Liputan6.com, Bandung - Hobi yang satu ini terbilang unik. Menyusun benda dengan berbagai bentuk dan ukuran demi menemukan titik kesimbangan. Lewat kecekatan tangan Heru Hendaran (37), benda-benda bisa disusun bertumpuk vertikal tanpa terjatuh.
Heru merupakan salah seorang balancer yang tergabung di Balancing Art Indonesia. Sebuah komunitas pegiat teknik balancing yang eksistensinya sudah cukup lama di Indonesia.
Sebagai seorang balancer, Heru yang berdomisili di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, ini mengakui, dalam melakukan balancing dibutuhkan kesabaran, adaptasi, pernapasan, dan tangan yang terampil.
Advertisement
Baca Juga
"Awal-awal memang lama, bisa 2-3 jam bahkan lebih lama. Tetapi setelah terbiasa 5 menit pun sudah bisa tersusun," kata Heru kepada Liputan6.com, Senin, 5 Februari 2018.
Heru pun mencoba mempraktikkan caranya menyusun batu. Mula-mula dia menyusun batu yang paling kasar di bagian bawah, hingga batu yang berukuran cukup besar dan lonjong.
Di bagian paling akhir barulah batu dengan ujung agak lancip ditempatkan. Kurang dari 10 menit susunan batu pun akhirnya terbentuk.
"Kadang lamanya bukan soal menyusun, tapi saat memilih karakter batuannya," ujar Heru.
Selain medium batu, balancing art juga bisa diterapkan pada benda lain, seperti botol, koin, dan lain-lain. Atau malah bisa mengombinasikan menumpuk beberapa benda.
Â
Semua Bisa Menyusun Benda-Benda
Heru sehari-hari bekerja sebagai sales produk pembersih. Dia berkeliling dari hotel ke hotel. Di luar pekerjaannya, dia merupakan penggerak balancing art. Benda-benda berbagai bentuk dan ukuran disusun secara vertikal tanpa terjatuh.
"Sebetulnya kegiatan balancing bisa dilakukan siapa pun dan di mana pun. Yang penting ada kemauan untuk menyusun benda-benda itu sendiri," tutur Heru.
Pria asli Bandung ini mengaku ketertarikannya menekuni balancing art dimulai dari hobinya mengunjungi tempat-tempat wisata menarik. Dia sering menemukan batu-batu di lokasi menarik, meski tidak dalam posisi tersusun.
Namun, setelah mengenal teknik balancing art, sejak dua tahun ini dia semakin tertarik mendalami balancing art dan mempraktikkannya di tempat-tempat tertentu.
"Saya ini suka lari pada dasarnya. Lari ke mana saja, ke sungai, bukit, terutamanya di tempat wisata. Saya perhatikan ada banyak batu, tapi ya tidak langsung tersusun. Lama-kelamaan itu jadi kebiasaan," terangnya.
Balancer yang hobi jalan-jalan ini menyebutkan sungai dan bukit adalah dua lokasi favorit melakukan kegiatan balancing art.
"Kalau di sungai lebih lama memilih batunya karena karakter bebatuannya lebih licin. Kalau di bukit tantangannya ada angin kencang saja. Tapi, keduanya berkesan," ucapnya.
Hasil karyanya yang artistik sering diunggah di media sosial Instagram miliknya @heru_aisitheru. Selain kemampuan menyusun, pemandangan yang keren jadi pertimbangan Heru saat melakukan aksinya.
Peter Juhl, fotografer dan juga pegiat balancing menyebutkan, teknik menumpuk batu bisa dipelajari semua orang. Pemula bisa mencoba dengan beberapa batu berbentuk bulat dan salah satu sisinya cukup rata. Lalu mulailah dengan menumpuk perlahan.
Setelah sukses dengan tiga atau lebih batu, bongkarlah susunan tersebut dan ulanglah dengan komposisi batu yang berbeda," kata Juhl dinukil dari laman rockbalancingart.
Jika sudah mulai terbiasa, lakukan dengan batu berujung lancip. Yang terutama perlu dilakukan adalah mengatur napas untuk mendirikan sudut lancipnya.
Advertisement
Bukan Editan Foto Apalagi Nilai Mistis
Balancing art kerap menarik perhatian karena benda dengan strukturnya yang bermacam-macam dibuat dengan begitu seimbang dan nyaris terkesan mustahil.
Seniman Bandung, Tisna Sanjaya, mengakui balancing art adalah cara kreatif yang dilakukan individu maupun kelompok.
"Itu adalah karya seni yang kreatif, indah dari medium batu lokal menyatu dengan air, dekat dan melebur dengan alam," kata Tisna.
Dosen Fakultas Seni dan Desain (FSRD) ITB ini menilai, balancing art tidak laik dimusyrikkan dan dianggap syirik.
Media dan kebebasan dalam menyampaikan pesan seni adalah bagian dari kebebasan berekspresi.
"Jadi seni bahan batu alam tersebut, yaitu seni instalasi partisipatori. Itu seni yang kreatif. Lewat seni mereka mampu menyampaikan spirit, daya kritis yang peduli pada lingkungan hidup," jelas dia.
Balancer, sebutan bagi pemilik hobi benda-benda seimbang ini, di dunia cukup banyak. Ada Michael Grab, Adrian Gray, Nick Seur, Bill Dan, dan Stefan Fischer.
Sedangkan di Indonesia, ada dua komunitas yang mewadahi para balancer, yaitu Rock Balance Indonesia dan Balancing Rock Indonesia.
Para seniman penumpuk batu itu memiliki karya-karya yang terasa ganjil, tetapi indah. Salah satunya Michael Grab yang mengistilahkan seni ini secara lebih spesifik, gravity glue atau lem gravitasi.
Tentu saja bukan lem secara konotatif. Grab mengandalkan gravitasi bumi dalam menyusun batu-batu. Tak ayal, jika melihat karya-karyanya sekilas bagaikan hasil foto editan.
Tak hanya itu, tumpukan batuan sedemikian rupa, hingga membentuk suatu keseimbangan bagi sebagian orang adalah luar biasa. Karena batu adalah salah satu alat primitif yang juga bagian dari masa lalu, sehingga dikaitkan dengan nilai spiritual.
"Kebanyakan kita mengenal seni ini dilakukan di luar negeri saja padahal sebenarnya di Indonesia juga ada," kata Heru.
Untuk itu, Heru mengatakan, informasi mengenai balancing art ini harus disosialisasikan. "Saya berharap dengan adanya komunitas, masyarakat lebih mengenal balancing art. Karena siapa pun bisa melakukannya," ujarnya.