Liputan6.com, Jakarta - Sebuah bangunan megah pernah berdiri tegak menjulang pada masanya di Kecamatan Cisalak, Sukmajaya, Depok, Jawa Barat. Itu adalah Rumah Cimanggis alias Gedong Tinggi.
Rumah itu sebenarnya sangat anggun, dengan tiang-tiang tinggi khas kebudayaan Hindis yang berpadu dengan kebudayaan Eropa. Banyak sudah yang mengaguminya karena bangunan serupa semacam itu langka di zaman sekarang. Namun, kini bangunan itu terancam dirobohkan karena rencana pembangunan Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).
Ketua DPRD Kota Depok, Hendrik Tangke Allo, ketika dimintai pendapatnya pada Sabtu (30/12/2017) mengenai rencana tersebut mengatakan situs sejarah harus dipertahankan. Apalagi, Rumah Cimanggis merupakan bagian dari sejarah bangsa, khususnya di Depok.
Advertisement
"Memang sebaiknya sebelum rencana pembangunan UIII dilaksanakan, pemerintah harus duduk bareng dengan stakeholder yang ada untuk cari solusi. Namun, yang pasti saya akan minta situs sejarah tetap dipertahankan," ia menuturkan.
Berikut fakta-fakta mengenai Rumah Cimanggis yang kini di ambang kehancuran.
Dibangun oleh Gubernur van der Parra untuk Istri Keduanya
Rumah Cimanggis pada mulanya adalah sebuah rumah peristirahatan yang dibangun oleh Gubernur Jenderal VOC Johannes Petrus Albertus van der Parra (1761-1775) untuk istri keduanya, Johanna van der Parra, pada 1775.
JJ Rizal, sejarawan Betawi, pada Sabtu (30/12/2017) menjelaskan, pada sekitar 1730, Batavia menjadi tidak sehat akibat banjir dan banyaknya wabah penyakit. Maut mengintai warganya, sampai-sampai Batavia dijuluki kuburan orang-orang Belanda (Graf der Hollanders).
Oleh karena itu, banyak pejabat kaya VOC yang membangun rumah peristirahatan di daerah selatan Batavia untuk tetirah. Rumah itu biasanya sangat mewah, khas arsitektur Hindis dengan perkebunan yang luas.
"Termasuk Julius Coyeet, anggota Raad van Indie, membangun rumah di Gunung Sahari pada 1736. Gubernur Jenderal van Imhoff memilih lebih ke selatan lagi. Van Imhoff membangun rumah di Bogor pada 1745. Sementara Gubernur Jenderal van der Parra, yang terkenal suka bermewah-mewah dan korup, turut membangun rumah peristirahatan di Cimanggis pada 1775," ujar Rizal.
Advertisement
Contoh Terbaik Arsitektur di Pinggiran Batavia pada Abad ke-18
Di kala bangunan lain sezamannya sudah ambruk, Rumah Cimanggis masih berdiri tegak, meski kini kondisinya memprihatinkan.
"Bukan hanya pencapaian arsitektur tropis Hindia dengan Eropa dari pertengahan abad ke-18, tetapi juga penanda pembukaan hutan sebagai jalur bagi kawasan kota baru di luar kota benteng Batavia yang kelak bukan hanya menjadi Kota Cimanggis, Depok, tetapi juga kota-kota lain di Jawa," ujar Rizal, Sabtu (30/12/2017).
Memang pembukaan kota baru selalu diawali dari pembangunan di pinggiran kota. Sebab, dengan adanya land huizen (tempat peristirahatan), ekonomi menjadi bergerak. Lapangan kerja tersedia untuk pelayan, koki, pengasuh, maupun perawat rumah. Perkebunan dan pasar-pasar muncul. Ditambah lagi, jalurnya juga berkaitan dengan Jalan Raya Pos karya Daendels yang terkenal.
"Sebab, dari jalur itulah kelak Daendels membuatnya menjadi Jalan Raya Pos sebagai jalur urat nadi tempat kota-kota di Jawa lahir dan tumbuh seperti kita kenal kini," ujar Rizal menambahkan.
Selain penting dari segi historis, Rumah Cimanggis juga penting dari aspek ekologis karena kawasan Rumah Cimanggis adalah kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Depok yang sedang mengejar target 30 persen RTH. Selain itu, juga difungsikan untuk retensi air atau menahan run off jika hujan di Puncak, Bogor, Depok, agar tidak menjadi beban air di Jakarta
Diwariskan kepada Arsitek Pembuatnya hingga Pernah Dikunjungi Sukarno
Johanna van der Parra (1743-1781), istri Gubernur Jenderal VOC Johannes Petrus Albertus van der Parra, adalah putri David Johan Bake, salah seorang petinggi VOC. Johanna merupakan janda Anthony Gulden Arm, yang juga merupakan petinggi VOC. Rumah peristirahatan itu dibangun selama periode 1775-1778 dan disebut Gedong Tinggi. Ketika Johanna meninggal pada 1787, Gedong Tinggi beserta seluruh isinya diserahkan kepada arsiteknya, David J. Smith.
JJ Rizal menjelaskan, pada 1932 santer diberitakan Gedong Tinggi dan kawasan sekitarnya ada di bawah kepemilikan de Meyer. Kemudian pada masa revolusi, rumah bersejarah Gedong Tinggi menjadi markas tentara Belanda. “Dan pada 1950-an, Sukarno dikabarkan pernah mampir ke Gedong Tinggi dalam perjalanan menuju Bogor dari Pasar Cimanggis,” tuturnya.
Dia melanjutkan, setelah Sukarno jatuh, pemerintahan Soeharto mengambil alih Rumah Cimanggis dan menjadikannya Komplek RRI pada 1967. “Namun, selang 50 tahun setelahnya, bangunan bersejarah ini justru tak terurus dan rusak,” ujar Rizal menyayangkan.
“Baik di bawah Kabupaten Bogor maupun di bawah Kota Depok, nasib situs sejarah Rumah Cimanggis sama menyedihkannya,” katanya menegaskan.
Advertisement
Beredar Petisi untuk Menyelamatkan Rumah Cimanggis
Sejak santer beredar kabar situs bersejarah Rumah Cimanggis akan dirubuhkan sejalan dengan pembangunan kampus Universitas Islam Internasional Indonesia, sejumlah aktivis dan pegiat sejarah pun bereaksi dengan membuat petisi untuk menolak dirobohkan situs bersejarah rumah peristirahatan (land huizen) yang disebut-sebut sejarawan Adolf Heuken sebagai contoh arsitektur rumah terbaik di ommelanden (daerah pinggiran) Batavia pada abad ke-18 itu.
Selengkapnya petisi di Change.org itu berbunyi, "Selamatkan Situs Sejarah Rumah Cimanggis Depok Abad ke-18."
Dalam pembukaannya, dituliskan bahwa sepuluh tahun terakhir merupakan masa paling mengenaskan bagi nasib bangunan bersejarah di Depok. Situs-situs sejarah yang mayoritas heritage dari abad 18 dan 19 secara berturut-turut dihancurkan. JJ Rizal menyebut, "Depok gencar membangun, tapi diarahkan oleh pemerintah kotanya sebagai kota tanpa ingatan, tanpa masa lalu."
Tercatat, pada 2007 Rumah Pondok Cina yang dibangun tahun 1690 dihancurkan dan hanya disisakan bagian depannya saja. Kemudian tahun 2013, giliran Rumah Pembakaran Kapur di Curug, Cimanggis, dihancurkan untuk gudang pabrik obat. Kini, akankah Rumah Cimanggis bernasib serupa?
"Setop membangun tanpa mempedulikan sejarah," JJ Rizal menandaskan.