Liputan6.com, Lebak - Multatuli adalah nama samaran dari Eduard Douwes Dekker, mantan Asisten Residen Lebak, Banten, sekitar 1856 atau abad XIX. Douwes Dekker terusik nuraninya melihat penerapan sistem tanam paksa oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang menindas Bumiputra.
Dengan nama pena Multatuli, yang berarti "aku telah banyak menderita", pria kelahiran Amsterdam, Belanda, 2 Maret 1820 itu mengisahkan kekejaman sistem tanam paksa yang menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin, dan menderita. Rakyat diperas oleh kolonial Belanda dan pejabat pribumi korup yang sibuk memperkaya diri.
Tajamnya pena Multatuli pun membuahkan hasil. Belanda kemudian menerapkan Politik Etik dengan mendidik kaum pribumi elite, sebagai upaya "membayar" utang mereka pada pribumi. Tragis dan humanis, Max Havelaar, salah satu karya klasik yang mendunia.
Advertisement
Baca Juga
Buat mengenang perjuangan Eduard Douwes Dekker melalui ketajaman penanya, Pemerintah Kabupaten Lebak dan Pemerintah Provinsi Banten telah merampungkan pembangunan Museum Multatuli, pada November 2016. Kini, Pemerintah Kabupaten Lebak akan mendatangkan artefak Multatuli dari negara Belanda untuk mengisi Gedung Museum Multatuli.
"Kami berharap dalam waktu dekat artefak Multatuli itu sudah berada di Tanah Air," ucap Bupati Lebak, Iti Octavi, saat meninjau Gedung Museum Multatuli di Rangkasbitung, Senin, 15 Januari 2018, dilansir Antara.
Selama ini, Gedung Museum Multatuli terus dilakukan pembenahan dan penataan agar memiliki daya tarik. Diperkirakan, pengunjung wisatawan domestik hingga mancanegara akan ramai memadati kawasan Gedung Museum Multatuli yang lokasinya di depan Kantor Bupati Lebak.
Bahkan, pembangunan replika patung Multatuli atau Eduard Douwes Dekker hampir selesai dan dipastikan bulan depan sudah rampung.
Â
Â
Max Havelaar Menembus Dunia
Bupati Lebak menjelaskan, Gedung Museum Multatuli akan mendatangkan 34 artefak dari Belanda yang orisinal maupun replika. Artefak yang akan dipamerkan pada Museum Multatuli di antaranya biografi, novel Max Havelaar edisi pertama bahasa Prancis tahun 1876, peta replika, dan lainnya.
"Selain itu juga akan dipamerkan buku zaman kerajaan dan Saija-Adinda," kata Bupati Lebak, Iti Octavi.
Menurut sang bupati, Gedung Museum Multatuli dibangun dengan interior yang menyenangkan pengunjung dengan mengedepankan nilai estetika. Gedung Museum Multatuli itu bekas Kantor Kewedanan dan peninggalan Belanda, sehingga memiliki nuansa tersendiri bagi wisatawan.
"Kami yakin Museum Multatuli bisa mendunia jika artefak dari Belanda didatangkan ke sini karena sebagai sejarah dan budaya Kabupaten Lebak tempo dulu," katanya.
Beberapa waktu sebelumnya, Kepala Dinas Cipta Karya Kabupaten Lebak, Wawan Hermawan, mengatakan pembangunan Gedung Museum Multatuli seluas 2.200 meter persegi di Kota Rangkasbitung, selesai pada Desember 2016.
"Kami menargetkan pembangunan museum itu sekaligus memperingati Hari Lebak (HUT Lebak) yang jatuh 2 Desember mendatang," kata Wawan Hermawan di Lebak, Sabtu, 12 November 2016, dilansir Antara.
Ia menjelaskan, pembangunan rumah "Max Havelaar" tersebut menghabiskan dana Rp 16 miliar dan dilengkapi dokumen tentang Multatuli juga benda peralatan tempo dulu.
"Kami optimistis Gedung Museum Max Havelaar itu berdampak positif terhadap proses percepatan pembangunan di daerah itu," ujarnya.
Menurut dia, pembangunan Gedung Museum Rumah Max Havelaar itu manfaatnya cukup besar, selain mendatangkan ribuan wisatawan mancanegara. Sebab, sejarah Multatuli sudah menembus dunia dan cukup terkenal di Benua Eropa, seperti Belanda, Inggris, Swiss, dan Italia.
Pembangunan museum itu juga merupakan pelestarian sejarah kehidupan tempo dahulu saat Indonesia dijajah oleh Belanda. Di samping itu, dapat meningkatkan ilmu pengetahuan bagi masyarakat, akademis tentang karya novel Max Havelaar itu.
"Saya kira pembangunan rumah Max Havelaar bisa mendatangkan wisatawan domestik dan mancanegara," ujar Wawan.
Advertisement
Buku yang Dianggap Membunuh Kolonialisme
Berdasarkan informasi yang dirangkum Liputan6.com, Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam, Belanda. Novel ini ditulis Eduard Douwes Dekker di bawah nama pena Multatuli.
Max Havelaar memang bukan karya biasa. Novel ini menggegerkan karena menghamparkan kenyataan pahit kehidupan masyarakat Lebak di bawah cengkeraman kolonialisme dan feodalisme. Sebagai mantan asisten residen di Lebak, Douwes Dekker dianggap cakap memotret kondisi penduduk pribumi tertindas.
Buku ini ditulis Douwes Dekker di sebuah losmen yang disewanya di Belgia, pada musim dingin tahun 1859. Tulisannya merupakan kritik tajam yang telah membuka sebagian besar mata publik dunia, tentang betapa perihnya arti dari sebuah penindasan (kolonialisme).
Bahkan, Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai buku yang "membunuh" kolonialisme. Kemunculan Max Havelaar menggemparkan dan mengusik nurani.
Diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diadaptasi dalam berbagai film dan drama, boleh dibilang, gaung kisah Max Havelaar masih menyentuh banyak pembaca hingga kini.
Adapun Eduard Douwes Dekker mengembuskan napas terakhir di Rhein, Jerman, 19 Februari 1887, pada usia 66 tahun.
Saksikan video pilihan di bawah ini: