Sukses

Upacara Boti, Menggembleng Anak Wakatobi Menjadi Lelaki Sejati

Dalam upacara Boti ini, anak laki-laki ini diajarkan bagaimana menjadi tulang punggung keluarga.

Liputan6.com, Wakatobi - Kepulauan Wakatobi di Sulawesi Tenggara selalu penuh cerita. Mulai dari hikayat parang Pattimura Pahlawan asal Maluku, hingga sejumlah tempat sakral dan keramat. Belum lagi destinasi wisata budaya yang khas yang sudah masuk dalam Top Ten destinasi wisata Indonesia.

Salah satu yang belum banyak dikenal yakni, upacara Boti. Upacara adat ini kerap digelar di Wanci, salah satu gugusan pulau paling pertama yang ditemui jika hendak datang di Kabupaten Wakatobi. Di balik upacara ini, ternyata berisi ajaran bagaimana menjadi seorang laki-laki jantan di tengah ganasnya Laut Banda yang mengelilingi empat gugusan utama kepulauan Wakatobi.

Dalam prosesi Boti, seorang anak mulai diajar mengenal perahu, tumpuan mata pencaharian mayoritas laki-laki dewasa di Wakatobi. Perahu juga disimbolkan sebagai laki-laki. Sebab, dahulu dan sampai saat ini, laki-laki lah yang menjadi tulang punggung keluarga bekerja mengembara dan mencari nafkah di lautan.

"Boti, merupakan acara memakaikan anak-anak dengan pakaian baju ketika anak mulai beranjak remaja. Baju ini, biasa dipakaikan oleh pemimpin adat atau pemimpin kerajaan pada masa itu," ujar H La Anipuru, tokoh adat masyarakat Wakatobi, Jumat, 10 November 2017.

Urutan rangkaian adat boti, dimulai dari prosesi sunat (khitan) anak laki laki dan perempuan usia remaja. Setelah itu, anak perempuan akan di-somboa atau disembunyikan (dipingit). Sementara, anak laki-laki akan melewati prosesi karia berupa acara tari-tarian dan hiburan untuk sang anak.

Khusus anak perempuan, setelah di-somboa selama sehari dan tidak melihat dunia luar, kemudian dikumpulkan dan didudukan bersama dengan anak laki-laki.

Mereka selanjutnya akan diberikan wejangan berisi perintah menjalankan perintah agama dengan tekun, sikap, dan perilaku luhur kepada orang tua dan kehidupan bermasyarakat yang menonjolkan nilai-nilai kehidupan di Wakatobi.

 

Simak video pilihan berikut ini:

 

2 dari 3 halaman

Bunga Simbol Keperkasaan Pria di Wakatobi

Setelah itu, anak-anak ini diarak para pimpinan adat dan keluarganya dengan sebuah Kansodaa, biasanya ada juga miniatur perahu menuju rumah pejabat atau pemimpin adat setempat.

Jika yang diarak menuju sultan atau pemimpin daerah adalah anak perempuan, maka yang dibawa bukanlah miniatur perahu, tetapi miniatur berbentuk kamali (rumah).

Pejabat berasal dari tingkatan sultan dan sejumlah pejabat di bawah Sultan. Saat ini, kita mengenal mereka dengan sebutan camat atau bupati.

Setelah itu, anak-anak yang sudah dikhitan, diberikan pakaian langsung oleh Sultan. Pakaian ini disebut Lengko. Sultan biasanya langsung memakaikan baju lengko, topi berhias bunga-bunga, sulepe (ikat pinggang).

Menariknya, banyaknya bunga di kepala, menandakan keperkasaan seorang pria. Bunga, pada satu sisi di Wakatobi bukan merupakan simbol feminim di Wakatobi.

Biasanya, sultan atau pemimpin daerah memberikan sejumlah uang sebagai tanda penghargaan dan pemberi semangat kepada anak-anak yang baru menjalani proses karia.

Suatu hari nanti, jika kalian akan beranak-pinak dengan salah seorang di Wakatobi, maka anak kalian nanti menjalani proses serupa. Tahap yang menggembleng untuk menjadi manusia berguna bagi orang banyak.

 

3 dari 3 halaman

Perahu Dahulu Dijadikan Sebagai Media Tolak Bala

Dahulu, perahu selain sebagai alat mata pencaharian penduduk Wakatobi, juga menjadi salah satu media upacara adat. Jika ada wabah penyakit atau masalah besar dalam kampung, maka perahu akan dibawa ke tepi pantai.

Perahu ini, diarak oleh beberapa orang pria yang kuat-kuat. Sebelum dihanyutkan, perahu biasanya diisi dengan sejumlah sesajen. Sesajen ini berupa hasil bumi, bahan makanan dan benda berharga yang ada di dalam kampung.

Dalam proses mengarak perahu, juga dipimpin oleh pemimpin-pemimpin adat setempat. Perahu yang dihanyutkan ombak menuju laut lepas biasanya disertai masyakarat dengan memanjatkan doa kepada sang pencipta.

Hanyutnya perahu, diharapkan ikut menghilangkan penyakit, wabah atau masalah besar yang ada di kampung. Kadangkala, setelah berlalunya penyakit atau hilangnya masalah dalam kampung, masyarakat akan menggelar syukuran.