Sukses

Menelusuri Asal Mula Pasar Maling Wonokromo

Pasar maling Wonokromo memiliki sejarah yang cukup menyeramkan, tetapi kini jadi favorit warga sekitar untuk membeli barang-barang murah.

Wonokromo - Begitu mendengan nama pasar maling, tentu terpikirkan sebuah pasar yang menjual barang-barang curian. Namun, tidak dengan Pasar Maling Wonokromo. Meski disebut pasar maling, tetapi barang-barang yang dijual di pasar ini bukan hasil tindak kriminal itu.

JawaPos.com menuliskan, pasar yang berada di Jalan Wonokromo, tepatnya di selatan Stasiun Kereta Api Wonokromo atau di timur Darmo Trade Center (DTC) Wonokromo ini menjual barang bekas atau second dan baru. Juga ada barang sisa ekspor maupun impor dari sejumlah negara, seperti Korea, Hongkong, Tiongkok, dan Singapura.

Mulai dari sandal, sepatu, ponsel, baju, celana, alat pertukangan, sampai makanan dan minuman, bisa didapatkan di pasar yang hanya bukan saat malam ini. Kalau penasaran, Anda bisa pergi ke tempat yang juga disebut pasar jongkok ini pada malam hari.

Sebutan itu melekat karena para pembeli biasanya jongkok saat memilih dan membeli barang. Para pedagang menggelar lapaknya mulai pukul 19.00 WIB sampai dini hari, bahkan menjelang subuh. Sedangkan pada siang hari, tempat ini dijadikan lahan parkir kendaraan roda empat dan tempat ngetem angkutan umum.

Biasanya, pasar ini akan ramai dikunjungi saat awal bulan ketika warga usai menerima gaji. Mereka akan memburu barang-barang dengan harga murah. Tinggal pilih, tawar lalu bawa pulang. Tak jarang, arus lalu lintas jadi macet karena parkir motor para pengunjung.

 

Baca berita menarik lainnya dari JawaPos.com di sini.

 

2 dari 4 halaman

Sejarah Kelam Pasar Maling Wonokromo

Sejarah seputar pasar maling, JawaPos.com dapat dari Sadeli, 52, salah satu anggota keamanan tempat tersebut. Ditemui disebuah warung di belakang DTC Wonokromo, pria ini mengungkapkan, nama tersebut berasal dari sebutan Pasar Wonokromo pada tahun 1971.

"Pasar maling itu nama Pasar Wonokromo zaman dahulu," kata lelaki asal Bangkalan, Madura ini.

Pada waktu itu, kata Sadeli, pasar Wonokromo merupakan tempat pelarian buronan polisi atau pelaku kejahatan lainnya. Baik dari Surabaya, maupun kota lain. "Ada juga yang dari Jakarta, Semarang, bahkan Bandung juga ada," kenang Sadeli.

Kondisi pasar yang kumuh dimanfaatkan untuk tempat bersembunyi dan polisi enggan blusukan karena kotor. "Tapi, banyak juga yang ditangkap di tempat ini," imbuh Sadeli.

Bisa jadi, sebutan pasar maling berawal dari peristiwa tersebut. Menjadi tempat bersembunyi maling, akhirnya pasar tersebut kini lebih dikenal dengan sebutan pasar maling Wonokromo.

Namun, selain menjadi tempat favorit para pelaku kriminal, pasar Wonokromo juga menjadi salah satu tujuan untuk berbelanja warga Surabaya. Tak heran jika jumlah pedagangnya semakin banyak setiap tahunnya. Sampai-sampai meluber ke pinggir jalan.

Ketika pasar Wonokromo dipugar pada tahun 2001 yang lalu, pedagang kecil banyak yang tidak tertampung dan memilih untuk berjualan di luar. Tepatnya di sisi timur Jalan Wonokromo, berdekatan dengan rel kereta api. Mereka memanfaatkan pinggir jalan untuk berjualan. “Bedanya, mereka buka pada malam hari,” ujar Sadeli.

Diungkapkan Sadeli, awalnya hanya ada 18 orang yang berdagang di tempat tersebut. Lama kelamaan, jumlah pedagang terus bertambah sampai 108 orang. Mereka berasal dari Surabaya. Namun, ada juga yang datang dari luar kota.

"Enam puluh persen dari Surabaya. Yang dari Surabaya, paling banyak tinggal di Kecamatan Wonokromo," jelas lelaki yang juga menjadi keamanan di Pasar Mangga Dua ini.

3 dari 4 halaman

Aturan Tak Tertulis di Pasar Maling Wonokromo

Sadeli mengatakan, awalnya hanya ada dua orang yang dipercaya oleh pedagang untuk menjaga kemanan di tempat tersebut. "Saya dan Gedin. Ya kami yang ngurusi kalau ada obrakan," aku Sadeli.

Sadeli mengakui pada awalnya para pedagang sering diobrak oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) karena dianggap menjadi biang kemacetan. "Nggak gampang, berunding dengan polisi dan pemkot untuk dapat izin jualan di situ," ujar Sadeli.

Akhirnya pedagang bisa tersenyum setelah mendapat lampu hijau dari pemerintah untuk membuka lapak di sana. Karena berhasil menjembati antara pedagang dan pemerintah, Sadeli bersama dengan delapan orang temannya ditunjuk sebagai pengurus paguyuban pedagang pasar maling Wonokromo.

"Kita enggak ada susunan organisasi kayak yang lain. Tapi kami mempercayakan Abah Luki jadi pimpinan di sini," beber Sadeli.

Ada aturan tak tertulis yang harus dipatuhi oleh para pedagang. Mereka dilarang menjual lapak yang ditempati kepada orang lain. Sebab, saat mendapatkan pertama kali, mereka tidak dipungut biaya. "Kalau ketahuan, pemilik lama dan baru akan kami panggil ke kantor,"terangnya.

Stan yang ditempati para pedagang ini bervariasi. Mulai ukuran 70 x 70 sentimeter sampai 1,5 meter x 1,5 meter. Namun demikian, para pedagang harus membayar iuran kebersihan sebanyak Rp 5 ribu dan iuran listrik Rp 2 ribu per bulan. "Pengurus sering tekor kalau bayar listrik," akunya.

4 dari 4 halaman

Asal Usul Misterius

Sadeli menegaskan, barang barang yang dijual di pasar maling bukan merupakan hasil curian. "Enggak apa-apa mereka menyebut seperti itu. Tapi yang jelas, barang- barang yang dijual pedagang ada yang baru dan ada juga yang bekas. Kalau yang bekas, saya tidak tahu asal-usulnya," ungkap Sadeli.

Mungkin karena dibanderol dengan harga murah, sehingga muncul dugaan barang-barang tersebut hasil mencuri. Barang yang sering diduga sebagai hasil curian adalah barang elektronik. Salah satunya telepon genggam. "Pembeli dan penjual sekarang sudah pintar-pintar. Mereka pasti tahu barang dan harga lah," ujar Sadeli.

Dia mengakatakan, dia tidak mau tempatnya dijadikan ajang transaksi oleh pencuri. Beberapa kali dia menangkap pelaku pencurian yang menjual hasil kejahatannya di pasar maling. "Dulu pernah terjadi. Saya memergoki pencuri yang jual hape. Kami langsung membawanya ke kantor polisi," tutur Sadeli.

Bukan hanya itu saja, lelaki ini juga pernah memergoki seorang perempuan yang mencuri barang dagangan berupa telepon genggam. "Dia pura-pura beli. Eh ternyata menukar hapenya yang jelek," ujar Sadeli.

Sebagai anggota kemanan, Sadeli juga bertugas melerai jika ada pedagang yang ribut dengan pembeli atau sesama pedagang karena salah paham. "Sudah sering terjadi. Tapi, mereka bisa kami atasi. Kalau nggak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, ya dibawa ke polisi," imbuhnya.

Ada Juga Barang yang 100 Persen Baru

Di antara pedagang yang berjualan di pasar maling adalah Solikin. Laki-laki 45 tahun ini menjual baju dan celana untuk pria. Solikin mengaku barang dagangan yang dijualnya merupakan barang baru dari pabrik. "Baru lah, Mas. Lihat saja sendiri. Ya, meskipun nggak bermerk kayak yang di pasar atau mal," aku Solikin.

Solikin mengaku sudah berjualan sejak 15 tahun yang lalu. Selain di pasar maling, bapak tiga anak ini mempunyai stan di Sidoarjo. "Namanya usaha, pinginnya sih laku banyak. Kalau di sini (pasar maling) baru lima tahun," kata pria asal Jawa Barat ini.

Dia bisa berjualan di pasar maling karena sudah kenal dengan pengurus dan masih ada tempat yang tersisa. Solikin sangat tertarik berjualan di pasar maling karena tempatnya yang strategis. "Orang gak capek capek jalan dan parkir kendaraan. Jalan sedikit sudah sampai," tuturnya.

Diungkapkan Solikin, rata rata penghasilannya dalam semalam sekitar Rp 300 ribu. Jika beruntung dia bisa membawa uang Rp 1 juta. "Yang rame biasanya awal bulan atau malam minggu. Tapi kadang juga sepi karena hujan," warga Gayungan ini menandaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini: