Sukses

Kacamata Ultrasonik untuk Tunanetra Rakitan 2 Remaja Ponorogo

Meski berteknologi ultrasonik, kacamata untuk tunanetra buatan dua remaja Ponorogo ini hanya bermodalkan Rp 250 ribu.

Liputan6.com, Ponorogo - Jika selama ini alat yang digunakan untuk membantu para penyandang tunanetra hanyalah tongkat, tetapi kini ada sebuah terobosan baru. Dua siswa SMPN 1 Jetis, Ponorogo berhasil membuat kacamata penunjuk jalan bagi penyandang tunanetra.

Dua remaja asal Ponorogo ini menggunakan senso ultrasonik dan indikator suara sebagai petunjuk pada kacamata modifikasi miliknya.

Galang Nurbudi Utomo (15) dan Akhmal Sulton Fatuloh (14) berhasil membuat alat inovasi ini dan berhasil menyabet juara 2 tingkat nasional mengalahkan 375 peserta lainnya.

Ketua tim, Galang Nurbudi Utomo, menuturkan awal pembuatan kacamata ini karena dia prihatin dengan para penyandang tunanetra yang hanya dibantu dengan tongkat tanpa ada alat bantu lain untuk menunjukkan arah. Ia pun berinisiatif membuat kacamata ultrasonik bersama rekannya.

"Kalau tongkat kan hanya sederhana, tidak ada pemberitahuan ke penyandang tunanetra terkait objek di sekelilingnya," tutur Galang kepada Liputan6.com, Senin (22/1/2018).

Remaja Ponorogo ini pun menjelaskan cara kerja alat ini. Saat berjalan, ada benda atau orang di sebelah penyandang tunanetra, maka kacamata yang dipakai akan mengeluarkan narasi yang terhubung ke headset yang dipakai. Pada jarak 1,5 meter dari objek, narasi akan terdengar. 

"Alat ini lebih efisien dan praktis, penderita tunanetra tidak perlu lagi bantuan orang lain saat beraktivitas," kata Galang.

 

2 dari 2 halaman

Bermodalkan Rp 250 Ribu

Siswa kelas VIII ini menambahkan alat-alat yang digunakan mulai dari sensor ultrasonik tiga buah untuk mendeteksi objek mengeluarkan gelombang, microcontroler arduino sebagai pusat pengendali diteruskan ke DF Player yang disambungkan ke power bank sebagai daya.

Kemudian ada pula MicroSD berisi suara perintah dan terakhir speaker yang diletakkan di telinga pengguna. "Peralatan semua beli secara online dan menghabiskan Rp 250 ribu," ucapnya.

Meski sempat menemui kendala saat pemrograman, kedua siswa ini tak patah arang. Waktu yang dibutuhkan untuk membuat kacamata ultrasonik ini sekitar tiga bulan lamanya. "Program sering eror jika jarak terlalu dekat," Galang mengeluhkan.

Sementara itu, guru pembimbing, Dwi Sujatmiko berharap alat ini bisa diproduksi massal dan bisa digunakan untuk masyarakat yang membutuhkan. "Pernah diujicobakan waktu ikut lomba dan katanya membantu sekali. Ke depan semoga alat ini semakin sempurna dan bisa diproduksi massal," kata Dwi.

 

Simak video pilihan berikut ini: