Biak - Masih ingat dengan cerita lima awak kapal yang hilang di Sangihe dan ditemukan di Papua? Kini, kelima nelayan Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, sudah dipulangkan ke kampung halaman mereka dengan menggunakan kapal laut KM Labobar dari Pelabuhan Laut Biak.
"Saya menyampaikan terima kasih kepada semua masyarakat Biak Numfor, Satpol Air Polres Biak, tim rescue Basarnas, Kerukunan Keluarga Satal serta Pemkab Biak Numfor yang sudah memfasilitasi kami pulang ke Sangihe," kata Nakhoda KM Hasrat, Lasdi Hamka (52), dilansir Antara, Sabtu (13/1/2018).
Ia menyampaikan selama proses evakuasi, banyak pihak, termasuk warga kampung Kepulauan Padaido dan Kampung Bromsi yang menemukan mereka pada 7 Januari 2018 telah membantu hingga bisa pulang dengan lancar.
Advertisement
Ia berharap semua bantuan dan pertolongan diterimanya dan keempat rekannya bisa dibalas pahala oleh Tuhan Yang Maha Esa. "Saya mewakili keluarga nelayan Sangihe sangat berterima kasih dengan diberikan pertolongan selama berada di Kabupaten Biak Numfor," katanya.
Baca Juga
Sebelumnya, KM Hasrat dinakhodai Lasdi Hamka bersama empat anak buahnya, Andi Hamka, Burhan Tompoh, Muliadi Manderes, dan Feri Tampilang, berangkat mencari ikan menggunakan kapal berkapasitas 5 GT dari Pulau Kawaluso, Sangihe, Sulawesi Utara, pada Jumat, 8 Desember 2017.
Kelima nelayan mengarahkan kapal menuju perairan utara yang berjarak sekitar 40-50 mil dari pantai untuk mencari ikan. Pulau itu berada tidak jauh dari perbatasan Indonesia-Filipina.
Bulan Desember bagi nelayan memang masa mengkhawatirkan untuk melaut karena kondisi laut kurang bersahabat. Namun, itu tak menyurutkan semangat mereka mencari sesuap nasi guna menghidupi keluarga di rumah.
Setelah beberapa lama di laut, cool box yang mereka bawa terisi banyak ikan. Lasdi akhirnya memerintahkan untuk menarik jangkar, bersiap pulang.
Tak diduga, kapal berbahan setengah fiber itu mengalami gagal mesin. Mesin truk bekekuatan 5 GT yang disematkan di dalam kapal tak mau menyala. Mesin di ‘engkol’ bergantian, tapi tetap tidak bereaksi. Pulau semakin lama semakin menjauh.
"Ada apa ini? Setelah diperiksa, mesin mengalami kerusakan karena air laut tercampur di dalam tangki pengisian bahan bakar. Mesin tak mau dihidupkan lagi," ujar Lasdi bercerita didampingi empat orang ABK lainnya ditemui di Kantor SAR Biak.
Tak terasa, sudah 80 mil jauhnya lokasi KM Hasrat dari Perairan Pulau asal mereka. Mereka mulai panik, cemas, dan perasaan campur aduk lainnya. Apalagi, tidak ada sinyal sehingga sulit untuk meminta bantuan. Mereka pun menyadari semakin menjauh ke arah timur karena tiupan angin barat.
Malam pun tiba. Lasdi dan seluruh ABK tidak henti-henti memanjatkan doa. Kapal bersemang berwarna putih biru mulai terombang-ambing ke arah timur. Semakin jauh dari tujuan.
Tiga hari sudah di atas kapal. Bekal makanan sudah habis. Ikan hasil tangkapan terpaksa dimakan. Buah kelapa hanyut dikumpulkan sebagai sumber air minum tambahan. Pasokan minuman pun mulai memprihatinkan.
Kapal semakin jauh, terbawa arus ombak hingga 850 mil. Semakin jauh dan tak ada daratan. Secercah harapan sempat muncul saat kapal besar yang lewat. Mereka sempat memanggil tapi tak direspons.
"Kami mungkin dikiranya perompak atau pembajak. Karena kapal kita terlihat masih bagus," jelas pria asal Bone Sulsel itu seperti dikutip Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group), Kamis, 11 Januari 2018.
Baca berita menarik JawaPos.com lainnya di sini.Â
Â
Â
Â
Baju Dibakar
Lasdi mengungkapkan hampir seluruh ABK mulai merasakan itu. Apalagi dalam kapal ada salah satu anak yang masih berusia 14 tahun yang putus sekolah dan memilih untuk melaut bersama mereka saat itu.
Lasdi berinisiatif untuk pantang memikirkan hal-hal yang buruk, pantang untuk bersikap lemas, meski tidak pungkiri dia merasakan yang sama. "Itu supaya ABK juga bersemangat. Kita harus tetap memberikan motivasi kepada mereka, bahwa pasti Allah punya jalan untuk kita," ujar duda tiga anak ini.
Menurut perkiraan Lasdi, jika angin membawa mereka ke arah timur, berarti mereka kurang lebih berada di atas perairan Halmahera Maluku Utara.
Nyaris daratan tak terlihat sudah dua minggu lamanya. Cerita mereka pun habis di tengah lautan. Menghitung hari demi hari, berharap adanya keajaiban pertolongan.
Satu per satu baju ABK jadi korban. Batu baterai dijadikan pemantik api sederhana, karena kehabisan korek. Baju dibakar di tengah laut untuk bakar ikan yang mereka tangkap selama di perjalanan. Jika ada ikan yang tersisa, ikan itu bahkan dijemurnya di atas tango atau atap perahu.
"Ikan kalau sudah kena matahari selama siang, sore harinya langsung kita makan lagi. Kalau ada kelapa hanyut kita pakai minum bersama. Kadang ada satu buah, dibagi lima orang," ujarnya.
Hari demi hari mereka lalui di atas kapal ukuran 14 meter X 2,4 meter dengan berdoa dan menghibur dan saling menguatkan. Satu per satu dari mereka mulai bercerita pengalaman masing-masing. Ternyata keluarga menjadi mimpi mereka untuk bertemu langsung secepatnya.
Perlahan mereka pun memikirkan sebuah ide untuk menjadikan terpal dan kain-kain yang ada, termasuk baju mereka, sebagai layar darurat. Dia hanya berharap angin barat membawa mereka terdampar di sebuah pulau berpenghuni.
Advertisement
Keluarga Gelar Tahlilan
Tiga minggu tak ada kabar berita, keluarga di rumah pun sudah menggelar tahlilan, tiga hari, tujuh hari, dan hampir menggelar tahlilan 40 hari. Keluarga mereka seraya terus memanjatkan doa, ikhlaskan semua pada Allah SWT.
Namun, nasib baik justru mulai menghampiri kapal kelima nelayan itu. Tepat pada Jumat, 5 Januari 2018, Lasdi merasakan angin yang berbeda. Dia berfirasat bahwa angin akan membawa mereka ke satu pulau.
Benar saja, pada pagi hari itu dia melihat ada desiran ombak yang begitu kuat, menandakan karang panjang yang dilalui. Daratan ini pasti akan terlihat. Dari buritan kapal, ABK meneriakkan ada pulau.
Lasdi harap-harap cemas. Bagaimana kalau itu pulau yang tidak ada penghuninya, bagaimana kalau terdampar terlalu jauh, bagaimana kita bisa pulang kembali, bagaimana kalau seandainya terdampar dan dimakan oleh binantang buas.
Dia pun mengajak untuk salat Jumat bersama di atas Kapal. "Kita panjatkan doa supaya angin bisa membawa kita ke tempat yang memang kami ingin lihat. Daratan," kata Lasdi.
Benar saja. Daratan mulai terlihat. Pulau Padaidori, salah satu gugusan kepulauan di Distrik Aimando Kepulauan Padaido, Kabupaten Biak Numfor menjadi persinggahan awal setelah hampir satu bulan mereka terkatung-katung di laut.
Kepala kampung setempat bersama warga yang melihat kapal itu menarik kapal Lasdi menggunakan kapal nelayan ke Pulau Mbromsi Padaido.
"Kami dibawa ke rumah mereka. Kami diselamatkan. Alhamdulillah, mereka berbahasa Indonesia. Hilang cemas kami. Saya terharu dan ucapkan beribu terimakasih atas bantuan warga Papua, khususnya di Biak dan di pulau Padaido," ucap Lasdi bersama anaknya Andika.
Setelah diselamatkan dan dievakuasi ke rumah warga, Lasdi mencari charger dan menyalakan ponsel. Ternyata sinyal menyala. Orang pertama yang dia hubungi adalah keluarga di kampung.
Seluruh anggota keluarga dan para nelayan ini menceritakan kejadian yang menimpa mereka. Satu kampung bersorak gembira. Mereka siap disambut sepulangnya dari Papua nanti.
"Katanya, keluarga sudah tahlilan, hampir mau baca doa 40 hari. Kami ada di sini pasti ada hikmahnya. Syukur perlakuan yang kami terima sangat bersahabat, warga di sini baik-baik sekali," kata Lasdi.
Saksikan video pilihan berikut ini: