Liputan6.com, Banjarnegara - Suara sirine mengagetkan sejumlah pelajar yang siang itu tengah beristirahat kedua, dari ruangan Laboratorium Fisika SMK Negeri 2 Bawang, Banjarnegara, Jawa Tengah.
Lantas, sekitar 90-an detik kemudian, tempo sirine bertambah cepat dan lebih memekakkan telinga. 30 detik, suara sirene senyap.
Siang itu, Guru Fisika SMK N 2 Bawang, Wasis Sucipto dan empat pelajar SMK N 2 Bawang tengah menjajal Portable Three in One Early Warning System ini (EWS) atau sistem peringatan dini bencana serbaguna. Menariknya, alat deteksi dini bencana itu dirancang untuk mendeteksi tiga bencana sekaligus, yakni banjir, longsor dan kebakaran.
Advertisement
Suara sirene di awal, dengan suara keras dan ritme rendah, terjadi tatkala siswa menggenangi kawat sensor EWS dengan air. Lampu indikator kelap-kelip menyala kuning konstan.
Sekitar 1,5 menit kemudian, siswa kembali menambahkan air sehingga genangan meninggi. Sontak, sirene meraung lebih keras dan lampu indikator berubah menyala merah. Ritme suara sirene dan lampu indikator lebih cepat dibanding suara awal.
Baca Juga
“Kalau EWS nyalanya kuning itu masih peringatan, berarti genangan masih rendah. Jika nyalanya sudah merah, berarti genangan sudah meninggi,” Wasis menjelaskan, beberapa waktu lalu.
Guru kreatif ini mengatakan, deteksi awal bencana penting sebagai sinyal peringatan bagi warga akan datangnya marabahaya. Melalui peringatan dini itu, masyarakat bisa menghindari bencana sehingga kerugian harta maupun jiwa dapat ditekan.
Ratusan Korban Jiwa Tragedi Longsor Sijeruk dan Dusun Jemblung
Alat Deteksi dini diapresiasi oleh Pemkab Banjarnegara. Mempertimbangkan teknologi tepat gunanya, EWS ini sempat menyabet penghargaan di ajang Kreasi dan Inovasi (Kreanova) Kabupaten Banjarnegara.
Banjarnegara adalah daerah dengan risiko bencana yang tinggi. Daerah ini, 60 persennya berada di pegunungan dengan sudut elevasi tinggi. Bencana longsor dan banjir bandang pun menjadi langganan tiap kali musim penghujan.
Masih ingat Tragedi Dusun Jemblung? Jumat 12 Desember 2014 lalu, dusun yang secara administratif masuk Desa Desa Sampang Kecamatan Karangkobar itu disapu longsor. Dilaporkan, sebanyak 108 jiwa tertimbun dan tewas. Lebih dari 200 orang lainnya, kehilangan tempat tinggal.
Bencana tanah longsor skala besar juga pernah juga terjadi pada 2006, saat Dusun Sijeruk ditimbun longsoran. Lebih dari 90 orang tertimbun longsoran. Bencana itu terjadi kala Bukit Pawinihian longsor dan menyapu Dusun Gunung Raja, Sijeruk, Banjarmangu.
Longsor besar yang menimbulkan korban jiwa juga terjadi pada masa-masa sebelumnya. Hingga sekarang, bencana longsor seolah menjadi langganan sehari-hari Banjarnegara. Contoh terakhir, pada Juni 2016, tujuh orang di Desa Gumelem dan Wanarata, Kecamatan Susukan, Banjarnegara menjadi korban tanah longsor.
Kembali ke soal EWS, rupanya guru kreatif pun mampu menekan biaya pembuatan alat deteksi dini ini. Pembuatan alat detektor bencana ini sederhana dan murah karena bahannya mudah ditemukan di toko elektronik. Alat ini bisa dibuat dengan biaya kurang dari Rp 1 juta.
Advertisement
Teknologi Mudah dan Murah
Rangkaian alat ini juga cukup simpel sehingga praktis dibawa ke mana-mana dan bisa bongkar pasang (portable). EWS terdiri dari rangkaian elektronik dengan komponen utama berupa sensor air, sensor panas dan sensor getaran.
Sebagian rangkaian elektronik tersimpan dalam kotak kayu berpintu kaca untuk pengaman dari gesekan benda luar. Kotak kayu itu didesain dengan tiang kayu yang berkaki. Sensor didesain untuk gempa, banjir dan kebakaran. Sementara, nada sirine dibuat berbeda untuk tiga jenis bencana itu.
"Alat ini juga bisa dipasang di rumah atau di daerah rawan skala luas," ucap guru kreatif lulusan Magister Teknik Mesin Pembangkit Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta ini.
Masing-masing sensor dihubungkan dengan rangkaian sirene dan lampu indikator. Sensor panas maupun sensor air diletakkan di zona tertentu, baik dalam rumah maupun luar rumah yang dianggap rawan. Adapun sensor getar berbentuk menyerupai bandul yang bergoyang jika ada getaran.
Jika sensor air menyentuh genangan air, sirene penanda banjir akan berbunyi otomatis. Lampu indikator banjir juga otomatis menyala untuk memberi sinyal bahaya. Lampu ini didesain tiga warna yang masing-masing memberi pesan berbeda. Warna hijau berarti keadaan masih aman, kuning berarti perhatian, dan merah artinya kondisi sudah dalam bahaya.
Sementara, lampu indikator untuk penanda kebakaran dan gempa hanya terdiri dua warna yang menandakan level bencana, aman dan bahaya. Sirene penanda kebakaran akan berbunyi dan lampu indikator menyala merah jika terpapar suhu panas atau api.
Meski baru dipraktikkan di kelas, guru kreatif ini menjamin alat ini siap diterapkan di masyarakat Banjarnegara. Dengan biaya pembuatan yang murah, alat ini bisa dipasang di daerah-daerah bencana, baik secara perorangan, maupun institusi.
"Tim dari SMK N 2 Bawang pun siap mendampingi untuk pembuatan alat ini," dia menegaskan.