Liputan6.com, Cirebon - Keberadaan masyarakat Tionghoa tak pernah lepas dari perkembangan masyarakat Pantura Cirebon, Jawa Barat. Hal itu berkaitan erat dengan sosok Wali Songo termuda, yakni Sunan Gunung Jati.
Semasa hidupnya, Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Ong Tien dari Tiongkok. Seiring dengan perkembangannya, Cirebon juga memiliki catatan sejarah yang hampir luput dari ingatan warga Pantura, Jawa Barat.
Dari catatan yang ditulis budayawan Cirebon Nurdin M Noer, sosok Tan Tjien Kie menjadi salah satu bagian dari legenda masyarakat di Pantura Cirebon. Tan Tjien Kie, kata Nurdin, merupakan seorang Tionghoa terkaya dan filantropis di Cirebon.
Advertisement
Baca Juga
Dia mengatakan, Tan Tjien Kie memiliki puluhan rumah mewah dan ribuan hektare tanah serta pabrik gula. Tan Tjien Kie, kata dia, merupakan seorang Tionghoa yang menjadi anggota militer. Kariernya melesat sejak menjabat letnan tituler pada 1884.
Sepanjang kariernya, Tan Tjien Kie juga diberi gelar kapiten empat tahun berikutnya. Pemerintah Manchu menganugerahi gelar maharaja kelas II pada 1893, sementara Pemerintah Hindia Belanda memberinya penghargaan Bintang Emas untuk Pengabdian, Gouden Ster van Verdienste. Lalu, pangkat mayor titulernya disematkan pada 1913.
Pengaruh Politik
Nurdin mengatakan, Tan Tjin Kie memiliki pengaruh luar biasa dalam dunia politik dan militer di Kota Cirebon saat itu. Bahkan karena nama besarnya itu, Konsulat Jenderal dari Tiongkok turut melayat ke Cirebon saat Tan Tjien Kie wafat.
"Termasuk utusan Gubernur Jenderal Pemerintah Hindia Belanda, Residen Cirebon, dan para Sultan Cirebon. Diperkirakan lebih dari 200.000 orang menyaksikan prosesi jenazah tersebut," tutur Nurdin kepada Liputan6.com, Sabtu, 10 Februari 2018.
Dia menyebutkan, salah satu rumah yang paling mewah milik Tan Tjin Kie berada di Desa Luwunggajah, Kecamatan Ciledug. Rumah mewah tersebut diberi nama Binarong atau Gedong Binarong.
Pada abad 19, kata Nurdin, Mayor Tan Tjin Kie sudah memiliki beberapa pesanggrahan bergaya Hindia-Cirebon. Di antaranya Roemah Pesisir, Roemah Tambak, dan Roemah Kalitandjoeng.
Namun demikian, ujar Nurdin, Gedong Binarong dengan pilar-pilar anggun merupakan istana termegahnya di Kabupaten Cirebon bagian timur. "Beliau juga memiliki Suikerfabriek Luwunggadjah, pabrik gula yang sekaligus menjadi pabrik uangnya," ujar dia.
Bahkan, dari informasi yang dihimpun, Mayor Tan Tjin Kie juga banyak berjasa dalam pembangunan sarana prasarana di Kota Cirebon. Di antaranya, membangun Rumah Sakit Orange yang sekarang menjadi Rumah Sakit Sunan Gunung Djati, Sekolah Tionghoa, dan Vihara Winaon.
Jasa Mayor Tan Tjin Kie, ujar Nurdin, sangat besar untuk Kota Cirebon. Tan Tjin Kie, kata dia, menjadi penghubung masyarakat Tionghoa Kota Cirebon dengan pemerintah Hindia Belanda.
Advertisement
Rata dengan Tanah
Mayor Tan Tjin Kie wafat pada Kamis, 13 Februari 1919, dan dimakamkan di kawasan Kampung Dukuh Semar, Kelurahan Kecapi, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon. Namun, kenangan tentangnya sirna seiring dengan ratanya makam orang Tionghoa terkaya itu dengan tanah.
Makam megahnya itu kini menjelma menjadi permukiman warga di Dukuh Semar, Kota Cirebon. Dari hasil penelusuran di lokasi, batu nisan di makam Tan Tjin Kie ditemukan sudah menjadi pijakan pelintas gorong-gorong.
Warga sekitar mengakui di kawasan tersebut terdapat makam besar seorang mayor Tionghoa. Hingga 1990-an, masih banyak kerabat Tionghoa Cirebon yang melayat. Belakangan, aktivitas layatan kaum Tionghoa di Dukuh Semar sudah tidak ada lagi.
"Terakhir sekitar tahun 1995 kalau tidak salah ingat, masih ada dan dibangun rumah itu. Menjelang tahun 2000-an hilang karena kampung ini banyak kedatangan pendatang," ujar salah seorang warga Dukuh Semar, Kota Cirebon, Entin.
Entin mengaku tidak tahu alasan makam tersebut diubah menjadi permukiman. Padahal, semua warga di kampung tersebut mengetahui makam megah itu milik tokoh Tionghoa yang berpengaruh.
Tertutup Keramik
Entin mengaku sempat berfoto di halaman makam Tan Tjin Kie semasa mudanya. Foto tersebut masih tersimpan rapi, tapi Entin enggan memberikannya kepada orang lain.
"Saya tahunya dari orang Tionghoa lain yang melayat, jadi saya sempat foto bersama teman-teman waktu itu. Fotonya masih ada, tapi tidak boleh dibawa, silakan foto ulang saja pakai kamera," pinta Entin.
Entin mengaku sering melihat orang-orang berdatangan mencari jejak makam Tan Tjin Kie. Dia pun hanya bisa menunjukkan nisan yang sudah menjadi pijakan tempat melintas gorong-gorong itu.
Sementara, ruang utama makam Tan Tjin Kie, sudah tertutup dengan lantai keramik sebuah rumah warga. Dia meyakini, peti mati Tan Tjin Kie masih ada di dalam tanah sebuah rumah milik warga Dukuh Semar itu sendiri.
"Sudah ya dilihat nya kan sudah ditimpa keramik makamnya juga sudah jadi pemukiman," ujar dia.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement