Liputan6.com, Yogyakarta - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X menyesalkan peristiwa penyerangan Gereja St Lidwina Bedog, Yogyakarta, saat umat Katolik melaksanakan ibadah Misa Minggu pagi, 11 Februari 2018.
"Saya sangat sedih dan menyesali kenapa ini mesti terjadi. Bagi saya ini peristiwa yang tidak boleh terjadi lagi," kata Sultan seusai menjenguk tiga korban di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta, Minggu malam, 11 Februari 2018.
Menurut Sultan, aksi penyerangan itu sama sekali tidak mencerminkan karakter asli warga Yogyakarta. Pasalnya, kerja sama dan gotong royong antarsesama warga selama ini telah menjadi budaya yang terus dirawat di Kota Gudeg itu.
Advertisement
"Saya tidak memahami dan tidak mengerti kenapa ada perbuatan yang keji tanpa ada rasa kemanusiaan. Jelas itu bukan karakter kita warga Yogyakarta," kata Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat ini.
Baca Juga
Sultan mengatakan toleransi antarumat beragama tidak bisa dilakukan secara parsial, melainkan memerlukan kesadaran bersama. Dengan kesadaran itu semestinya semua pihak bisa saling menjaga satu sama lain.
"Khususnya bagi warga masyarakat Katolik maupun korban, saya mohon maaf. Biarpun kami sudah koordinasi dengan aparat keamanan, tetapi peristiwa itu tetap terjadi," kata dia.
Usai penyerangan gereja itu, gubernur mengaku telah menggelar rapat koordinasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda). Melalui rapat koordinasi itu, ia meminta para pimpinan daerah, Forum Kerukuman Umat Beragama (FKUB), serta organisasi masyarakat untuk menjamin kejadian serupa tidak terulang kembali.
"Bahwa kita sudah sepakat apa pun perbedaan agama yang diyakini harus saling dihargai. Tidak hanya pemerintah, masyarakat juga harus bisa menjamin kebebasan dalam melaksanakan ibadah," kata dia.
Hingga Minggu malam, sejumlah aparat keamanan dari jajaran TNI/Polri masih berjaga-jaga di kawasan Rumah Sakit Panti Rapih.
3 Korban Masih Dirawat
Tiga korban penyerangan yang terjadi di Gereja St Lidwina Bedog, Kabupaten Sleman, DIY, masih dirawat di Rumah Sakit Panti Rapih, Yogyakarta.
"Syukur pada Tuhan para pasien kebanyakan dalam kondisi yang cukup menggembirakan meski masih perlu perawatan," kata Uskup Agung Semarang, Monsiyur Ribertus Rubyatmoko, seusai menjenguk para korban.
Menurut Rubyatmoko, ketiga korban dirawat di ruangan yang berbeda sesuai dengan kondisi luka masing-masing. Ketiganya adalah Romo Prier, serta dua anggota jemaat atas nama Budijono dan Yohanes Tri.
"Sebetulnya ada empat, satu pasien lainnya sudah dipulangkan karena hanya mendapat jahitan sedikit," kata dia.
Ia menjelaskan, Romo Prier menderita luka bacokan di bagian belakang kepala dan Budijono mendapatkan luka di bagian leher belakang. Adapun Yohanes Tri mendapatkan luka bacokan paling parah mengenai sepanjang dahi. Tim medis telah mengoperasi ketiganya.
"Romo saat ini sudah bisa bicara, bisa bercanda. Satu yang paling parah, yakni Pak Tri, saat ini belum bisa ngomong," kata dia.
Advertisement
Pandangan Gusdurian
Sementara itu, Jaringan Gusdurian menilai aksi intoleransi meningkat di Tanah Air, seperti kekerasan dialami pemimpin Pondok Pesantren Al Hidayah, Cicalengka, Kabupaten Bandung, KH Umar Basri (Mama Santiong), Januari lalu dan penganiayaan Komando Brigade PP Persis, Ustaz Prawoto yang meninggal dunia, awal Februari.
Terakhir, serangan pria yang membawa parang kepada para jemaat saat menggelar misa ekaristi di Gereja Santa Lidwina Stasi Bedog, Trihanggo Gamping, Sleman, Yogyakarta.
"Jaringan Gusdurian memandang bahwa kasus-kasus tersebut tidak berdiri sendiri. Semuanya terangkai dalam satu gelombang peningkatan kekerasan yang harus diwaspadai dan direspons dengan tindakan yang tepat," kata Alissa Wahid, Koordinator Jaringan Gusdurian dalam pernyataan persnya, Minggu, 11 Februari 2018.
Jaringan Gusdurian mengingatkan sepanjang 2018-2019 adalah tahun politik praktis bagi bangsa Indonesia. Kecenderungan ketegangan yang terjadi di kalangan umat beragama bercampur dengan kepentingan politik akan membawa konsekuensi jangka panjang bagi bangsa dan negara Indonesia.
"Jaringan Gusdurian menggarisbawahi bahwa sikap kebencian dan permusuhan kepada kelompok lain sudah semakin mengkhawatirkan, sebagaimana dicatat berbagai penelitian dan survei dari berbagai lembaga dalam kurun waktu 3 tahun terakhir ini," katanya.
Oleh karena itu, kasus kekerasan terkait agama harus segera diselesaikan agar kasus serupa segera dihentikan sesuai hukum yang berlaku. Ia juga menegaskan setiap aksi intoleransi tidak bisa dibiarkan.
"Ketika imbauan dan gerakan politik etis tidak lagi menemukan aktualisasi nyata, maka kecepatan respons dan ketegasan aparat penegak hukum menjadi kunci untuk menghentikan eskalasi kekerasan yang berbahaya bagi bangsa dan negara ini," katanya.
Terkait aksi penyerangan gereja Santa Lidwina ini Jaringan Gusdurian Indonesia mengecam keras semua aksi intoleransi. Hak merasa aman dan hak untuk beribadah adalah hak dasar bagi setiap Warga Negara Indonesia, karena itu pelanggaran terhadap hak-hak tersebut tidak dapat diterima.
"Mendesak kepada Kepolisian Republik Indonesia untuk menindak tegas tidak hanya pelaku aksi intoleransi, namun juga otak di balik peningkatan aksi kekerasan ini, sesuai dengan instrumen hukum yang berlaku," katanya.
Gusdurian juga mengajak para pemuka agama untuk mengambil kepemimpinan aktif dalam memperkuat tali persaudaraan sebangsa di antara kelompok-kelompok umat beragama. Ia juga mengajak masyarakat agar tidak terprovokasi usai kejadian penyerangan di gereja Santa Lidwina Bedog, Jalan Jambon, Trihanggo, Gamping, Sleman, Yogyakarta.
Saksikan video pilihan berikut ini: