Liputan6.com, Surabaya - Gubernur Jawa Timur Soekarwo, yang karib disapa Pakde Karwo, menyatakan bahwa Jatim saat ini berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB) penyakit difteri. Catatan Dinas Kesehatan Jatim, penyakit yang disebabkan bakteri itu menyebar di 14 kabupaten dan kota.
"Lima daerah dengan jumlah penderita tertinggi, lebih dari 21 pasien, berada di Kabupaten Sampang, Gresik, Nganjuk, Pasuruan, dan Kota Surabaya," tutur Pakde Karwo, Kamis, 18 Januari 2018.
Pakde Karwo melanjutkan, di sembilan daerah lainnya, jumlah penderita di bawah 21 orang. Sembilan daerah tersebut meliputi Bojonegoro, Sidoarjo, Jombang, Batu, Kota Malang, Kabupaten Malang, Lumajang, Kabupaten Blitar, dan Kota Blitar.
Advertisement
Baca Juga
"Untuk penanganan kasus dan memutus rantai difteri, Pemprov Jatim mengalokasikan anggaran Outbreak Response Immunization (ORI), dengan 82 persen untuk operasional sesuai kebutuhan kabupaten/kota," katanya.
"Kira-kira kebutuhan anggaran untuk penanganan sebesar Rp 98 miliar. Jumlah itu dengan skema pembiayaan sharing antara provinsi dan daerah masing-masing 50 persen," ucap Pakde Karwo.
Anggaran tersebut untuk kegiatan vaksin imunisasi anak berusia 1-19 tahun di seluruh Jatim sebanyak 10.717.765 orang. Imunisasi diberikan sebanyak tiga kali dengan interval 5 bulan.
Soekarwo menyebut, KLB difteri di Jatim sebagai sebuah anomali, saat perekonomian masyarakat Jatim mulai membaik beberapa tahun terakhir.
"Saya sedih tiba-tiba ada anomali difteri. Karena itu, saya ajak semua kabupaten dan kota untuk bergerak bersama-sama memberantas difteri," ujar Pakde Karwo.
Â
Â
Â
Â
Â
Turun tapi Mematikan
Sementara itu, Bupati Jember, Faida juga menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Ada empat kasus penyakit difteri tanpa ada korban meninggal pada 2017.
"Status KLB ini untuk memproteksi daerah Jember secara epidemologi dan menyelamatkan generasi dari kasus difteri," tuturnya.
Dibandingkan 38 kabupaten dan kota lainnya, jumlah kasus difteri di Jember terbilang rendah di bawah Kabupaten Madiun (dua kasus), Kota Madiun, Bondowoso, Pacitan, Ponorogo, dan Trenggalek (tiga kasus).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan, jumlah penderita difteri di Jember cenderung turun. Jika pada 2012 ditemukan 58 kasus dengan satu pasien meninggal dunia, pada 2013 terjadi penurunan menjadi 46 kasus. Namun saat itu, jumlah pasien meninggal meningkat menjadi lima kasus.
Pada 2014, jumlah kasus menurun menjadi 12 kasus dengan tiga pasien meninggal dunia. Setahun kemudian, hanya tersisa delapan kasus dan tanpa korban meninggal dunia. Dua tahun berikutnya, 2016 dan 2017, hanya ditemukan masing-masing empat kasus dengan jumlah korban meninggal nihil.
Faida memerintahkan adanya gropyokan (kerja bersama) yang melibatkan seluruh fasilitas kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan tingkat lanjut (FKTL) untuk melakukan imunisasi dengan usia sasaran 1-19 tahun.
"Gerakan ini melibatkan seluruh posyandu, puskesmas, fasilitas kesehatan, TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, universitas, dan pondok pesantren," ujarnya.
Advertisement
Akibat Tak Lengkap
Sementara, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya akan menggelar imunisasi massal dengan pemberian vaksin untuk mencegah penyakit difteri melalui program Outbreak Response Immunization (ORI). Langkah ini dilakukan sebagai respons cepat terhadap berkembangnya kasus difteri di Indonesia.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya Febria Rachmanita mengatakan, pada 2017, terdapat 29 kasus difteri di Surabaya dengan hasil lab sebanyak 28 dinyatakan negatif. Namun, hingga akhir Desember 2017, ada satu yang dinyatakan positif.
"Nanti kita akan lakukan program ORI di seluruh tingkat kecamatan dan kelurahan, kita lakukan secara massal," tuturnya.
Sasaran dari program ORI, kata dia, usia 1 hingga di bawah 19 tahun. Penyakit difteri ini sangat mengerikan dan bisa menyebabkan kematian.
Menurutnya, jika seseorang terkena penyakit difteri akan mengalami kondisi demam, sakit pada tenggorokan, terdapat selaput abu-abu yang bisa membesar di pangkal tenggorokan hingga bisa menyumbat aliran saraf dan jantung dan dapat menyebabkan kematian.
"Kita punya sasaran untuk yang di bawah 19 tahun mencapai sekitar 753.498 orang. Usia 19 tahun kurang sehari juga tetap akan kita lakukan imunisasi," katanya.
Data Dinkes menyebutkan pada 2017, penyakit difteri menyerang usia di bawah 10 tahun mencapai 24 orang, sedangkan usia 26 hingga 30 tahun sebanyak tiga orang, dan terakhir satu orang dengan usia lebih dari 60 tahun. Seseorang bisa terkena penyakit difteri dikarenakan imunisasi dasarnya tidak lengkap.
Jadwal Imunisasi Difteri
Ia mengatakan, Program ORI ke depan akan dilaksanakan dengan tiga tahapan, pertama pada Februari 2018, disusul Juni 2018, dan terakhir pada Desember 2018.
Febria menegaskan, pihaknya akan menyiapkan sekitar 6.677 pos-pos untuk mendukung berjalannya program ORI, dengan dibantu dari satgas, DP5A dan OPD terkait. Selain itu, pihaknya mengaku juga sudah bekerja sama dengan rumah sakit dan perguruan tinggi, dengan total tenaga vaksinator sebanyak 1.093 orang.
"Untuk vaksin khusus sasaran usia 19 tahun ke bawah, nanti akan disiapkan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur (Pemprov Jatim)," ucapnya.
Sementara itu, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya juga mempunyai kebijakan program yang sama di luar ORI, yakni sekitar 9.000 petugas lapangan juga akan diimunisasi. Petugas lapangan dimaksud adalah anggota Satpol PP, satgas, petugas kebersihan, dan petugas kesehatan yang rentan terhadap penyakit.
"Seluruh satgas lapangan yang rentan terhadap penyakit juga akan kita lakukan imunisasi tetanus, difteri, dan hepatitis," ujarnya.
Selain itu, Pemkot juga mempunyai program kebijakan imunisasi Human Papillo Mavirus (HPV), untuk mencegah meningkatnya penderita kanker, terutama pada anak-anak kelas 5 Sekolah Dasar (SD).
"Memang usia yang terbaik itu sekitar 11 sampai dengan 13 tahun, imunisasi akan kita berikan sebanyak tiga kali," ucapnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement