Liputan6.com, Denpasar Bondres. Begitu warga Bali biasa menyebutnya. Bondres merupakan seni pertunjukkan lawak Bali. Lakonnya biasanya menggunakan topeng dari make-up laiknya badut. Bondres kini menjadi seni pertunjukkan rutin yang biasa digelar warga Bali dalam acara tertentu.
Seni pertunjukkan bondres selalu mengocok perut. Orang yang menyaksikannya selalu terpingkal-pingkal melihat tingkah lucu dan banyolan dari seniman bondres.
I Ketut Suanda, seniman bondres modern menuturkan awalnya bondres merupakan sub bagian dari seni tari. Materi yang ditampilkannya selalu sejalan dengan alur yang mereka sudah konsep.
Advertisement
"Memang sebetulnya bondres itu bagian dari seni tari. Di sela tari-tarian, muncullah bondres ini. Dalam konsep tradisional, materi yang ditampilkan seniman bondres itu sealur dengan cerita dari tarian tersebut," kata Suanda kepada Liputan6.com di Nusa Dua, Minggu (19/11/2017).
Kini, Suanda melanjutkan, bondres sudah berdiri sendiri. Dalam konsep modern, pria kelahiran 31 Desember 1986 itu menyebut bondres kini sudah menjadi seni mandiri. Ia tak lagi menjadi sub dari seni tari.
Baca Juga
"Bondres sudah mandiri, independen. Ceritanya tak lagi monoton, tapi juga bisa masuk ke dalam cerita kontemporesr, fenomena sosial, politik, ekonomi dan lainnya yang tengah menjadi perhatian publik,” kata dia.
Suanda sendiri merupakan sosok seniman yang menjadi pelopor bondres modern. Sejak lepas dari bayang-bayang seni tari, bondres mulai diterima pentas di hotel-hotel dan perkantoran. Awalnya, tak mudah melepaskan bondres dari baying-bayang seni tari.
Kali pertama memisahkan bondres dari seni tari, termasuk membawakan materi guyonan kontemporer, Suanda tak menampik belum sepenuhnya diterima oleh publik Bali.
"Tonggak transisinya itu tahun 1998 yang menandakan juga karir profesional saya di seni bondres. Saya yang mempelopori transisi itu. Banyak tantangannya. 99 persen orang tidak menerima bondres seperti itu," ujarnya.
"Semua itu karena hegemoni atau orang masih berkiblat pada komedi tradisional. Mereka bertanya-tanya dengan bondres ‘baru’ yang saya tampilkan. ‘Kok jadi seperti itu’, begitu kira-kira pertanyaan yang terlontar saat itu," kenang dia.
Namun kini, bukan hanya berhasil memandirikan seni bondres, Suanda juga berhasil membawa seni bondres ke dunia internasional. Tercatat ia pernah tampil keliling Eropa. Bersama tiga orang rekannya Suanda juga pentas di Jepang berkolaborasi dengan penari ballet.
"Pentas bondres di India juga pernah. Baru-baru ini saya pentas di Perancis," ucapnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Bondres Menolak Mati
Menurut Suanda, menjadi seniman bondres mesti menguasai dasarnya terlebih dahulu. Dasar yang dimaksudnya yakni seni tari, drama, gamelan Bali maupun musik modern. Tujuannya agar bisa ‘klik’ mengeksplorasi dengan kesenian lainnya.
"Jadi ada gamelan kita nyambung. Ada band kita bisa nyambung. Ada tarian kita bisa eksplor. Jadi serba bisa dia,"sarannya.
Adapun, perubahan monumental yang dilakukannya terhadap seni bondres bermula kala ia tur ke beberapa negara pada tahun 1994. Saat masih memainkan seni bondres tradisional di luar negeri, Suanda merasa tak nyambung dengan tokoh atau karakter lokal.
"Tidak cocok dia. Dari sana saya berpikir untuk memodernisasi seni bondres," papar dia.
Kendati begitu, seni bondres kekinian menurut Suanda tetap berpijak pada akar budaya Bali.
"Tapi saya tidak melupakan akar budayanya. Saya sendiri sebetulnya tidak tahu saya tradisional atau modern. Teman-teman wartawan yang menyebut saya pelopor seni bondres modern," kelitnya.
Selain mempelopori bondres modern, ada kisah haru pula saat kali pertama suanda memulai karir profesionalnya di seni bondres. Kala itu, tanpa menyebutkan di mana lokasinya, ia bercerita dibayar Rp35 ribu untuk sekali pentas.
Di tengah menjamurnya komedian belakangan ini, Suanda mengaku tak takut tersingkir. Ia punya jurus jitu untuk tetap bertahan.
"Dalam kata persaingan itu kan otomatis di dalamnya ada kualitas, kemudian bobot mutu. Lainnya adalah etika. Saya selalu mengedepankan lucu yang segar, bukan lucu yang porno atau kotor. Kasihan panitia menyiapkan lama acaranya tapi kita kotori dengan lelucon porno, misalnya," kata dia.
Di tengah perkembangan zaman yang semakin maju, Suanda tak menampik jika seni bondres mulai minim peminat. Ia khawatir seni bondres akan punah. Ia berpesan kepada anak-anak muda agar tak malu dengan seni budaya yang dimilikinya.
"Hendaknya jangan malu terhadap seni yang kita miliki. Sebelum mengenal kesenian luar negeri, kita harus mengenal seni kita dulu. Orang luar negeri datang ke Bali untuk mengenal seni budaya kita," ujarnya.
"Tahu Charly Chaplin? Dulu pada tahun 1932 saat usianya 14 tahun Charly Chaplin datang ke Bedulu, Gianyar. Diia menyaksikan tari Topeng. Tahu caranya berjalan? Nah, itulah gaya tari Topeng yang diadopsi oleh Charly Chaplin. Itu ada buktinya, sudah ditulis dalam sebuah buku," kata Suanda.
Advertisement