Liputan6.com, Padang - Wanita paruh baya itu terlihat begitu cekatan menyusun helai demi helai benang yang terhampar di depan panta (alat tenun tradisional) miliknya. Kakinya sesekali terlihat bergerak seirama dengan jari tangannya yang menyisir benang beragam warna membentuk motif tertentu.
Rutinitas ini dilakukan Dewi Mulyati (46), penenun tradisional di kampung tenun Pandai Sikek, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, sekitar satu jam perjalanan dari Kota Padang. Di kediamannya yang sederhana itu, Dewi merajut benang mempertahankan tradisi leluhur menghasilkan kain tenun berkualitas tinggi seperti songket beragam motif.
"Saya sudah terbiasa merangkai benang-benang ini, sejak usia 11 tahun saya dikenalkan dengan menenun," ujar Dewi Mulyati mengingat kembali kenangan masa kecilnya.
Advertisement
Baca Juga
Hawa sejuk dan hamparan alam yang tersaji di desa yang diapit dua gunung, Gunung Merapi dan Gunung Singgalang, menginspirasi para perempuannya untuk tidak berdiam diri membangun perekekonomian keluarga. Tradisi menenun yang diperoleh Dewi tidak turun begitu saja tanpa proses rumit.
Dewi masih ingat saat ibunya memaksa dia mengulang menenun songket saat ditemukan kesalahan pada motif yang dirajutnya. "Kalau salah, motif yang sudah saya kerjakan itu dibuka lagi dan harus ulang dari awal. Saya belajar dari orang tua saya, beliau yang memperkenalkan saya pada beragam motif," ujar Dewi.
Tak mudah mengurai benang panjang sejarah songket di Pandai Sikek, desa yang mayoritas kaum perempuannya mampu menyisir benang. Peneliti songket dari Fakultas Ekonomi Universitas Andalas Adyan Anwar mengurai keberadaan usaha songket di Pandai Sikek turun-temurun dan sulit direntang waktu penemuannya.
Dalam penelitiannya, kemampuan menenun perempuan Pandai Sikek diturunkan nenek moyang bangsa Austronesia ketika terjadi migrasi besar-besaran penduduk dari daratan Asia ke arah selatan dan timur, beberapa ribu tahun yang lalu.
Nenek moyang Austronesia, disebut juga Malayo Polynesia, membawa kepandaian menenun bersamaan dengan keahlian bercocok tanam, pertukangan, dan senjata.
Kepandaian menenun itu yang kini diwarisi Dewi dan mayoritas perempuan di Pandai Sikek. Dewi bukan satu-satunya penenun profesional di nagari, pemerintahan terendah di Sumbar, Pandai Sikek. Ada Iyati (56), yang menghabiskan lebih dari separuh umurnya untuk menggeluti profesi sebagai penenun tradisional.
Bagi Iyati yang sudah 30 tahun menenun, pekerjaan ini tidaklah sulit untuknya. Dia mampu menyisir ratusan hingga ribuan benang menjadi kain tenun dan memperindahnya dengan beberapa motif.
"Ini gampang, saya sudah terbiasa menenun," jelasnya kepada Liputan6.com.
Motif 'kokat', 'suluak bak', 'bayam dan pucuak rabuang' menjadi kegemarannya saat menenun. Dia sudah tidak bisa lagi mengingat ribuan motif yang beredar di Pandai Sikek hingga sekarang. "Motif yang biasa saya gunakan itu motif lama semua," jelasnya.
Iyati dan Dewi hanya dua orang dari 15 persen penduduk Pandai Sikek yang bisa menenun, yaitu sebanyak 5.500 orang.
Â
Masyarakat Penenun
Pandai Sikek adalah sebuah kawasan yang terletak di nagari kaki Gunung Singgalang, 72 km dari ibu kota provinsi, Padang. Catatan Adyan Anwar, Pandai Sikek merupakan satu dari tujuh nagari di Minangkabau yang masyarakatnya turun-temurun sejak ratusan tahun lalu dikenal sebagai penenun.
Nagari lain yang juga memiliki penenun adalah Silungkang, Sungayang, Pitalang, Kotogadang, Kubang, dan Koto nan Ampek. Yang bertahan hanya Kubang, Silungkang, dan Pandai Sikek.
Tenun Pandai Sikek dikenal karena keberagaman motifnya. Mantan Wali Nagari Pandai Sikek, Alfiar DT Tunaro, mengatakan, kurang lebih tiga ribu motif telah dibuat penenun di Pandai Sikek. "Yang populer hanya 40 motif. Motif ini turun-temurun," ujarnya.
Keberagaman motif itu ditenun dengan tangan, bukan mesin. Ini yang membuat prosesnya pengerjaan sehelai songket yang digunakan untuk salempang dan sarung memakan waktu cukup lama. Mulai dari 10 sampai 15 hari hingga satu bulan, tergantung jenis bahan yang digunakan.
"Kalau memenun dengan sutera, bisa lebih lama lagi. Bisa memakan waktu satu bulan lebih," ujarnya.
Ini juga yang menjadi alasan bagi perajin di Pandai Sikek lebih memilih menenun sarung dan salempang dibanding sutera dengan mempertimbangkan waktu pengerjaan. Menurut Dewi, ada delapan tahap sebelum tenunan menjadi salempang, sarung, atau sutera.
Awalnya, benang dibersihkan lalu dimasukkan ke dalam pencelup warna. Kemudian dibilas dengan air dan dijemur hingga kering. Proses yang harus dilewati penenun adalah melerai, menganing, menggulung, menyampuk, menghubung, mengarak, menyolek, terakhir menenun.
Setelah menjadi barang jadi, sebut Dewi, pemilik galeri akan datang mengambil karya-karya dari para profesional ini. "Kadang kita juga membuat pesanan wisatawan," ujarnya.
Â
Advertisement
Tenun Songket Bernilai Tinggi
Emila Fatma, pemilik galeri songket, menyebutkan, songket Pandai Sikek dihargai mahal oleh pembeli. Ia memprediksi, mahalnya harga karena eksklusivitas pengerjaan songket dengan tangan. Setiap songket, apa pun bentuknya, tak ada yang memiliki motif sama.
"Songket kita ini kainnya halus dan motifnya sangat berbeda dari yang lain. Kita punya motif turunan dari leluhur," ujar Emila, yang galeri songketnya meraih penghargaan Piala Upalakarti dalam pengembangan usaha kecil dari Presiden Soeharto, 1988.
Menurut Emila, songket yang berbentuk sarung dan salempang bisa dihargai Rp10 juta. "Harga ini untuk songket yang bahannya dari sutera dan motifnya penuh, tidak dibordir," ujarnya. Harga paling rendah, sebutnya, dijual Rp1,5 juta.
Bagi masyarakat Pandi Sikek, usaha tenun menjadi pendapatan yang menjanjikan. Dewi Mulyati, yang bekerja menenun, dapat menghasilkan uang Rp 1,3 juta per bulan. Penghasilan itu yang dimanfaatkannya untuk membiayai pendidikan anaknya. Anaknya kini kuliah di Universitas Andalas.
Sementara hasil sawahnya, pekerjaan Dewi yang lain, ia manfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok.
Hasil yang lebih besar didapatkan Emila karena memiliki galeri. Ia tak menyebut penghasilannya. Namun, dia menambahkan, songketnya beredar di seluruh Indonesia dan dijual juga di Malaysia.
Â
Â
Tembus Pasar Internasional
Galeri Emila bukanlah satu-satunya penenun yang berhasil menjangkau pasar internasional. Peneliti songket dari Universitas Andalas, Hesti Pusparini, mengatakan, 62,50 persen industri tenunan telah masuk pasar internasional dan 50 persen memiliki jaringan internasional.
Hasil produksi tenunan dan sulaman, menurutnya, banyak diminati oleh konsumen dari Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam.
Dalam penelitiannya Strategi Pengembangan Industri Kreatif di Sumatera Barat, Hesti menyebutkan tenunan atau sulaman emas yang paling rendah memiliki jaringan internasional, angkanya hanya 25 persen.
"Ini terjadi karena pamor sulaman benang emas mulai menurun. Pamornya menurun disebabkan pengerjaan yang lama dan mahal," ujarnya.
Sebagian kecil yang tetap menggunakan hasil produksi benang emas hanyalah mereka yang ingin tetap memperlihatkan nuansa adat dalam pesta pernikahan maupun acara-acara adat tertentu.
Pada tenunan tradisonal, sebutnya, 61,25 persen telah masuk pasar internasional dan sebanyak 58,75 persen memiliki jaringan internasional.
"Wisatawan mancanegara menyukai hasil tenunan adat," ujarnya. Negara seperti Amerika Serikat dan Singapura tertinggi membeli hasil tenunan tradisional. Hesti mengatakan Amerika umumnya menyukai hal berbau khas untuk dikoleksi bahkan untuk dijadikan bahan penelitian.
Karena jaringan pasar internasional ini, Hesti menyebut industri kreatif yang paling mungkin berkembang di Sumatera Barat adalah tenunan. Namun, pasar yang luas ini belum mampu tergarap maksimal. Persoalan mendasar adalah kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM).
Emila misalnya, yang memiliki galeri dengan 60 karyawan, hanya mampu penghasilkan 10 helai kodek atau salempang dalam sebulan. "Sulit untuk memenuhi permintaan ekspor," ujarnya. Permintaan yang mungkin dilayaninya adalah pemesanan dalam jumlah kecil.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Â
Advertisement