Liputan6.com, Garut - Indonesia menjadi negara terbesar pengonsumsi tempe. Panganan dari kedelai yang difermentasi oleh bakteri Rhizopus oligosporus ini, masih menjadi makanan favorit.
Tetapi, proses pembuatan tempe ternyata kurang ramah lingkungan. Air bekas rebusan kacang kedelai mempunyai tak sedap. Keberadaannya kerap memunculkan masalah. Apalagi jika dibuang ke sungai.
Berangkat dari hal itu, Komunitas Lingkungan Hidup Yayasan Paragita asal Garut, Jawa Barat mengubah limbah tempe menjadi energi terbarukan, berupa gas. Selain itu, limbah tempe juga dapat dimanfaatkan sebgai pupuk bernutrisi tinggi untuk menyuburkan tanah.
Advertisement
Baca Juga
"Manfaatnya bisa menghemat elpiji dan untuk pupuk bagi warga sekitar," kata Ketua Yayasan Paragita, Gita Noorwardhani, Kamis, 8 Februari 2018.
Komunitasnya memberdayakan masyarakat dan kelompok pengrajin tempe di Kampung Astanahilir-Gordah, Kelurahan Jayawaras, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut menjadi produk yang tepat guna.
 Saat ini kebutuhan kacang kedelai yang digunakan kelompok pengrajin Astanahilir, mencapai 4 kuintal per rumah atau sekitar 10 ton untuk seluruh pengrajin tempe di kampung itu per minggu.
Sedangkan, rata-rata limbah cair berwarna cokelat sisa rebusan kedelai asal Amerika itu, mencapai 1.600 liter per hari. Tanpa proses pengolahan limbah, mereka langsung membuangnya ke sungai, sehingga kondisi sungai sekitar menjadi keruh, hitam, dan berbau menyengat.
"Untuk kayu bahan bakar sendiri mencapai 1,5 meter kubik per harinya," kata dia.
Â
Limbah Tempe Belum Diolah Baik
Â
Tak pelak dengan kondisi itu, beban biaya produksi pengrajin plus kerusakan lingkungan sungai warga sekitar, tidak bisa dipisahkan dari proses ikutan makanan kesukaan masyarakat Indonesia itu.
Dalam prosesnya, limbah cair hasil produksi tempe diolah menggunakan fasilitas biodigester, limbah cair dan padat yang dihasilkan, dipisah sebelum dimasukkan dalam fasilitas itu. Selanjutnya didiamkan beberapa waktu agar menghasilkan gas metan untuk sumber energi.
"Kalau limbah padatnya bisa dipakai untuk pupuk organik," ujar dia.
Tak pelak dengan rekayasa pengolahan limbah itu ujar Gita, beban produksi, terutama penggunaan bahan bakar kayu berkurang. Selain itu, limbah padat yang selalu mengotori sungai menjadi berkurang dan bau busuk hilang dengan sendirinya.
"Manfaatnya bisa langsung dirasakan mereka," ujarnya.
Ia berharap, program pengolahan limbah pabrik tempe mandiri energi yang diinisiasi bank plat merah itu, tidak hanya dilakukan di Astanahilur saja, tetapi seluruh kawasan industri tempe sehingga dapat mengurangi risiko kerusakan lingkungan.
"Di Garut banyak pengrajin tempe yang belum mengolah limbahnya dengan baik," kata dia.
Â
Advertisement
PLN Beri Dukungan
General Manager PLN Distribusi Jawa Barat Iwan Purwana menyatakan, melihat manfaat yang dihasilkan, lembaganya berencana meningkatkan dukungan pengolahan limbah bagi pengrajin tempe lainnya, sehingga mereka lebih mandiri.
"Kegiatan ini sejalan dengan komitmen dan misi perusahaan kami yang menjalankan kegiatan usaha berwawasan lingkungan," ujarnya.
Selama tahun 2017, lembaganya memberikan bantuan bina lingkungan hingga Rp 820 juta, angka itu diperuntukan bagi sektor Pendidikan dan Pelestarian Alam masyarakat Garut, sedangkan untuk wilayah Jawa Barat tak kurang dari Rp 10 miliar telah disalurkan.
Bupati Garut Rudy Gunawan mengatakan, terobosan yang dilakukan komunitas Paragita memberikan secercah harapan bagi masyarakat dalam mengotimalkan limbah pembuatan tempe, sehingga persoalan lingkungan yang kerap dikeluhkan masyarakat mulai teratasi.
"Manfaatnya banyak bagi masyarakat terutama mereka para produsen tempe itu sendiri," kata dia.
Ia berharap, dengan adanya pemanfaatan biogas dari limbah pembuatan tempe itu, dapat menyadarkan masyarakat untuk tidak membuang sampah atau limbah ke sungai.
"Saya berharap kepada komunitas agar jangan berhenti sampai di sini, tetapi ke daerah lainnya," pinta calon incunben dalam pilkada Garut, 27 Juni mendatang itu.
Saksikan video pilihan berikut ini: