Liputan6.com, Garut - Sedianya sampah selalu menjadi problem masyarakat. Namun, bagi anggota koperasi Dangiang di Kampung Cikole, Desa Wanasari, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat, sampah justru menjadi berkah.
Asep Rahmat (60), Ketua Koperasi Dangiang, Garut, bersama anggota kelompok koperasi lainnya, mampu mengolah tumpukan sampah organik pasar dan rumah tangga yang berada di wilayahnya, menjadi dua produk alami sekaligus tepat guna.
"Istilahnya back to nature, sudah murah hasilnya melimpah," ujarnya saat ditemui di pabriknya, di Garut, akhir pekan lalu.
Advertisement
Baca Juga
Mereka terpanggil mengolah sampah menjadi produk bermanfaat, karena melimpahnya sampah yang berada di sekitar koperasi yang berdekatan dengan pasar rakyat Wanaraja tersebut.
Dalam prosesnya, sampah yang dikumpulkan dipilah menjadi dua bagian. Jika sampah plastik diubah menjadi bahan bakar minyak (BBM) sintetis dengan niilai oktan baik.Â
Adapun, sampah organik didaur menjadi pupuk organik bernutrisi tinggi. Sampah organik yang berasal dari sampah pasar dan kotoran ternak, diolah menjadi butiran kecil seperti crumble, yang siap ditebar ke lahan pertanian untuk menyuburkan tanaman.
"Kalau langsung kotoran ternak ditebar itu bukan pupuk organik, tapi kotoran saja, pupuk organik itu harus melalui proses fermentasi dulu," papar dia.
Dengan kandungan nutrisi yang lengkap, koperasi ini telah menyosialisasikan pupuk organik ini sejak tahun 2000 lalu kepada petani sekitar. Upaya ini ujar dia, sekaligus menyadarkan petani agar meninggalkan pupuk kimia.
"Sudah ada tiga desa di Kecamatan Wanaraja yang beralih ke pupuk organik secara total," kata dia.
Kisah Pupuk Organik
Asep menceritakan awal mula dirinya termotivasi membuat pupuk organik ini ketika ayahnya yang merupakan petani mengeluhkan selalu meradang saat panen tiba.
"Istilahnya satu sisi ada yang diuntungkan, yakni perusahaan pupuk, sementara petani malah semakin rugi," ujarnya.
Berangkat dari kondisi itulah, sejak 1999 lalu, Asep bersama anggota koperasi lainnya mulai bergerak mengolah sampah organik pasar dan rumah tangga menjadi pupuk berkualitas.
Awalnya, ia hanya coba-coba untuk kalangan internal anggota koperasi, tetapi setelah menunjukkan hasil signifikan, baru dia berani menawarkan kepada petani sekitar koperasi.
"Bukan hanya menanggulangi limbah sampah, tapi sekaligus pengendalian lingkungan," ungkap dia.
Kini 18 tahun sudah koperasi ini berjalan, selain menghasilkan produk ramah lingkungan, koperasi peduli lingkungan ini, mampu memberikan pemahaman petani untuk kembali menggunakan produk yang bersahat dengan alam.
"Mari kita tinggalkan produk yang merusak lingkungan," ujar dia.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Â
Â
Â
Â
Advertisement
Tanah Lebih Subur Tanpa Pupuk Kimia
Sekretaris Koperasi Dangiang, Heri Mochammad Fajar mengakui, selain pengolahan limbah plastik untuk menghasilkan BBM sintetis, lembaganya kini tengah fokus terhadap diseminasi pengolahan limbah menjadi pupuk organik.
"Produk ini hasil berdiskusi soal pertanian dengan petani," kata dia.
Semakin tingginya beban operasional pertanian, akibat mahalnya pupuk kimia yang harus dibeli petani, mendesaknya berpikir keras untuk menghasilkan pupuk yang berkualitas dengan harga terjangkau.
Namun beruntung, letak koperasi yang berdekatan dengan pasar Wanaraja, menjadi berkah dengan menumpuknya sampah organik sebagai bahan baku pengolahan pupuk.
"Rata-rata satu hari bisa dapat enam ton sampah," ujarnya.
Dengan keuletan dan kerja keras seluruh anggota koperasi, akhirnya koperasi Dangiang mampu menghasilkan produk pupuk alam dengan kandungan nutrisi dan zat hara yang sesuai kebutuhan tumbuhan.
"Kini selain petani sekitar, produk sudah sampai ke Palembang, Pekanbaru, dan Jawa Timur," kata dia.
Fajar menyatakan, perjuangannya dalam mengampanyekan pupuk organik selama ini mulai menunjukkan hasil, setidaknya ratusan petani tiga desa di wilayah Kecamatan Wanaraja Garut sudah mulai memetik hasilnya.
"Sekarang tanah lebih subur dan tentu tidak tergantung lagi sama pupuk kimia," kata dia.
Â
Â
Â
Sempat Tembus Amerika Selatan
Meskipun dengan pengolahan sederhana, Fajar mengaku lembaganya mampu menghasilkan 6 hingga 10 ton pupuk organik. Kelas dua dijual Rp 800 per kilo, kelas 1 seharga Rp 900 per kilo, sedangkan harga organik plus Rp 1.200 per kilo gram.
Fajar mencontohkan, untuk satu kali tanam padi di lahan seluas 1 hektare, biaya pupuk organik hanya sebesar Rp 1,5 juta dengan hasil hingga 12 ton, sedangkan biaya operasional pupuk kimia untuk satu kali tanam dengan luasan yang sama bisa menyedot biaya hingga Rp 4 juta.
"Jika pupuk kimia dengan lahan sama paling hanya 5-7 ton gabah," kata dia.
Asep menyebut awalnya para petani enggan menggunakan pupuk organik. Akibat pola tanam yang telah mendarah daging di kalangan petani menggunakan pupuk kimia.
Ia bersama anggota koperasi lainnya, butuh perjuangan menyadarkan petani memakai pupuk organik. Namun, kini petani sudah beralih dan enggan menggunakan pupuk kimia. "Mungkin baru menyadarinya saat ini," kata dia.
Produk pupuk organik Dangingan bahkan pernah ekspor ke Amerika Selatan meskipun menggunakan merk dagang perusahaan lain. Namun, setelah banyaknya produk tiruan dengan kualitas diragukan, akhirnya proses itu dihentikan.
"Banyak merusak pasaran, ngapain dilanjutkan," ujarnya.
Selain bahan baku sampah organik dari pasar, Fajar menyatakan lembaganya kini menghimpun sampah organik rumahan yang berasal dari warga sekitar.
"Setelah sampah organik bisa diatasi, kami berpikir untuk mengolah sampah plastik," ujarnya sambil menunjukan tumpuhan pupuk organik hasik olahannya.
Advertisement