Liputan6.com, Malang - Ribuan bangunan cagar budaya peninggalan masa kolonial Belanda bertebaran di Kota Malang, Jawa Timur. Ada dua kawasan yang paling banyak berdiri bangunan berarsitektur art deco atau Eropa klasik, yakni di kawasan pusaka Kayutangan dan kawasan Ijen–Kawi.
Di masa Hindia Belanda, kedua kawasan itu memiliki peruntukkan berbeda. Kayutangan menjadi pusat kota dan perdagangan, sedangkan kawasan Ijen-Kawi menjadi tempat bermukim orang–orang Belanda. Malang didesain Belanda menjadi tempat peristirahatan yang nyaman.
"Dalam sejarahnya, kota ini dirancang sebagai kota taman yang nyaman dan memahami kebutuhan masyarakatnya," kata Sekretaris Tim Cagar Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang, Agung Buwana, Selasa, 9 Januari 2018.
Advertisement
Baca Juga
Herman Thomas Karsten, seorang ahli tata kota Hindia Belanda ada di balik rancangan itu. Ia ditunjuk sebagai arsitektur Kota Malang, saat kota ditetapkan sebagai gementee atau kota madya oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda di 1914. Herman membagi rencana pengembangan kota atau bouwplan dalam VIII tahap.
Kayutangan dan Ijen–Kawi menjadi kawasan pusaka. Sebab, di kedua kawasan itu paling banyak dijumpai bangunan peninggalan Belanda. Banyak wisatawan asing khususnya dari Eropa bertandang ke Kota Malang untuk romantisme sejarah.
Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang, pada 2017 tercatat ada 10 ribu wisatawan mancanegara. Hasil survei, 65 persen di antaranya memilih wisata heritage. "Kawasan tua di Kota Malang harus dilestarikan. Wisatawan mancanegara datang ke Malang untuk bernostalgia," ujar Agung.
Perlindungan Cagar Budaya
Seiring perkembangan kota, tak sedikit bangunan lama yang hancur total atau berubah fungsi. Upaya perlindungan dan pelestarian cagar budaya baru dimulai Pemkot Malang. Tim ahli cagar budaya baru dibentuk pada 2016 lalu. Sebagian benda dan bangunan kuno sudah terdata.
Peraturan daerah tentang cagar budaya juga baru disahkan awal 2018 ini. Sejauh ini, ada 212 benda kuno berupa artefak seperti prasasti, lingga, yoni, dan lainnya peninggalan kerajaan kuno sudah dicatatkan dalam sistem registrasi nasional.
"Peraturan daerah sudah ada, penetapan benda kuno sebagai cagar budaya tinggal menunggu peraturan wali kota," ucap Agung.
Setelah ratusan benda kuno itu, sasaran berikutnya adalah mendata kembali bangunan peninggalan masa kolonial Belanda.
Anggota tim ahli cagar budaya mengidentifikasi ada 1.055 bangunan bernilai sejarah di Kota Malang. Hampir 80 persen bangunan berbentuk rumah tinggal yang diperkirakan dibangun pada kurun 1900–1950 tersebut di kawasan Ijen-Kawi.
"Data itu masukkan akademisi anggota tim ahli. Tapi harus diteliti lagi sebelum bisa dinyatakan layak ditetapkan sebagai cagar budaya," Agung menambahkan.
Penelitian tak hanya mempertimbangkan faktor usia bangunan, tapi juga nilai kesejarahan dan ingatan kolektif masyarakat terhadap bangunan itu. Termasuk, menentukan langgam dan gaya bangunan bisa mewakili kondisi era lampau.
"Masukkan dari akademiki itu tetap kita kejar dengan segala upaya dengan pendokumentasian lebih lanjut," ujar Agung.
Advertisement
Kompensasi Perawatan Cagar Budaya
Wakil Wali Kota Malang, Sutiaji saat pengesahan perda cagar budaya mengatakan, Kota Malang sudah tak bisa main-main lagi dengan keberadaan cagar budaya. Selanjutnya, pemkot bakal segera menerbitkan peraturan yang mengatur detail upaya pelestarian cagar budaya.
"Akan ada peraturan wali kota yang mengatur detail, misalnya ada kompensasi untuk masyarakat yang ikut merawat bangunan milik mereka yang masuk kategori cagar budaya," ujar Sutiaji.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang, Ida Ayu Made Wahyuni mengatakan, masyarakat tak bisa seenaknya memperlakukan benda kuno atau bangunan peninggalan kolonial Belanda meski itu milik mereka pribadi.
"Harus sesuai aturan, tak boleh mengubah bentuk bangunan. Nanti akan ada perwali (peraturan wali kota) yang mengatur sanksi sampai penghargaan," ujar Ida.
Sejarawan Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengapresiasi terbitnya perda tentang cagar budaya itu. Apalagi dalam prosesnya butuh waktu panjang hingga disahkan legislatif.
"Secara umum memang masih belum memuaskan, tapi keberadaan perda itu sudah luar biasa," ujar Dwi.
Ia menyarankan Pemkot Malang agar mengembalikan bangunan yang masih memungkinkan kepada fungsi semula. Beberapa tambahan di bangunan yang berpotensi merusak harus dihilangkan, serta menciptakan iklim budaya yang lebih kondusif dengan pelibatan budayawan.
Simak video pilihan berikut ini:
Â