Liputan6.com, Semarang - Ini kisah tentang perayaan Imlek 2018 di Semarang, Jawa Tengah. Jumat (9/2/2018), di sebuah gedung pertemuan yang berada di jalan Gang Pinggir 31 Semarang, seorang lansia kelihatan sangat sibuk.
Ong Ek Hok adalah Ketua Lansia Dharma Senja yang sibuk menyiapkan acara bersih-bersih altar. Tiap menjelang Imlek, acara itu menjadi momentum pemersatu dan silaturahmi warga pecinan Semarang. Ong naik turun tangga, melihat dua altar abu yang ada di tengah aula gedung lantai satu dan dua.
Di atas altar itu ada patung dewa-dewa. Sementara di altar lantai satu terdapat 25 sinci. Salah satunya terdapat sinci bertuliskan nama Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid.
Advertisement
Sinci adalah papan kayu bertuliskan nama leluhur yang sudah meninggal dan diletakkan pada altar penghormatan. Nama-nama yang tercantum dalam sinci akan selalu didoakan oleh warga pecinan Semarang.
Baca Juga
Menurut Ong, sinci itu adalah bentuk penghormatan kepada Gus Dur. Fungsi sinci yang paling mudah adalah untuk melacak silsilah leluhur. Melihat keturunannya sampai ke tingkat paling awal menjadi mudah.
"Dari silsilah keluarganya, Gus Dur berasal dari she (marga) Tan," kata Ong.
Keyakinan Ong itu diperkuat karena semasa hidupnya Gus Dur pernah menelusuri silsilah leluhurnya sampai ke China. Sinci Gus Dur sendiri ada di Gedung Rasa Dharma sejak 2012.
"Itu sudah disetujui pihak keluarganya sebagai bentuk penghormatan tertinggi sebagai Bapak Thionghoa Indonesia. Saat Imlek, sangat terasa jasanya," kata Ong.
Â
Satu-satunya Muslim
Menurutnya, Gus Dur berperan besar dalam menghidupkan kembali tradisi kebudayaan khas Tionghoa yang sempat dilarang pada era Orde Baru.
Bagi warga Tionghoa, peran Gus Dur sangat besar. Peran itu sangat terasa menjelang perayaan Imlek. Gus Dur selalu berbicara persamaan, tanpa membedakan latar belakang agama. Gus Dur juga aktif membela hak-hak warga peranakan Tionghoa.
"Saat masih hidup, ngurus surat kependudukan dan lainnya mudah dan sama rata. Gus Dur sering ngasih nasihat dan arahan-arahan yang bijak. Gus Dur bisa mengembalikan hak-hak orang Tionghoa dibandingkan zaman Presiden Soeharto kita banyak ditindas," kata Ong.
Imlek sempat hanya boleh dirayakan tertutup di tiap rumah. Setelah Gus Dur jadi presiden, Imlek dirayakan secara massal.
"Makanya kami buatkan altar khusus menghormati arwah Gus Dur. Tiap tanggal 1 dan 15 pada penanggalan China pasti banyak yang sembahyang di sini. Gus Dur satu-satunya tokoh muslim yang punya sinci di Gedung Rasa Dharma," kata Ong.
Sementara itu, pengurus Kelenteng Tek Hay Bio, Djohan Gondo Kusumo bercerita bahwa sejak peristiwa Gerakan 30 September 1965, warga Tionghoa dilarang berkegiatan kebudayaan Tionghoa. Tuduhannya, mengandung unsur Partai Komunis Indonesia atau PKI.
"Dengan penerapan undang-undang di masa Gus Dur, kami sekarang mendapat perlindungan hukum. Bisa melakukan ritual secara bebas, bisa kirab secara bebas di jalan-jalan, karena itu penting sebagai bagian dri tradisi dan budaya," kata Djohan.
Kirab biasa dilakukan kelenteng-kelenteng dengan mengelilingi kawasan pecinan saat Cap Go Meh. Bukan hanya warga Tionghoa, namun masyarakat umum banyak yang ikut menikmati kemeriahan kirab dewa-dewa yang ditaruh di atas tandu dan dibawa keliling. Kirab ini diyakini akan membuat pahala dewa bisa menyebar.Â
Advertisement
Tuah dan Maknanya
Imlek di Kota Semarang, selalu digelar dengan salah satu rangkaiannya adalah Pasar Semawis. Tahun 2018 ini digelar pada 14-16 Februari 2018. Kali ini tajuk yang dipilih adalah "Pasamuan Anak Zaman Now".
Penghormatan warga pecinan dengan memasang sinci dan membuatkan altar bagi Gus Dur mendapat apresiasi dari Gusdurian Kota Semarang. Koordinator Gusdurian Semarang, Abdul Ghofar menyebutkan itu sebagai penghormatan dan pengakuan bahwa Gus Dur adalah tokoh toleransi yang membela hak hidup kaum minoritas di Indonesia.
"Terutama beliau menjadi yang terdepan dalam menghapus sikap diskriminasi yang ditujukan bagi warga Tionghoa," kata Ghofar.
Apa pun makna sinci Gus Dur, yang jelas sinci itu membawa tuah. Kepercayaan diri yang setia dengan tradisi. Seperti penggalan puisi Goenawan Mohammad bertajuk "Interlude (Pada Sebuah Pantai)" yang ditulis tahun 1973.
Kita memang bersandar pada mungkin.
Kita bersandar pada angin
Dan tak pernah bertanya: untuk apa?
Tidak semua, memang, bisa ditanya untuk apa.
Barangkali saja
kita masih mencoba memberi harga pada sesuatu yang sia-sia. Sebab kersik pada karang, lumut pada lokan, mungkin akan tetap juga di sana – apa pun maknanya.
Saksikan video pilihan di bawah ini: