Sukses

Bocah Penjual Kerupuk Jadi Tulang Punggung Keluarga

Hasil penjualan kerupuk hanya mencapai Rp 10-20 ribu per hari.

Liputan6.com, Garut - Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu, demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu

Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu, dipaksa pecahkan karang, lemas jarimu terkepal

Demikian bagian reff salah satu tembang lawas penyanyi balada legendaris Indonesia, Iwan Fals, dalam sebuah lagunya yang berjudul "Sore di Tugu Pancoran".

Adalah Sutrisno (13) bocah asal Kampung Sinyar, Desa Kadungora, Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ia sedang viral dan menjadi buah bibir media sosial, setidaknya buat masyarakat di Kota Dodol.

Setiap hari, Sutrisno hanya mengantongi Rp 15-20 ribu dari hasil berjualan kerupuk. Cukup tidak cukup, Sutrisno harus terima itu. Ibarat lagu balada di atas, anak itu menjadi tulang punggung keluarga. Ia setiap hari menjual kerupuk keliling kampung.

Nasib Sutrisno tak seberuntung teman sebayanya. Ia terlahir sebagai anak sulung dan menjadi yatim di usianya yang baru dua tahun.

"Ayahku meninggal di Sumatera saat bekerja sebagai buruh di sana," ujarnya, Minggu, 3 Desember 2017.

Untuk menopang kehidupan ibu dan adiknya, dengan baju lusuh setiap hari ia rela berjalan kaki hingga puluhan kilo meter dari kampung ke kampung. Keuntungan dari jualan itu jelas sangat berarti buat Sutrisno dan keluarganya.

Kegetiran hidupnya bertambah, ketika Sutrisno harus putus sekolah. Saat hendak mengikuti Ujian Nasional di SDN Karangtengah 2, ia bersama dua temannya ditolak pihak sekolah.

"Alasannya karena terlalu banyak siswa," ujarnya.

Mulai saat itu, Sutrisno bertekad membantu perekonomian keluarganya, meskipun diakuinya terbesit keinginan kuat untuk melanjutkan sekolah.

"Kalau biaya hidup keluarga saya ada yang bantu saya mau sekolah lagi," ujarnya  yang tergolek lemas.

Saksikan video pilihan berikut ini:

 

2 dari 2 halaman

Rumah Tak Layak Huni

Heni (36), ibu kandung Sutrisno, mengaku penghasilannya dari memulung barang bekas hanya Rp 10 ribu per hari. Penghasilan sejumlah itu tentu saja tidak cukup untuk membiayai sekolah anaknya.

Meskipun tidak masuk gubuknya, berdasarkan pantauan Liputan6.com, tampak sekilas kehidupan dalam keluarga cukup mengkhawatirkan. Menempati gubuk reyot berukuran 3 x 3 meter dari bilik bambu pemberian warga sekitar, ia mesti rela berdesakan di bangunan yang beberapa bagiannya sudah nampak jebol tersebut.

"Kasihan Nurlela, adik Sutrisno, kalau hujan ditambah angin kencang pasti kedinginan," ujarnya.

Heni mengaku hatinya tidak tega melihat perjuangan Sutrisno membanting tulang berjualan kerupuk keliling. Apalagi umurnya masih tergolong siswa wajib belajar.

Tak jarang meskipun kondisi anaknya kurang fit akibat sakit, Sutrisno berusaha tetap berjualan menenteng kerupuk menelusuri perkampungan penduduk.

"Kadang ia yang maksa mau jualan, katanya kasihan sama emak," kata dia menirukan anaknya.

Meskipun keadaan ekonominya tak menentu, akibat mininnya informasi, ia mengaku belum pernah sekali pun mendapat bantuan pemerintah. Di tengah kegetiran itu, ibu dua anak itu berharap ada bantuan pemerintah untuk menopang kebutuhannya sehari-hari, sehingga nasib kehidupannya berubah.

"Saya mau anakku itu kembali sekolah, sambil berharap ada biaya hidup keluarga, kalau hanya sekolah gratis, hidup kami bagaimana," ujarnya.