Sukses

Evakuasi Dramatis Guru Kontrak dari Kepungan Kelompok Bersenjata

Kelompok kriminal bersenjata yang mengepung warga Tembagapura hanya menampakkan diri saat mengadang kendaraan pengangkut guru kontrak.

Liputan6.com, Jayapura - Tak pernah terbayang sebelumnya dalam benak Martina (27), masa tugasnya sebagai guru kontrak pada SMP Negeri Banti, Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua akan berakhir lebih cepat dari seharusnya.

Perempuan kelahiran Toraja Utara, Sulawesi Selatan, merupakan satu dari empat guru kontrak selama setahun di SMP Negeri Banti sejak September 2017. Lantaran situasi keamanan yang tidak memungkinkan, ia bersama rekan-rekannya terpaksa dievakuasi dari Banti, Jumat, 27 Oktober 2017.

Martina dan kawan-kawannya harus meninggalkan ratusan siswa yang masih membutuhkan asupan ilmu pengetahuan itu karena kampung tempat mereka mengajar telah diduduki oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB).

KKB di Tembagapura yang dipimpin oleh Ayuk Waker itu disebut-sebut sebagai aktor utama dari serangkaian penembakan terhadap kendaraan dan fasilitas milik PT Freeport Indonesia, aparat keamanan maupun warga sipil.

Sejak minggu terakhir Oktober, kelompok bersenjata itu kini menguasai sejumlah perkampungan sekitar Kota Tembagapura mulai dari Utikini Lama, Kimbeli, Waa-Banti, Opitawak bahkan hingga ke Aroanop.

Evakuasi Martina mengisahkan situasi dramatis bersama rekan guru dan tenaga kesehatan Rumah Sakit Waa-Banti saat dievakuasi dengan bus menuju Tembagapura dan selanjutnya menuju Timika pada Jumat, 27 Oktober 2017 itu.

"Kami baru diinformasikan pada Kamis (26/10/2017) malam oleh pihak Rumah Sakit Waa-Banti bahwa esok pagi-pagi akan dievakuasi ke Tembagapura karena situasi di Banti tidak memungkinkan lagi untuk kami bisa bertahan," tutur Martina, beberapa waktu lalu, dilansir Antara.

Pemberitahuan itu membuat Martina dan rekan-rekannya harus bergegas menyiapkan barang-barang untuk dibawa ke Timika.

"Tidak semuanya kami bawa, hanya berkas-berkas penting dan barang-barang seperlunya saja. Barang-barang yang lain masih tinggal di perumahan guru SMP Negeri Banti," ujarnya.

Martina bersama rekan-rekannya tergabung dalam grup ke empat yang akan dievakuasi ke Tembagapura dari kepungan kelompok bersenjata. Dalam satu grup itu terdiri atas empat guru kontrak SMP, lima guru kontrak SD, perawat, dokter, dan karyawan RS Waa-Banti.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 4 halaman

Evakuasi dengan Ambulans

Selain itu, rombongan evakuasi juga terdiri mobil ambulans milik RS Waa-Banti yang membawa empat orang pasien rujukan ke RS Tembagapura. Salah seorang pasien yang ikut dalam mobil ambulans tersebut dalam kondisi gawat sehingga harus dipasangi selang dari tabung oksigen.

Mobil ambulans itu beberapa hari sebelumnya menjadi sasaran penembakan oleh KKB saat menjemput seorang ibu yang baru saja melahirkan di RS Tembagapura dalam perjalanan menuju Banti.

Saat itu, ibu yang baru saja melahirkan tersebut terkena tembakan peluru pada bagian pahanya. Sementara, sang pengemudi luput dari musibah lantaran peluru yang ditembakkan KKB mengenai helm anti-peluru.

Namun, baru beberapa ratus meter perjalanan menuju Tembagapura, dua kendaraan tersebut dihentikan oleh anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) di area Longsoran, dekat Pos KKB Tembagapura.

Sejumlah anggota KKB Tembagapura meminta semua penumpang turun dari bus. Bahkan mereka menyuruh kedua kendaraan itu kembali ke RS Waa-Banti dengan alasan jika semua perawat dan dokter pergi maka tidak ada lagi yang merawat masyarakat setempat.

"Kami dilarang membawa barang-barang, bahkan jaketpun harus dilepas. Kami hanya membawa kartu identitas masing-masing," tutur Martina.

Beberapa orang KKB mendekati bus dan mengecek barang-barang apa saja yang dibawa rombongan.

Menghadapi situasi itu, para dokter dan perawat RS Waa-Banti memberi alasan bahwa mereka terpaksa meninggalkan rumah sakit karena telah kehabisan obat-obatan dan bahan makanan semenjak maraknya aksi teror penembakan di wilayah itu sepekan sebelumnya.

Mendengar alasan itu, pihak KKB akhirnya luluh lalu mengizinkan kedua kendaraan itu terus melintas menuju Kota Tembagapura.

"Sebagai perempuan tentu saja kami takut melihat orang membawa senjata tajam sambil mengancam-ancam. Sempat terpikir dalam benak saya, apa mungkin kami semua bisa selamat dan apa jadinya nasib kami kalau mereka tidak mengizinkan kami pergi. Puji Tuhan, beruntung mereka masih bisa melepaskan kami pergi," kata Martina.

Ia meyakini sikap keras KKB pada akhirnya melunak setelah melihat empat orang pasien gawat darurat ikut dalam rombongan mobil ambulans ke Tembagapura. Martina mengakui hingga kini masih banyak warga non-Papua yang terjebak di Kampung Waa-Banti, Kimbeli, dan Utikini Lama.

3 dari 4 halaman

Warga Non-Papua Dilarang ke Mana-Mana

Ratusan warga non-Papua yang berprofesi sebagai pedagangbahan kebutuhan pokok dan sebagian lagi berprofesi sebagai pendulang emas di area Kali Kabur (Sungai Aijkwa) itu tidak dapat bepergian ke Tembagapura maupun ke Timika karena mendapat tekanan dari KKB.

"Sampai sekarang mereka masih bertahan di sana.Sebenarnya para pedagang dan pendulang itu sudah dievakuasi, tapi informasinya mereka dilarang oleh kelompok itu untuk pergi kemana-mana. Sebab, sumber bahan makanan untuk kelompok itu maupun warga di Banti, Kimbeli hingga Utikini Lama dari kios-kios itu," ujar Martina.

Menurut dia, warga non-Papua yang membuka usaha kios dagangan sembako di Kampung Banti, Kimbeli hingga area sekitar Longsoran cukup banyak mencapai lebih dari 20-an kios. Rata-rata kios tersebut dimiliki olehwarga asal Suku Toraja dan Bugis.

Adapun ratusan pendulang emas yang masih terjebak di areaBanti, Kimbeli hingga Utikini Lama sebagian besar berasal dari Jawa dan Sulawesi serta masyarakat lokal. Martina mengatakan jumlah anggota KKB yangmenguasai wilayah Utikini Lama, Kimbeli hingga Banti mencapai puluhan hingga ratusan orang.

Kelompok bersenjata itu baru menunjukkan jati diri mereka saat mengadang kendaraan yang mengangkut rombongan guru-guru dan petugas medis ke Tembagapura.

"Sebelum-sebelumnya, kami tidak pernah melihat mereka. Tapi hari itu, ada banyak orang. Ada yang menunggu di sungai-sungai di bawah, ada yang berjejer di bukit-bukit dengan wajah dicat hitam-hitam semua,"ujarnya.

Selama bertugas di SMP Negeri Banti, Martina dan kawan-kawannya mengaku tidak pernah mendapat teror maupun intimidasi oleh warga setempat, meskipun saat itu sudah mulai marak aksi teror penembakan di sekitar Kota Tembagapura.

Lantaran kondisinya cukup aman, SD dan SMP Negeri Banti yang berlokasi berdekatan dengan RS Waa-Banti masih terus beraktivitas menggelar kegiatan belajar-mengajar.

"Kami di SMP Negeri Banti masih tetap beraktivitassampai hari Rabu (25/10/2017). Sedangkan, SD Negeri Banti masih buka sampai hari Jumat (27/10/2017) saat kami dievakuasi. Mereka tidak pernah datang ganggu di sekolah dan rumah sakit," katanya.

 

4 dari 4 halaman

Ingin Kembali

Meski mengalami intimidasi oleh kelompok bersenjata wilayah Tembagapura, Martina dan rekan-rekannya menyatakan siap untuk ditugaskan kembali sebagai guru di SMP Negeri Banti.

"Pastinya kami siap dan ingin kembali ke Banti kalau situasinya sudah normal. Kami rindu dengan anak-anak sekolah. Sekarang sudah lebih dari dua minggu mereka tidak menerima pelajaran. Kami tidak tahu lagi nasib mereka seperti apa," tuturnya.

Sebagaimana SD dan SMP Banti yang kini tidak lagi beraktivitas, kondisi serupa juga terjadi dengan RS Waa-Banti. Rumah sakit milik Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) itu lumpuh operasionalnya sejak Jumat, 27 Oktober 2017, lantaran semua karyawan dan petugas medisnya telah dievakuasi ke Timika.

Kondisi itu dibenarkan oleh Valery, salah seorang karyawan bagian listrik RS Waa-Banti. Menurut dia, jumlah warga yang dievakuasi dari Banti pada hari itu, sebanyak 62 orang dengan lima kali pengangkutan menggunakan bus dari Banti ke Tembagapura.

Adapun total karyawan RS Waa-Banti sendiri sebanyak lebih dari 40-an orang, itu sudah termasuk dengan tenaga perawat dan dokter.

Sekretaris Dinas Kesehatan Mimika Raynold Ubra telah menerima laporan dari pengelola RS Waa-Banti bahwa operasional rumah sakit di kawasan dataran tinggi Kabupaten Mimika itu kini lumpuh. Kondisi serupa, katanya, juga terjadi di Puskesmas Aroanop, dan Puskesmas Tsinga, Distrik Tembagapura.

Dinkes Mimika saat ini masih menunggu kiriman data dari RS Tembagapura soal pasien-pasien yang harus menjalani pengobatan dan perawatan lanjutan.

"Bukan hanya rumah sakit dan puskesmas yang tidak jalan di wilayah Tembagapura, kami sekarang tidak lagi mengetahui keberadaan sekian banyak masyarakat di sana yang seharusnya mengonsumsi obat TB dan ARV secara teratur maupun obat-obat program lainnya. Situasi ini memang sangat memprihatinkan," kata Raynold.

Semua pihak berharap situasi keamanan di kampung-kampung sekitar Kota Tembagapura itu kembali pulih seperti sedia kala sehingga masyarakat di wilayah itu bisa menjalankan aktivitas mereka secara normal.