Sukses

Kisah Ayah Bertaruh Nyawa demi Mengantarkan Anak Sekolah

Ketika air sungai tengah meluap, Kastopo pun tak berani ambil risiko mengantarkan anaknya ke sekolah melalui Sungai Oya.

Yogyakarta - Saat ini, masih ada saja warga yang merasakan sulitnya mendapatkan pendidikan. Bukan karena tidak ada sekolah dan guru, melainkan akses menuju sekolah yang sangat terbatas.

Dafan Andreas S, misalnya. Setiap hari, dia diberangkatkan ayahnya, Kastopo, untuk menyeberangi sungai untuk sampai di sekolahnya. Kepada KRJogja, Kastopo mengatakan dia harus bertaruh nyawa dengan menerabas derasnya banjir Sungai Oya agar putranya bisa tetap sekolah. Perjuangan lelaki 31 tahun itu membelah sungai sudah dilakukan sejak akhir tahun 2017.

Lelaki bersahaja itu kadang tidak memperhatikan keselamatan jiwanya yang setiap saat bisa digelandang derasnya banjir. Yang ada dalam benaknya hanya satu, putranya bisa masuk menuntut ilmu di SD Kedungmiri, Sriharjo, Imogiri, Kabupaten Bantul.

Sebenarnya masih ada alternatif lain menuju sekolah yang tidak harus menyeberang sungai. Namun, jalan alternatif itu memutar sekitar delapan kilometer, sehingga membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan jika menerobos aliran sungai.

Sementara, SAR Bantul Wilayah Operasi III langsung merespons kondisi pelik masyarakat itu dengan memberikan tiga buah pelampung, mantel, serta rakit dari susunan ban dan ember.

Baca berita menarik lainnya dari KRJogja.com di sini.

 

2 dari 3 halaman

Orangtua Nekat Antarkan Anak Sekolah Menyeberangi Sungai

Ditemui di Kedungjati, Selopamioro, Imogiri, Senin pagi, 5 Februari 2018, Kastopo menjelaskan, setiap hari harus menyeberang sungai lantaran Jembatan Gantung di wilayahnya ambruk setelah tidak kuasa menahan terjangan banjir akhir tahun lalu. Tak mengherankan, dampak banjir kala itu hingga sekarang masih menyisakan persoalan serius.

Imbas dari peristiwa itu, sejumlah siswa harus menyeberang sungai. Kini, warga berharap pemerintah segera membangun kembali jembatan di kawasan itu.

Kastopo mengatakan pula, sejak jembatan yang membentang di atas Sungai Oya tersebut tumbang diterjang banjir siswa dan juga warga harus menyeberangi sungai.

"Setelah jembatan itu putus, kami sebagai orangtua setiap hari menyeberangkan anak saya, tetapi yang penting bisa sekolah," ujarnya.

Kondisi makin sulit ketika sungai sedang banjir, selain harus melindungi anaknya dari jangkauan air, Kastopo juga mesti melawan derasnya air Sungai Oya.

Namun, kadang dirinya tidak mau memaksakan diri dengan nekat menyeberangkan anaknya. Pada saat debit sungai mulai naik dan dirasa tidak memungkinkan diseberangi, biasanya langsung memutar lewat jalan raya yang jaraknya sekitar delapan kilometer.

Di Kedungjati, ada lima siswa yang setiap berangkat dan pulang harus diseberangkan dengan ban bekas. Meski harus bertaruh nyawa, warga tidak punya pilihan lain.

"Kami sudah tidak punya pilihan lagi, jika harus jalan memutar sangat jauh. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menyeberangkan anak -anak di wilayah ini dengan alat seadanya," Kastopo menandaskan.

 

3 dari 3 halaman

Bantuan SAR

Sementara, SAR Bantul Wilayah Operasi III langsung merespons kondisi pelik masyarakat tersebut dengan memberikan tiga buah pelampung, mantel, serta rakit dari susunan ban untuk menyeberangkan siswa.

Koordinator SAR Korwil 3, Ali Sutanta Jaka Saputra didampingi Komandan SAR Bantul Arief Nugraha mengatakan, pihaknya memberikan pelampung, mantel, dan rakit untuk penyeberangan dengan pertimbangan faktor keamanan.

"Kami dari SAR datang ke Kedungjati karena adanya keluhan dari warga yang membutuhkan alat penyeberangan, kemudian kami bersama anggota SAR Bantul iuran seikhlasnya untuk sehingga bisa kami serahkan kepada siswa," ujar Ali.

Sementara, Tim SAR juga menyeberangkan siswa dengan menerabas Sungai Oya. Dia menjelaskan, dengan pemberian pelampung tersebut paling tidak bisa melindungi siswa selama berada dalam penyeberangan karena kondisi Sungai Oya termasuk sulit diprediksi. 

Simak video pilihan berikut ini:

Â