Sukses

Edisi Perdana Buku Max Havelaar Akan Dipajang di Museum Multatuli

Museum Multatuli di Lebak, Banten, menyimpan barang peninggalan dan menceritakan sejarah Eduard Douwes Dekker.

Liputan6.com, Lebak - Museum Multatuli yang menyimpan barang peninggalan dan menceritakan sejarah Eduard Douwes Dekker, mantan Asisten Residen Lebak, Banten (sekitar 1856 atau abad XIX) yang memihak rakyat Lebak akan segera diresmikan pada Minggu, 11 Februari 2018.

Setidaknya ada 34 artefak asli maupun replika Douwes Dekker akan ditampilkan di Museum Multatuli yang dahulu adalah gedung bekas Kawedanan Belanda itu. Bahkan, beberapa di antaranya, didatangkan langsung dari Belanda.

"Ada artefak dari negeri Belanda, ini juga sinergitas kita dari yayasan rumah Multatuli di negeri Belanda, ada tegel yang dulu jadi rumah tinggal Douwes Dekker. Miniatur kapal VOC juga. Ada beberapa yang dibawa (dari Belanda)," ucap Iti Octavia Jayabaya, Bupati Lebak, Senin, 5 Februari 2018.

Beberapa barang asli yang dipamerkan bakal dibungkus dalam kotak kaca, seperti novel Max Havelaar edisi pertama dalam bahasa Prancis, peta Lebak terbitan pertama, biografi Eduard Douwes Dekker alias Multatuli hingga buku zaman Kerajaan Belanda.

Tak ketinggalan, perwakilan dari Kerajaan Belanda dan Kedutaan Besar (Kedubes) Belanda pun direncanakan akan ikut meresmikan Museum Multatuli itu. "Di mana, sewaktu (Multatuli) menjadi (asisten) Residen Belanda di Lebak, dia bukan menindas rakyat Lebak, justru Multatuli mendorong masyarakat Lebak untuk bangkit dari kemiskinan," ujar Iti.

 

2 dari 3 halaman

Patung Perunggu Eduard Douwes Dekker

Bupati yang viral saat memanjat pohon durian ini bercerita bahwa di museum itu akan dipajang patung perunggu Eduard Douwes Dekker, karya Dolorosa Sinaga. Selanjutnya, ada lima ruangan yang memiliki cerita berbeda-beda, seperti ruangan yang bercerita tentang perjuangan rakyat Lebak melawan penjajahan.

Selain itu, ruangan lainnya bercerita tentang potensi Lebak, kisah tentang suku Badui, hingga kisah tentang tambang emas Cikotok --tambang emas terbesar pertama di Indonesia.

Sebelum berdirinya Museum Multatuli, telah banyak warga maupun pemerintah luar negeri yang belajar dan meneliti sejarah Eduard Douwes Dekker di Kabupaten Lebak, seperti dari Belanda dan Jerman.

"Ini juga mendorong literasi wisata budaya, pendidikan, dan sejarah yang ada di Lebak. Ini adalah kantor kawedanan dulu yang juga merupakan cagar budaya," jelas wanita berkacamata ini.

 

3 dari 3 halaman

Buku yang Dianggap Membunuh Kolonialisme

Berdasarkan informasi yang dirangkum Liputan6.com, Max Havelaar terbit kali pertama pada 15 Mei 1860 di Amsterdam, Belanda. Novel ini ditulis Eduard Douwes Dekker di bawah nama pena Multatuli.

Max Havelaar memang bukan karya biasa. Novel ini menggegerkan karena menghamparkan kenyataan pahit kehidupan masyarakat Lebak di bawah cengkeraman kolonialisme dan feodalisme. Sebagai mantan asisten residen di Lebak, Douwes Dekker dianggap cakap memotret kondisi penduduk pribumi tertindas.

Buku ini ditulis Douwes Dekker di sebuah losmen yang disewanya di Belgia, pada musim dingin 1859. Tulisannya merupakan kritik tajam yang telah membuka sebagian besar mata publik dunia, tentang betapa perihnya arti dari sebuah penindasan (kolonialisme).

Bahkan, mendiang Pramoedya Ananta Toer pernah menyebutnya sebagai buku yang "membunuh" kolonialisme. Kemunculan Max Havelaar menggemparkan dan mengusik nurani.

Diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan diadaptasi dalam berbagai film dan drama, boleh dibilang, gaung kisah Max Havelaar masih menyentuh banyak pembaca hingga kini.

Adapun Eduard Douwes Dekker mengembuskan napas terakhir di Rhein, Jerman, 19 Februari 1887, pada usia 66 tahun.

Saksikan video pilihan di bawah ini: