Sukses

Patung Keramat yang Dicari Pemburu Harta Karun Bung Karno

Perburuan wangsit harta karun Bung Karno dan Raja Majapahit di Mumbulsari, Jember, Jawa Timur, menelan tiga korban jiwa dan seorang cedera.

Liputan6.com, Jember - Cerita tentang perburuan wangsit harta karun Bung Karno (Presiden pertama RI Sukarno) dan Raja Majapahit di Petak 42 RPH Mumbulsari, Dusun Kemiri Songo, Desa Lampeji, yang terletak di Kecamatan Mumbulsari, Jember, Jawa Timur, masih menyisakan pekerjaan rumah bagi Kepolisian Resor Jember.

Di Bukit Mandigu, yang tidak begitu jauh dari tempat tewasnya tiga pemburu harta karun Bung Karno asal Desa Subo dan Jatian, Kecamatan Pakusari, ada benda mistis yang kerap kali dijadikan sesembahan bagi warga pendatang.

Benda mistis itu berupa patung yang dikultuskan warga sebagai peninggalan zaman Kerajaan Majapahit. Patung ini diyakini pula bisa mendatangkan kekayaan bagi pemujanya.

"Patung itu dinilai mempunyai kekuatan mistis, sehingga digunakan tempat ritual untuk mencari pesugihan," ucap Kanit Pidum Reskrim Polres Jember, Iptu Ainur Rofiq, Senin, 18 Desember 2017.

Adapun sesuai akidah Islam, meminta tolong kepada selain Allah SWT adalah perbuatan syirik dan termasuk dosa paling besar serta tidak diampuni.

Karena itu, penyidik Polres Jember bersama anggota Polsek Mumbulsari akan mendatangi puncak bukit dekat lokasi perburuan wangsit harta karun Bung Karno tersebut pada Kamis, 21 Desember mendatang.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

 

 

2 dari 5 halaman

Takut Celaka

Polisi bakal mendatangi Bukit Mandigu untuk memastikan patung itu masih ada atau tidak. Jika masih ada, patung itu akan dibersihkan supaya warga pendatang ke tempat tersebut bebas dari kesyirikan.

"Polisi yang diberi tugas dan amanah amar makruf nahi mungkar, maka jangan sampai menyia-nyiakan tugas tersebut," kata penyidik yang masih keturunan kiai di Jombang, Jawa Timur.Perburuan wangsit harta karun Bung Karno dan Raja Majapahit di Mumbulsari, Jember, Jawa Timur, menelan tiga korban jiwa dan seorang cedera. (Liputan6.com/Dian Kurniawan)Menurut penyidik yang biasa dipanggil Pak Rofiq, ada sejumlah informasi yang santer di tengah masyarakat sekitar tempat kejadian perkara atau TKP. Siapa yang berani menyingkirkan benda itu, bakal mendapat bala atau celaka.

"Maka jika tidak ada yang berani, maka kami (polisi) akan datang untuk membersihkan patung tersebut," ujar Kanit Pidum Reskrim Polres Jember, Iptu Ainur Rofiq.

3 dari 5 halaman

Perkembangan Penyidikan

Rofiq menegaskan, penyidikan kasus dugaan penipuan yang menewaskan tiga korban dan seorang kritis, dengan modus wangsit peninggalan harta karun Presiden pertama RI, sudah hampir tuntas.

"Tercatat enam saksi sudah dimintai keterangan yang terdiri dari keluarga korban dan satu tersangka," ujarnya.

Penyidik tinggal memeriksa saksi yang berhasil diselamatkan dalam kondisi kritis, Manasik alias Fredy. Sebab, hingga saat ini, korban masih belum bisa dimintai keterangan. Sebab, ia masih mengalami trauma mendalam.

"Sebab, saat ditanya yang bersangkutan hanya diam sesaat. Kemudian air matanya mengalir dari sudut matanya," tuturnya.

Namun, polisi masih memaklumkan karena kondisi kejiwaan korban jelas terguncang. Selain harta, korban juga kehilangan nyawa putra tercintanya dan saudaranya yang lain.

"Sebab, para korban yang meninggal ini masih dalam satu keluarga," katanya.

4 dari 5 halaman

Syarat Mistis

Para pemburu yang meyakini wangsit harta karun Bung Karno (Presiden pertama RI Sukarno) di Bukit Mandigu, Kecamatan Mumbulsari, Jember, Jawa Timur, seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Bukan hanya nyawa yang hilang, puluhan juta rupiah uang keluarganya juga habis untuk biaya perburuan harta karun yang ternyata akal-akalan sang penipu. Seperti apa kisahnya?

Baihaki seperti tak punya sedih. Dia masih tampak aktif, lari-larian di keramaian orang. Padahal, menurut orang di sekitarnya, pipinya belum kering dengan air mata. Terlebih, ibunya yang bernama Sulastri. Tangisnya pecah setelah ditinggal mati suami dan anaknya.

Bukan karena umur Baihaki yang masih tujuh tahun, melainkan dia memang belum tahu apa yang terjadi pada ayah (Munawar) dan kakaknya (Farihen). Bahkan, beberapa kali dengan polosnya, ia bertanya ke mana ayahnya pada sang ibu. Saat muncul pertanyaan begitu, tangis Sulastri kembali pecah.

Bocah kelas 1 SD itu sebulan terakhir ini tidak pernah lagi tidur bersama ayahnya. Sebab, setiap sore, Munawar pergi dan pamit kerja bersama Farihen. Saat keduanya datang yang katanya pulang kerja, Baihaki sudah tidak ada di rumah karena sekolah.

"Bapaknya setiap hari pulang. Tapi berangkat sore, pulangnya pagi," ucap Sulastri, kepada JawaPos.com, yang dilansir, Rabu, 13 Desember 2017.

Sulastri tak pernah diberi tahu pekerjaan suami dan anaknya itu. Mereka hanya bilang sedang kerja bareng adik kandungnya, Munasik. Karena tidak pernah diberi uang belanja selama bekerja "misterius" (cari harta karun di Bukit Mandigu--red.) itu, Sulastri pun harus mencari penghasilan lain menjadi buruh tani.

Beberapa kali saat ditanya pekerjaan, Munawar berkali-kali pula melarang istrinya bertanya lagi. Namun, jawaban yang dipertegas suaminya, mereka sekeluarga tidak lama lagi bakal kaya. "Bahkan neneknya anak-anak menegur keras, karena pekerjaannya dinilai mencurigakan," tuturnya.

Kecurigaan keluarga bukan pada perburuan harta karun Bung Karno itu. Bahkan lebih ekstrem. Mereka curiga kepala keluarganya sedang "kerja malam" (maling--red.). Namun, kecurigaan itu dibuang begitu saja. Sebab, selama sebulan itu, bapak tiga orang anak tersebut malah "seret" alias tak pernah memberi uang belanja.

Setiap kali hendak pamit berangkat kerja, Munawar selalu dijemput pria bermobil. Bahkan pada Minggu pagi, 10 Desember 2017, beberapa jam sebelum kejadian maut di dalam gua, suami dan anaknya dijemput tiga orang dengan mobil Isuzu Panther warna putih.

Sebelum berangkat, para pemburu wangsit harta karun Bung Karno itu juga sempat meminjam mesin penyedot air, ke tetangga sebelah rumahnya. Mesin itu yang ditemukan di dalam gua.

Baca berita menarik dari JawaPos.com lain di sini.

5 dari 5 halaman

Bunga 7 Rupa dan Janur

Keanehan lainnya, setiap kali hendak berangkat kerja, Munawar meminta istrinya mencarikan bunga tujuh rupa, sekaligus janur kepala. Bunga itu pula yang ditemukan sudah mengering di pintu gua, tempat ayah dan anak itu meregang maut.

Sebelumnya, kata Sulastri, suaminya pekerja serabutan. Kadang di sawah. Semisal ada tetangga yang membutuhkan tenaganya, dia pun bekerja di sana. Pindah haluan dan mulai meninggalkan pekerjaan awalnya, setelah Munawar diajak kerja "misterius" oleh adiknya, Munasik.

Demikian pula dengan Munasik. Pekerjaan Bapak tiga anak itu ternyata lebih jelas ketimbang kakaknya. Dia masih tercatat sebagai anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Subo, Kecamatan Pakusari. Bahkan, di beberapa proyek pembangunan fisik di desanya, dia memiliki peran penting.

Namun, sejak beberapa bulan belakangan ini, dia meninggalkan perannya di LPM Desa Subo. Bahkan, beberapa proyek seperti pavingisasi dan pembangunan irigasi desa, ditinggal mangkrak dan memilih tak aktif lagi.

Beberapa saudara dan tetangga menyayangkan sikapnya yang demikian. Bahkan, Munasik pernah diingatkan. Namun, dia tetap memilih pekerjaan yang dinilai misterius oleh para tetangganya. "Semenjak itu, Pak Fredy (Munasik--red.) orangnya malah jadi tertutup," kata Wiwik Iriani, salah satu keluarga korban.

Tetangganya tidak ada yang tahu pekerjaan Munasik bersama kedua anaknya, Fredy dan Firman. Demikian pula tetangga yang tinggal di Dusun Sanggar, Desa Subo, Kecamatan Pakusari, hanya tahu mereka berangkat kerja sore dan pagi baru datang.

"Setelah datang kerja, sampai siang mereka tidak keluar rumah. Kata istrinya tidur. Sore, berangkat lagi," bebernya.

Meski demikian, mereka juga beberapa kali menemukan tamu tak dikenal di rumah Munasik. Kabarnya, mereka menggelar semacam selamatan, tapi tidak ramai. Hanya orang tertentu. "Selebihnya kami tidak tahu apa-apa," katanya polos.