Sukses

Aksi Haram PNS Jambi, Tilap Gaji Pegawai Miliaran Rupiah

Tugas sehari-harinya hanya sebagai staf biasa, tapi PNS itu bisa menilap dana gaji pegawai hingga Rp 4,6 miliar selama tiga tahun.

Liputan6.com, Jambi - Jabatannya hanya seorang staf bendahara pengeluaran di Sekretariat Daerah (Setda) Provinsi Jambi. Namun, pegawai negeri sipil (PNS) bernama Mulyadi itu bisa membobol anggaran gaji pegawai Pemprov Jambi hingga Rp 4,6 miliar.

Aksi tak terpuji Mulyadi berjalan cukup lama. Yakni, selama kurang lebih tiga tahun, antara 2013 hingga 2016.

Berdasarkan informasi, aksi Mulyadi mulai tercium kala Pemprov Jambi mendapati ada selisih antara jumlah pegawai dengan besaran gaji yang dibayarkan. Selisihnya lumayan besar rata-rata mencapai ratusan juta rupiah per bulan. Pemprov Jambi pun gempar.

Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Jambi, Erwan Malik, saat masih menjabat mengaku kaget akan kelakuan salah satu bawahannya itu. Ia mengatakan, Pemprov Jambi mendukung penuh pengungkapan kasus pembobolan anggaran gaji tersebut.

"Kita serahkan semua (kasus) ini ke pihak kejaksaan. Agar terungkap siapa-siapa saja pelakunya," ujar Erwan beberapa saat usai kasus Mulyadi terungkap awal 2017 lalu.

Sempat muncul isu di kalangan pegawai bahwa pembobol anggaran gaji tersebut adalah seorang pejabat besar di Pemprov Jambi. Namun siapa sangka, pelakunya ternyata hanya seorang staf biasa.

Lantas, bagaimana modus Mulyadi membobol anggaran gaji tersebut berjalan mulus selama tiga tahun?

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 3 halaman

Modus SPJ Fiktif

Kini, Mulyadi menjadi satu-satunya orang yang bersalah dalam kasus tersebut. Statusnya kini sebagai satu-satunya terdakwa kasus pembobolan atau mark-up gaji di Pengadilan Negeri (PN) Jambi.

Sebelum kasus itu dibawa ke meja hijau, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi yang mengusut kasus ini sempat mengungkap modus Mulyadi menilap anggaran gaji pegawai Pemprov Jambi hingga merugikan negara Rp 4,6 miliar.

Kasi Penerangan Hukum (Penkum) Kejati Jambi, Dedy Susanto mengatakan, modus pelaku adalah menggelembungkan besaran gaji bulanan yang dibayarkan.

Misalnya, di setiap Satuan Kerja Perangkat Dinas (SKPD) anggaran besaran gaji pegawai adalah Rp 500 juta. Biasanya, besaran gaji yang diusulkan dilebihkan 10 persen sehingga anggarannya menjadi Rp 550 juta dan biasanya tidak dihabiskan. Usulan kelebihan 10 persen itu dimaksudkan untuk antisipasi apabila ada kenaikan gaji atau penambahan pegawai honor.

Namun oleh Mulyadi, kelebihan tersebut tetap dicairkan sesuai jumlah pegawai yang ada. Caranya dengan membuat laporan SPJ fiktif. Dengan begitu, seluruh anggaran gaji pegawai tiap bulan habis tak tersisa.

Dari informasi yang diterima Liputan6.com, SPJ fiktif itu dibuat Mulyadi sendiri menggunakan komputer. Besaran gaji tiap pegawai yang ada di lembaran file atau data yang berbentuk PDF diubah terlebih dahulu untuk selanjutnya dicetak layaknya asli.

3 dari 3 halaman

Seret Atasan

Berlanjut hingga persidangan di PN Jambi, oleh jaksa penuntut umum (JPU), Mulyadi dituntut 7 tahun penjara. Ia juga diharuskan membayar uang pengganti kerugian negara sebesar Rp 4,6 miliar subsider 3,5 tahun penjara.

Tak hanya itu, Mulyadi juga dituntut membayar denda Rp 200 juta subsider tiga bulan penjara.

Pada persidangan terakhir pada Rabu, 20 Desember 2017, Mulyadi diberi kesempatan untuk membacakan pleidoi atau nota pembelaan. Dalam pleidoi yang dibacakan penasihat hukum Mulyadi, Tengku Ardiansyah, ia mengungkapkan alasan menilap anggaran gaji pegawai itu.

Ia mengaku banyak tunggakan utang di bank atau koperasi sejumlah PNS di Pemprov Jambi. Sebab itu, ia terpaksa menggelembungkan gaji hingga Rp 100 juta per bulan.

"Utang pegawai itu tersebar di Bank Syariah Mandiri, Bank BRI, Bank Artha dan Koperasi Kantor Gubernur, Koperasi Main Sari, Koperasi Sembilan Lurah, Koperasi Karya Mandiri dan Koperasi Ganda Jaya," ucap Ardiansyah saat membacakan pleidoi.

Ardiansyah juga meminta agar penyidik tidak tinggal diam atas kasus tersebut. Sebab, ada sejumlah atasan Mulyadi yang seharusnya ikut bertanggung jawab dalam kasus tersebut.

Mengingat aksi menilep anggaran gaji pegawai itu berjalan lumayan lama, fungsi pengawasan artinya tidak berjalan. Apalagi, status Mulyadi hanya staf biasa dan tidak mungkin bekerja hanya atas inisiatif sendiri.

"Atasan terdakwa seperti Kasubag Administrasi, Kabag Keuangan, Kepala Biro Umum juga harus bertanggung jawab," ucap Ardiansyah.