Â
Liputan6.com, Cirebon - Bila ku ingat
Ku selalu sengsara
Advertisement
Dalam hidupku
Yang penuh derita
Walau itu suatu masa
Kan berlalu
Seperti angin
Bertiup di sisiku
Oh...oh...
Kepergian Yon Koeswoyo, musikus legendaris vokalis Koes Bersaudara dan Koes Plus, pada awal tahun 2018 tak hanya menyisakan duka bagi keluarga. Para penggemar hingga sahabat Yon Koeswoyo turut merasakan kepergian sang penyanyi legenda asal Tuban, Jawa Timur itu.
Seperti yang dirasakan dokter Heru Purwanto, salah seorang sahabat dekat Yon Koeswoyo ini merasakan kehilangan sosoknya. Heru sempat bercerita awal mula perkenalannya dengan Yon.
Dia menuturkan, perkenalannya dengan Yon Koeswoyo saat Koes Plus pertama kali manggung di Cirebon, Jawa Barat. Heru yang sejak kecil sudah mengidolakan Koes Plus itu sengaja datang dan memperkenalkan diri.
Baca Juga
"Tahun berapa juga saya lupa, tapi setelah manggung saya salaman dan kenalkan diri. Kemudian saya diajak ngobrol, bahkan nyanyi bareng," ucap Heru kepada Liputan6.com, Minggu, 7 Januari 2018.
Heru kemudian diajak Yon ke ruangan artis dan berbincang bersama para kru. Di tengah perbincangan mereka, Yon mengajak Heru berduet menyanyikan lagu-lagu Koes Plus.
Di tengah asyiknya berduet, Yon mengaku kaget mendengar suara yang dinyanyikannya. Heru berkata kepada Yon bahwa dirinya juga hobi menyanyi dan memiliki suara tinggi.
"Kata beliau gini, 'Waduh ini kok suaranya dokter kayak suara almarhum mas Toni Koeswoyo.' Kemudian beliau tanya dokter ini dari mana. Saya jawab orang Surabaya. 'Wah, saya kira orang Batak karena suaranya tinggi'," tutur Heru seraya menceritakan perbincangannya dengan Yon Koeswoyo saat itu.
Yoes Koeswoyo, langsung memberikan alamat rumahnya di Jalan Salak, kawasan Pamulang Tangerang Selatan, Banten. Heru pun rajin berkomunikasi dengan Yon Koeswoyo, termasuk sering berkunjung ke rumahnya.
Â
Kerap Berduet
Setiap berkunjung, menurut Heru, Yon Koeswoyo selalu mengajak Heru bernyanyi. Bahkan, Heru selalu diminta untuk mengiringinya saat bernyanyi.
"Mas Yon suara satu, saya suara dua," lanjut Heru.
Dia menceritakan, di kediamannya, Yon Koeswoyo memiliki banyak koleksi lagu Barat legenda. Yon yang kelahiran 27 September 1940 di Tuban itu juga pandai bermain piano.
Heru mengaku selalu diajak berduet setiap kali Yon Koeswoyo memainkan piano. Jika sedang memainkan piano, Yon biasanya menyanyikan lagu-lagu band legendaris asal Inggris, The Beatles, yang sezaman dengan Koes Bersaudara dan Koes Plus.
Heru pun sempat ditantang untuk berduet membawakan lagu The Beatles, seperti "Let It Be" dan "Hey Jude". Dari kebiasaannya berduet ini, Heru sempat bertanya kepada Yon mengenai musik-musik yang dibawakan Koes Plus.
"Saya tanya mas Yon ini lagunya Koes Plus kok sepertinya mirip dengan Beatles, ya? Almarhum jawab, 'Ya, memang waktu pertama kali bahkan pernah di penjara saya membawakan lagu Beatles'," ujar dia.
Sang dokter mengaku kedekatannya dengan Yon Koeswoyo sudah seperti saudara sendiri. Bahkan, Heru selalu dikabari keluarga Yon Koeswoyo terkait kondisinya.
Kedekatan Heru dengan Yon Koeswoyo tak hanya sekadar bernyanyi bersama. Heru sering memberi perhatian kepada Yon tentang kesehatan, pola hidup, dan pola makan.
Heru juga pernah dikabari Gerry, anak Yon Koeswoyo, terkait kondisi terakhir sang ayah sebelum wafat. Dia mengatakan, saat itu, Gerry menyampaikan bahwa ayahnya sudah tidak bisa nyanyi karena kondisinya drop.
"Biasanya kalau saya dikabari mengenai kondisi mas Yon, saya langsung datang dan beliau pasti ngajak nyanyi. Bahkan, sampai anaknya pernah bilang, dari semua tamu cuma saya yang diajak nyanyi bareng papahnya," katanya.
Mantan Direktur Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Gunungjati, Cirebon ini mengaku selama berkomunikasi sering menanyakan kondisi kesehatan Yon Koeswoyo. Heru juga selalu selalu mengingatkan Yon untuk menjaga pola makan dan pola hidup.
Â
Advertisement
Gigi Palsu dan Duet Terakhir
Kedekatan Yon Koeswoyo dengan Heru Purwanto menyisakan banyak cerita menarik dan tak terlupakan. Heru pun mengaku pernah membantu membuatkan gigi palsu untuk Yon Koeswoyo.
Saat itu, sekitar tiga tahun lalu, Yon Koeswoyo mengaku sempat mengeluh kepada Heru mengenai giginya yang sudah ompong. Heru pun menyarankan agar Yon segera ke Cirebon untuk ditangani oleh dia.
Di kediaman Heru, sang legenda pop Indonesia tersebut diperiksa dan dibuatkan gigi palsu. Heru kemudian membawa Yon Koeswoyo ke Poli Gigi RSUD Gunungjati untuk memasang gigi palsunya.
"Mas Yon mengeluh, 'Aku nek nyanyi angel anu gigi ku loro (Aku mau nyanyi, tapi susah karena gigiku cuma dua)' Terus saya jawab, 'Yo wes ke Cirebon ae (Ya, sudah ke Cirebon saja). Di rumah sakit, Mas Yon banyak yang minta foto juga," tutur Heru.
Kedekatan Heru dan Yon Koeswoyo bukan semata karena hobi menyanyi, keduanya sama-sama berasal dari Jawa Timur. Heru mengaku bangga bisa kenal dan menjadi sahabat dekat Yon Koeswoyo.
Bagi dia, sosok Yon Koeswoyo merupakan legenda yang tidak ada duanya di Indonesia. Sosok Yon yang ramah juga membuat Heru kagum dan tidak akan melupakan momen-momen penting bersama Yon.
Dia mengaku, selalu mengabadikan momen duetnya bersama Yon Koeswoyo setiap kali bertemu. Terhitung ada, tujuh lagu duetnya bersama Yon Koeswoyo direkam di rumah almarhum.
Dia menuturkan, tiga bulan sebelum wafat, Yon Koeswoyo menghubungi Heru meminta dia datang ke rumah untuk bernyanyi bersama. Heru pun memenuhi permintaan Yon untuk datang dan bernyanyi bersama.
"Mas Yon bilang, 'Ayo pak dokter sini, kapan kita nyanyi lagi?' Lalu, saya ke sana. Saya tidak mengerti pas saya putar ulang ternyata duet terakhir judulnya 'Derita'. Saya resapi di bait terakhir tertulis syair, tiada yang abadi," ujarnya.
Heru mengaku rencana akan datang ke kediaman Yon Koeswoyo pekan depan, namun takdir berkata lain. Di akhir sebelum wafat, Heru pun sempat diberi ucapan terima kasih atas perkenalan dan perhatian yang diberikannya kepada Yon Koeswoyo.
Dia mengaku sudah mendapat kabar tentang kondisi terakhir Yon dirawat di rumah sakit. Bahkan, sang anak memberi kabar bahwa ayahnya tidak bisa menyanyi lantaran kondisi drop.
Mendengar kabar kepergian sahabatnya, Heru langsung bertolak ke Jakarta dan bertemu keluarga. Heru pun memberi penghormatan terakhir kepada sang legenda musik di Tanah Air dan akan terus mengenang perjalanan persahabatan mereka.
"Sebelum wafat, Gerry bilang, 'Pak dokter, papa sudah tidak bisa nyanyi lagi, drop badannya.' Ya, udah nanti saya ke sana minggu depan. Dan, pas saya pulang malam dari Jakarta juga, hari Jumat jam lima pagi dapat SMS, mas Yon wafat. Saya langsung berangkat lagi," tutur Heru.
Keluarga Koeswoyo Keturunan Sunan Muria
Kehidupan Yon yang bernama asli Koesyono Koeswoyo memang tak terlepas dari perjalanan musik band Koes Bersaudara yang berlanjut pada Koes Plus. Yon adalah anak keenam dari sembilan bersaudara pasangan Raden Koeswoyo dan Rr. Atmini asal Tuban, Jawa Timur.
Adapun urutan kakak-beradik Koeswoyo adalah Tituk (meninggal sewaktu bayi), Koesdjono (Jon alias John Koeswoyo), Koesdini (Dien), Koestono (Ton alias Tonny Koeswoyo), Koesnomo (Nom alias Nomo Koeswoyo), Koesyono (Yon alias Yon Koeswoyo), Koesroyo (Yok alias Yok Koeswoyo), Koestami (Miyi), Koesmiani (Ninuk).
Berdasarkan informasi yang dihimpun Liputan6.com, merujuk silsilah keluarga, mereka termasuk generasi ketujuh keturunan (trah) salah satu Wali Songo, yaitu Sunan Muria di Tuban. Ibu mereka adalah keponakan dari Bupati Tuban pada zaman penjajahan Belanda.
Boleh dibilang, masa kecil Yon bersama saudara-saudaranya dilalui di Tuban, kota di pesisir pantai utara di daerah Jawa Timur. Mengutip buku Terlalu Indah Dilupakan: Koes Plus-Koes Bersaudara dalam Catatan Penggemar terbitan 2007 yang ditulis Budi Santoso cs, Pak Koeswoyo bekerja sebagai camat di Tuban dan sempat juga menjadi asisten wedana di Babad (sebuah kota kecil di daerah Tuban).
Hingga akhirnya di tahun 1952, Koeswoyo pindah ke Jakarta dan bekerja di Departemen/Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya, barulah ia memboyong anak-anak dan istrinya ke Ibu Kota. Ketika itu, dekade 50-an, kondisi Jakarta masih sangat sepi. Jalan Jenderal Sudirman, misalnya, kerap lengang. Bahkan, kawasan Senayan masih berupa kebun karet.
Keluarga Koeswoyo dijemput mobil Kementerian Dalam Negeri menuju rumah mereka di Jalan Mendawai III Nomor 14 Blok C, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kamar tidur yang hanya dua dan berukuran 3x3 meter dan ranjang besar yang dibawa dari Tuban tidak bisa masuk. Kondisi ini mengharuskan mereka untuk tidur beralaskan tikar dengan selimut jarik.
Kehidupan mulai membaik ketika Koeswoyo pensiun dan kemudian bekerja sebagai pegawai administrasi di Bank Timur hingga tahun 1959.
Â
Advertisement
Awal Terbentuknya Koes Bersaudara
Koes Bersaudara pertama kali terbentuk di tahun 1961 dan mengalami masa jayanya hingga tahun 1969. Berawal dari kegemaran mereka, Koes Brothers di masa kecilnya memang senang bermusik, tapi tak langsung dengan alat-alat musik pada umumnya. Mereka masih menggunakan alat-alat rumahan dan dasarnya memang mereka bisa bernyanyi.
Berawal dari kegemaran tersebut, mereka kemudian mencoba mengamen hingga akhirnya sering diundang di acara-acara ulang tahun, sunatan, dan pernikahan untuk melatih kemampuan mereka juga. Dengan kegigihan dan kreativitas mereka, khususnya Tonny yang merupakan "otak" dari keberhasilan Koes Bersaudara dan Koes Plus, akhirnya mereka dapat menembus dunia rekaman.
Berbekal tekadnya yang kuat, Tonny mampu mengalahkan pandangan orang yang minor. Tonny Koeswoyo mulai menciptakan lagu sendiri. Dua lagu mampu ia ciptakan dalam satu minggu, yakni "Weni" dan "Terpesona".
Adapun formasi awal ketika mereka membuat rekaman dengan nama Koes Bersaudara, yaitu Djon (bas betot), Tonny (melodi gitar), Yon (vokal), Yok (vokal dan rhythm gitar), Nomo (drum), Jan Mintaraga (bas), dan Iskandar (membantu juga dalam bermain drum).
Piringan hitam (PH) Koes Bersaudara yang pertama keluar pada tahun 1962/1963. PH ini berisi lagu-lagu yang sangat populer sampai sekarang, seperti "Dara Manisku", "Angin Laut", "Senja", "Bis Sekolah", "Telaga Sunyi", dan "Dewi Rindu".
Tembang milik mereka pun mulai mengudara di berbagai stasiun radio dalam negeri, RRI, dan Radio Angkatan Udara, bahkan menembus hingga ke negeri jiran. Lagu "Angin Laut", "Dewi Rindu", dan "Telaga Sunyi" masih enak didengar di telinga zaman sekarang. Padahal, 50 tahun lebih sudah lagu-lagu itu diciptakan. Setelah rekaman pertama Djon, Jan Mintaraga, dan Iskandar tidak lagi ikut dalam formasi Koes Bersaudara.
Â
Larangan Musik 'Ngak Ngik Ngok', Koes Bersaudara Masuk Penjara
Pada 29 Juni 1965, Koes Bersaudara masuk tahanan. Mereka dianggap tak mengindahkan peringatan yang diberikan pihak kepolisian tentang pelarangan musik "ngak ngik ngok".
Hingga akhirnya pihak kepolisian pun melarang musik-musik Koes Bersaudara beredar di masyarakat. Namun para pendengar Koes Bersaudara masih dapat mendengarkan lagu-lagunya melalui radio Singapura.
Koes Bersaudara ditahan ketika lagu "Pagi yang Indah" menjadi top hit di seberang lautan, yaitu Singapura. Keempatnya masuk ke sel nomor 15 di Penjara Glodok, Jakarta.
Masih merujuk buku Terlalu Indah Dilupakan: Koes Plus-Koes Bersaudara dalam Catatan Penggemar terbitan 2007 yang ditulis Budi Santoso cs, pengalaman buruk mendekam dalam penjara ternyata membawa pengaruh pada lagu-lagu ciptaan mereka setelah itu.
Pengaruh ini dapat terlihat dari banyaknya lagu yang bercerita tentang hubungan manusia dengan Tuhan. Sebagai contoh, selain "Balada Kamar 15" ada lagu-lagu seperti "Di Dalam Bui", "Jadikan Aku Domba-Mu", "Untuk Ayah dan Ibu", "Mengapa Hari Telah Gelap", dan "To The So Called The Guilties".
Pada peringatan 17 Agustus 1965, nama Koes Bersaudara bahkan disebut-sebut dalam pidato Presiden Sukarno atau Bung Karno di depan Corps Gerakan Mahasiswa Indonesia.
Advertisement
Dari Koes Bersaudara Jadi Koes Plus
Tahun 1969, kelompok Koes Bersaudara berubah nama menjadi Koes Plus. Satu anggota Koes Bersaudara, Nomo Koeswoyo keluar dan digantikan Kasmuri atau Murry sebagai penggebuk drum. Dalam formasi ini, Nomo digantikan Murry yang bukan dari keluarga Koeswoyo.
Alhasil, Koes Bersaudara harus berubah. Sekalipun pergantian ini awalnya menimbulkan masalah dalam diri salah satu personelnya, yakni Yok yang keberatan dengan adanya orang luar di dalam keluarga Koeswoyo. Kata "Bersaudara" seterusnya diganti dengan "Plus".
Asal Mula Nama Koes Plus
Soal asal nama Koes Plus tak hanya sekadar karena adanya Murry, anggota di luar keluarga Koeswoyo yang pada akhirnya ikut bergabung di dalam grup tersebut. Tapi, ada cerita menarik yang diceritakan oleh Murry yang dikemukakan dalam suatu acara di salah satu televisi swasta nasional, beberapa waktu lalu.
Ketika suatu saat setelah latihan musik bersama Koes lainnya, Murry berboncengan naik sepeda motor dengan Tonny. Keduanya mencari makan malam di daerah Mayestik, Jakarta Selatan.
Saat di warung terjadi obrolan "Dik Murry, gimana kalau grup kita yang baru ini dinamakan Peace and Free? Murry nyeletuk, "Wah, kok angel dieling-eling (sukar diingat).
Hingga akhirnya makanan sudah habis, namun diskusi belum juga habis. Mereka kemudian berboncengan balik ke kawasan Jalan Haji Nawi, Jakarta Selatan, tempat keluarga Koes tinggal.
Pada saat itu, mereka melihat baliho iklan Obat flu APC-PLUS (yang populer pada saat itu). Mendadak sontak, mas Ton nyeletuk, "Gimana kalau grup musik kita menjadi Koes Plus?"
Murry menyatakan setuju. Maka, sejak hari itu nama yang digunakan adalah Koes Plus, yang diambil secara tak sengaja di pinggir jalan. Nama yang mereka rasa cukup merakyat seperti merakyatnya obat demam APC-PLUS pada saat itu.
Selain itu di mata mereka, nama Koes Plus memiliki kemiripan dengan band The Beatles, baik dalam jumlah suku katanya maupun kemiripan bunyi, "tles" dan "plus". Begitu dibentuk, Koes Plus tidak langsung mendapat simpati dari pencinta musik Indonesia.
Piringan hitam album pertama mereka juga sempat ditolak beberapa toko kaset. Mereka bahkan menertawakan lagu "Kelelawar" yang dianggap aneh dan lucu.
Â
Pejuang Musik
Namun, berpuluh tahun kemudian, pujian justru tertuju pada Koes Plus. Mendiang wartawan musik Denny Sakrie sempat menulis dalam laman pribadinya, dennysakrie63.wordpress.com, bahwa napas baru menyeruak dalam konsep musik yang ditoreh Koes Plus.
Bila Koes Bersaudara terasa lebih folkie dengan sentuhan harmonisasi vokal ala The Everly Brothers maupun Kalin Twin. Maka, Koes Plus lebih open minded. Di album perdana, Dheg Dheg Plas yang dirilis Dimita, tercium bau psychedelic rock yang memang tengah mewabah di belahan Barat sana.
Kala itu, menurut Denny, The Beatles baru saja dipuji dengan album Sgt Pepper's Lonely Heart's Club Band (1967), The Rolling Stones dengan Their Satanic Majestic atau Bee Gees dengan Odesa.
"Dan Koes Plus dengan cerdik menyulam pengaruh musik psychedelic dari ketiga grup Inggris itu dalam lagu 'Kelelawar', 'Cintamu Telah Berlalu', 'Kembali ke Djakarta', dan 'Manis dan Sajang'," tulis Denny dalam artikel bertajuk "Pejuang Musik dari Tuban" yang pernah pula dimuat di majalah d'Maestro edisi Agustus 2004.
Konsep musik yang ditawarkan Koes Plus itu memang seolah mendahului zaman, sehingga album tersebut sempat gagal dalam pemasaran. "Khalayak mungkin belum terbiasa dengan racikan musik Koes Plus itu, masih terbuai dengan Koes Bersaudara. Setahun setelahnya, baru album Koes Plus dilirik orang," tutur Denny Sakrie.
Ia menilai, rasanya tak ada pilihan lain di negeri ini jika menyebut Koes Plus sebagai pendobrak musik pop. Karena setelah munculnya Koes Plus, lalu mencuat banyak band yang berkiprah dengan tendensi dan tradisi mencipta lagu sendiri. Ada Panbers, Favorite's Group, The Mercy's, D'Lloyd, dan sederet panjang lagi.
Dominasi grup-grup band begitu terasa hingga akhir tahun 70-an. "Koes Plus sendiri berlenggang sendiri di depan tanpa saingan. Bahkan, lalu muncul epigon yang mencoba mirip dengan Koes Plus, misalnya No Koes, Kembar Group, Usman Bersaudara, Topan Group, Sir Koes, dan lainnya.
Adapun di mata pengusaha musik rekaman, Koes Plus adalah tembang emas tiada tara. Koes Plus pun terjebak arus komersialisasi membabi buta. "Pelbagai aliran musik pun direkam Koes Plus. Tak hanya musik pop, tapi juga dangdut, keroncong, pop Jawa, pop anak-anak, kasidah, Christmas, dan entah apa lagi," katanya.
Dalam setahun, Koes Plus tercatat merilis lebih dari 3-5 album. Bahkan di tahun 1974, Koes Plus merilis 22 judul album. "Bisa dibayangkan betapa terkuras habis energi kreativitas mereka," Denny membeberkan.
Dan seperti yang bisa ditebak, di jalan ini pulalah Koes Plus tersungkur. "Koes Plus jadi korban kiat dagang yang hanya memihak pada sisi aji mumpung belaka. Ini adalah terpaan badai yang ketiga," imbuhnya.
Sementara, terpaan badai keempat, Tonny Koeswoyo sang inspirator meninggal dunia pada Maret 1987. Regenerasi menjadikan Koes Plus harus keluar dari kotak industri musik.
"Tapi yang tak terbantahkan: Koes Bersaudara atau Koes Plus adalah bagian dari sejarah musik negeri ini. Dan kesalahan terbesar jika membicarakan musik pop Indonesia tanpa menyebut kiprah Koeswoyo bersaudara," Denny Sakrie memungkasi artikelnya yang diunggah di laman pribadinya, pada 6 Februari 2011.
...Kini semua
Ku telah mengerti
Semua di dunia
Tiada yang abadi
Ah...ah...ah...
(Lagu "Derita" ciptaan Tonny Koeswoyo dari album volume satu Koes Plus, Dheg Dheg Plas, tahun 1969)
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement