Sukses

Pesona Puncak B29 dan Aura Mistis Leluhur Negeri di Atas Awan

Puncak B29 di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, adalah destinasi wisata baru di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Liputan6.com, Lumajang - Raungan bising knalpot dan mesin puluhan sepeda motor memecah kesunyian pagi buta di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Subuh itu, rombongan ojek motor yang membawa sekitar 30 pengunjung berpacu menuju Bukit 29 atau puncak B29, untuk mengejar matahari terbit.

Medan yang ditempuh cukup menantang, yaitu melewati jalanan aspal, paving block, dan tanah dengan kemiringan 10 hingga 40 derajat serta beberapa tikungan tajam khas wilayah pegunungan. Di kanan kiri jalanan desa yang lebarnya bervariasi antara satu hingga tiga meter itu adalah ladang sayuran milik warga suku Tengger.

Bukit 29 atau puncak B29 di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, adalah destinasi wisata baru di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Namun, berbeda dengan ladang umumnya, lahan yang mayoritas ditanami kubis, bawang daun, dan kentang itu berada di kemiringan sekitar 70 derajat. "Kami para petani suku Tengger biasanya menanam dari atas ke bawah," tutur Mardi, salah seorang pengojek yang mengantar rombongan ke puncak B29.

Tak hanya itu, barisan bukit dan lembah menghijau disertai kabut dengan udara dingin yang "menggigit" jemari pun mewarnai perjalanan penuh sensasi sekitar 15 menit tersebut.

Begitu sampai di gerbang Bukit 29, satu per satu motor berhenti dan diparkir di sana. Para pengunjung kemudian mendaki sekitar 100 meter ke puncak bukit yang sudah terlihat di depan mata.

Salah satu tujuan para wisatawan ke destinasi wisata baru di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BTS) itu memang menyaksikan sunrise atau matahari terbit. Momen terbaik adalah menunggu di atas bukit sejak pukul 04.00 WIB. Bahkan, tak sedikit pengunjung yang berkemah atau menggelar tenda di atas bukit yang dahulu disebut Songolikur (sebutan angka 29 dalam bahasa Jawa).

Sesampai di puncak bukit berketinggian 2.900 meter di atas permukaan laut (mdpl), mata para pengunjung dimanjakan pemandangan indah menawan pegunungan Tengger. Sayangnya, saat itu, matahari baru beranjak dari ufuk timur dan tak lama berselang ditutupi kabut tipis.

Pesona sunrise di Bukit 29 atau puncak B29 hanya dinikmati rombongan kecil pelancong yang lebih dahulu tiba atau berkemah sejak malam hari. Sedangkan rombongan besar yang datang kemudian tak berkesempatan menyaksikannya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 5 halaman

Julukan Negeri di Atas Awan

Bila beruntung dan cuaca cerah, pelancong memang dapat menikmati detik-detik matahari terbit di ufuk timur. Awan "tumpah" pun dapat dilihat baik dari sisi timur dan barat. Pemandangan awan "tumpah" paling menarik adalah dari arah barat atau lautan pasir Gunung Bromo yang puncaknya setinggi 2.392 mdpl.

Awan berarak turun di sisi timur dan barat Bukit 29 atau B29 memang memanjakan mata para pengunjung di atas bukit yang dalam kondisi tertentu dapat mencapai suhu lima derajat Celsius. Tak mengherankan, bila kemudian banyak pengunjung menjuluki objek wisata yang populer dalam beberapa tahun terakhir ini sebagai "Negeri di Atas Awan".

"Bukit 29 yang terletak di Lumajang ini masuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Kawasan yang mencakup empat kabupaten, yaitu Lumajang, Pasuruan, Probolinggo, dan Malang," ucap pemandu wisata setempat, Edi Prakoso, Sabtu, pekan kedua November 2017.

Awan tumpah dilihat dari Bukit 29 atau puncak B29 di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. (Sendy Aditya Saputra/Kemenpar/Wonderful Indonesia)

Adapun berdasarkan pantauan Liputan6.com, puncak B29 berbentuk dataran tinggi hampir seluas lapangan sepak bola. Setiap sisi menawarkan pemandangan menarik. Di depan atau sebelah barat Bukit 29 terlihat perbukitan sabana atau populer dengan sebutan Bukit Teletubies, Gunung Bromo, dan Gunung Batok.

Di sisi timur atau arah matahari terbit terlihat Gunung Lemongan, Raung, dan Argopuro. Sementara di sisi kiri atau selatan tampak Gunung Semeru, puncak tertinggi (3.676 mdpl) di Pulau Jawa. Adapun di sisi utara terlihat Gunung Arjuno dan Welirang.

Tak mengherankan, bila semua sudut pemandangan di Bukit 29 adalah lokasi selfie atau swafoto. Para pengunjung, baik muda-mudi maupun dewasa, seolah tak ingin kehilangan momen mengabadikan pesona B29 dengan berfoto bersama ataupun swafoto. Ada yang menggunakan fasilitas kamera di telepon seluler atau ponsel. Ada pula yang memakai kamera foto.

 

3 dari 5 halaman

Aura Mistis Leluhur Suku Tengger

Tak hanya menikmati keindahan alam, para pengunjung dapat melihat tanda yang menjadi bagian sakral bagi warga suku Tengger, yakni Tri Padma Mandala. "Ada tiga tokoh besar suku Tengger, Joko Noto, Joko Niti, dan Eyang Sapu Jagat, pernah berada di sana," ujar Edi.

Ia menjelaskan, ketiganya termasuk 25 anak dari Roro Anteng dan Joko Seger, leluhur suku Tengger. Di waktu tertentu seperti saat Jumat Legi, banyak warga Tengger pemeluk Hindu menggelar ritual dan penghormatan terhadap leluhur di Tri Padma Mandala. Mereka biasanya meminta doa restu kepada leluhur, soal perjodohan hingga kelancaran usaha atau hasil panen.

Joko Niti yang ditugaskan oleh Joko Seger di puncak B29. Hingga kini, terdapat tugu pemujaan Joko Niti di puncak B29. Kendati demikian, Eyang Sapu Jagat yang juga anak Roro Anteng dan Joko Seger dihormati pula oleh warga suku Tengger. Bahkan, ada bangunan kecil di dekat puncak B29 yang diyakini sebagai petilasan Empu Sapu Jagat.

"Bagi yang percaya dengan supranatural, mereka biasanya memohon suatu permintaan kepada Eyang Sapu Jagat," tutur Edi.

Bila doa diucapkan dengan tulus, Eyang Sapu Jagat bakal menjawab secara kebatinan pula. Edi menegaskan, aura mistis dari leluhur ini hanya dapat dirasakan oleh warga suku Tengger dan orang yang mendalami ihwal kebatinan.

Adapun mata pencaharian warga suku Tengger umumnya sebagai petani sayur kembang kol atau kubis, daun bawang, dan kentang. Namun, seperti ditayangkan program Potret Menembus Batas SCTV, beberapa waktu lalu, warga Tengger menganggap bertani bukan sekadar profesi. Bertani menjadi bentuk kepatuhan kepada ajaran leluhur, welas asih pepitu.

Salah satu ajarannya cinta kasih kepada tumbuh-tumbuhan. Warga Tengger percaya hidup harmoni dengan alam menjadi kunci. Merusak alam sama artinya membinasakan diri sendiri.

Bukit 29 atau puncak B29 di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, adalah destinasi wisata baru di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Suku Tengger di Bromo diyakini sebagai keturunan orang-orang Majapahit, yang menyingkir saat kerajaan Hindu tersebut mengalami kemunduran ketika menyebarnya agama Islam.

Disebut Tengger karena berasal dari keturunan Roro Anteng dan Joko Seger, suami istri yang dipercaya sebagai keturunan Brahmana dan mendapat amanat dari Sang Hyang Widhi Wasa untuk mendiami dan meneruskan keturunannya di wilayah Tengger.

Orang Tengger tidak memiliki candi-candi, namun peribadatan diadakan di poten, punden-punden atau danyang. Sifat masyarakatnya cenderung tertutup, karena untuk menjaga garis keturunan Majapahit.

Secara turun-temurun mereka bekerja dan bermukim di kawasan Tengger dan jarang yang keluar dari wilayahnya. Kekerabatannya sangat erat dan mereka memelihara tradisi, aturan adat maupun petuah-petuah secara lisan secara turun-temurun.

Sekalipun menggunakan bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari, mereka mempunyai dialek turunan bahasa Kawi. Penduduk Tengger bahkan mempertahankan sejumlah kalimat kuno yang tidak lagi digunakan dalam bahasa Jawa modern.

4 dari 5 halaman

Cermin Keberagaman di Kampung Nirwana

Seperti sejumlah permukiman di sekitar kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru lainnya, para pengunjung Bukit 29 di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, dapat mempelajari budaya Suku Tengger yang masih kental. Termasuk melihat toleransi umat Hindu dan Islam.

Desa Argosari atau disebut pula Kampung Nirwana memiliki lima dusun, yakni Gedok Pucuk, Bangkalan, Argosari, Pusung Duwur, dan Puncak. Di Dusun Gedok Pucuk, berdiri Masjid Jabal Nur Hidayatullah.

Masjid berkapasitas sekitar 50 orang yang diresmikan Bupati Lumajang pada 2010 ini diklaim tertinggi di Pulau Jawa, yakni mencapai 2.264 mdpl. Bangunan suci umat Islam ini terletak di antara lereng Gunung Semeru dan Gunung Bromo.

Pura Giri Amertha di dekat Bukit 29 atau puncak B29 di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Tak jauh dari masjid, berdiri Pura Giri Amertha atau tempat umat Hindu Tengger di desa berjuluk "Negeri di Atas Awan" tersebut. Sementara di wilayah yang berdekatan dengan Desa Argosari, tepatnya di Jalan Serma Dohir, Desa Senduro, terdapat Pura Mandhara Giri Semeru Agung.

Ketika itu, warga suku Tengger pemeluk Hindu sedang menggelar persembayangan di Hari Raya Kuningan. Usai perayaan, pengelola pura yang tersohor di Asia Tenggara itu menggelar pertunjukan kesenian dengan menampilkan kelompok tari yang diiringi gamelan perpaduan Jawa Timur dan Bali.

Berdekatan dengan Desa Argosari, tepatnya di Jalan Serma Dohir, Desa Senduro, Kabupaten Lumajang, terdapat Pura Mandhara Giri Semeru Agung. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Acara untuk menghormati para pengunjung dan tamu yang menyaksikan suasana perayaan suci Kuningan itu baru berjalan sebentar, namun terdengar suara azan dari masjid yang berjarak sekitar 100 meter. Panitia langsung menghentikan sejenak acara dan melanjutkan setelah suara panggilan salat untuk umat Islam itu selesai.

Toleransi semacam inilah yang kerap terlihat di desa-desa yang dihuni masyarakat suku Tengger, terutama di sekitar lereng Gunung Semeru dan Gunung Bromo.

Selain toleransi, baik pemeluk Hindu maupun kaum muslim, ternyata tetap mempertahankan budaya setempat. Misalnya, tradisi gegeni atau menerima tamu di dapur.

"Warga Tengger menerima tamu langsung di dapur untuk menghidangkan makanan minuman khas setempat sekaligus menghangatkan tubuh di dekat tungku perapian," ujar Edi Prakoso selaku pemandu wisata setempat di hadapan rombongan Forum Wartawan Pariwisata Indonesia dan Kementerian Pariwisata (Kemenpar), Sabtu, pekan kedua November 2017.

Warga suku Tengger mempunyai tradisi Gegeni atau menerima tamu di dapur. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Pun demikian penggunaan sarung pada warga suku Tengger. Uniknya, simpul sarung yang digunakan perempuan Tengger mempunyai makna tersendiri. Contohnya, simpul sarung di belakang leher dan tergerai di depan, berarti pemakainya sedang hamil.

Sedangkan simpul sarung di pundak kanan dan tergerai di sebagian sisi depan bermakna bahwa pemakainya masih gadis. Simpul sarung dengan ikatan di pundak kiri mengartikan bahwa si pemakai sudah tak bersuami alias janda. Sementara, simpul sarung di bagian tengah dan tergerai ke belakang mencirikan penggunanya telah memiliki suami atau berkeluarga.

5 dari 5 halaman

Destinasi Baru dan Target Kunjungan Wisatawan

Puncak Bukit 29 atau B29 adalah bagian dari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Sementara, TNBTS masuk ke dalam program pengembangan destinasi wisata yang akrab disebut 10 Bali Baru.

Seiring dengan itu, tahun ini, Bukit 29 sebagai salah satu destinasi wisata baru di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, masuk program Penataan Kawasan Pariwisata oleh Kemenpar. Apalagi, sejumlah wisatawan mancanegara atau wisman mulai berkunjung ke "Negeri di Atas Awan" tersebut.

"Salah satunya, wisman itu paling suka tantangan seperti naik motor menuju puncak Bukit 29," ujar Mardi, salah seorang pengojek motor di kawasan wisata B29.

Tak hanya Lumajang yang menjadi gerbang wisata TNBTS. Pun demikian Malang Raya. Meski mempunyai ratusan objek wisata menarik, Malang Raya yang terdiri dari Kota Malang, Kabupaten Malang, dan Kota Batu baru berhasil menjaring para wisatawan mancanegara paling tidak ke empat destinasi. Terutama ke kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Selain itu, kawasan Candi Singosari, Pantai Tiga Warna, dan Wisata Kampung.

"Wisman yang datang ke Malang Raya pasti bertujuan ke BTS (Bromo Tengger Semeru)," kata Kepala Bidang (Kabid) Promosi Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Malang, Agung Hariana Buana, dalam Sosialisasi Promosi Pariwisata Mancanegara pada Media Nasional yang digelar Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara (P3M), Kementerian Pariwisata (Kemenpar), di salah satu hotel berbintang Kota Malang, Jawa Timur, Jumat, 10 November 2017.

Agung menjelaskan, ada empat gerbang yang biasa digunakan wisman untuk mencapai TNBTS, yakni Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Glubuk Klakah. Bila dengan mobil, Glubuk Klakah berjarak tempuh sekitar satu jam dari Kota Malang.

Sekalipun baru empat destinasi wisata yang menjaring banyak wisman, Deputi Bidang P3M Kemenpar, I Gde Pitana, mengapresiasi secara positif pencapaian Malang Raya. Saat ini, menurut Pitana, tinggal mengemas lebih baik lagi. Terutama, objek-objek wisata yang menjadi andalan dalam menjaring turis mancanegara.

"Lalu memasarkannya dengan gencar dan tepat sasaran, serta membidik pasar wisman baru buat Malang Raya agar lebih banyak lagi wisman yang berkunjung," ia menambahkan.

Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Mancanegara (BP3M) Kementerian Pariwisata, I Gde Pitana (kiri) dan Kepala Bidang (Kabid) Promosi Pariwisata Disbudpar Kota Malang, Agung Hariana Buana. (Liputan6.com/Anri Syaiful)

Adapun target secara nasional sebesar 15 juta wisman dengan asumsi perolehan devisa sebesar US$ 14,9 miliar. "Akan meningkat menjadi 20 juta wisman dengan pendapatan devisa sampai Rp 280 triliun pada 2019 mendatang," Pitana membeberkan.

Buat mencapai target tersebut, menurut dia, perlu stategi pemasaran dan promosi pariwisata terus digencarkan, marketing strategy menggunakan pendekatan DOT (Destination, Original, and Time), promotion strategy dengan BAS (Branding, Advertising, and Selling), media strategy dengan pendekatan POSE terutama pada pasar utama.

"Di antaranya dengan berpartisipasi pada event pameran pariwisata internasional untuk mempromosikan Wonderful Indonesia," kata Pitana.

Ia menjelaskan, strategi pemasaran dengan pendekatan DOT itu akan difokuskan pada 10 Bali Baru yang 3A (Akses, Amenitas, Akses) sudah siap. "Di antaranya adalah Great Jakarta, Great Bali, Great Kepri, Joglosemar (Yogyakarta, Solo, dan Semarang), Bunaken, Wakatobi, Raja Ampat, Medan, Lombok, Makassar, Bandung, dan Banyuwangi," tuturnya.

Pitana menyampaikan pula hasil capaian kunjungan wisman sampai periode September 2017. "Sampai periode September 2017 data yang kami peroleh dari BPS adalah sebesar 10.458.299," katanya.

Jumlah tersebut naik secara signifikan sebesar 25,05 persen dibandingkan dengan capaian tahun 2016. "Sedangkan untuk periode September naik 20,47 persen dibandingkan bulan yang sama tahun lalu," Pitana menambahkan.

Ia sekaligus menyampaikan keberhasilan Indonesia memperoleh dua penghargaan pada perhelatan WTM London. "Dua tahun berturut-turut (2016-2017) Indonesia memperoleh penghargaan Best Dive Destination dari majalah Dive Magazine yang diterima pada 6 November 2017.

Selain itu, pada 7 November 2017, Bali memperoleh penghargaan Best Agent Choice Award pada kategori Destination for Spa & Wellness dari Selling Travel. "Ini tentu kabar yang menggembirakan dan bukti bahwa kerja keras kami dan semua pihak terkait tidak sia-sia," I Gde Pitana memungkasi.