment Terminal Bahan Bakar Minyak (HSE TBBM) Rewulu, Tunjung Adi Baskoro menyebutkan bahwa dengan CSR itu produksi jamu bisa lebih cepat. Diresmikan tahun 2016, Rumah Jamu Rewulu kini sudah banyak mendapatkan order. Sukarti yang juga admin dari akun IG @minuman_sehat_tradisoinal_JHM menyebutkan bahwa sering menerima order dari luar kota.
"Pertamina memberi sentuhan modern dalam produksi. Diharapkan itu menjadi katalisator kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat Rewulu," kata Tunjung.
Mendapati orderan dalam partai eceran, sering membuatnya bingung. Terutama jika berasal luar kota seperti Tegal, dan lainnya. Kemajuan itu sempat menjadi paradoks bagi Sukarti. Di satu sisi ia bergembira ketika mendapat order besar dari luar kota. Namun, di sisi lain ia bersedih karena biaya yang dikeluarkan konsumen justru lebih besar karena besarnya ongkos kirim.
"Saya sering merasa kasihan kalau ada yang pesan online jamu satuan. Karena harga jamu murah gak sebanding dengan ongkos kirimnya," kata Sukarti.
Upaya berlari dalam usahanya dengan memodernisasi produksi maupun pemasarannya, ternyata tidak serta merta mengubah perilaku para pengusaha. Para pejuang Top Ceng Instan ini ternyata masih memiliki kelembutan hati dan tidak serta merta bersikap industrialis yang semata-mata menempatkan keuntungan di atas segalanya.
"Kasihan to. Harga jamu jadi mahal," kata Sukarti.
Penulis : Andaru Mahayekti, Grand Finalis Citizen Journalis Academy, Energi Muda Pertamina Semarang kelas Menulis.Â