Liputan6.com, Jayapura - Tangan kedua orang asli Papua itu cekatan melipat, menggunting, dan memasang sejumlah lampion berwarna merah di teras rumah milik Ketua Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Provinsi Papua dan Papua Barat, Isak Montolalu.
Namanya Daniel (45), warga asli dari Biak Numfor. Daniel mengaku sudah biasa memasang lampion dan menyiapkan segala jenis perlengkapan untuk perayaan Imlek di rumah yang telah ditempatinya sekitar 20 tahun lamanya. Daniel pun terbiasa dengan adat istiadat budaya Tionghoa di Papua.
Daniel tak sendiri, ia ditemani oleh Kusiam, warga asli Sorong, Papua Barat. Kusiam bahkan ikut merayakan Imlek bersama Isak dan keluarganya.
Advertisement
"Imlek selalu meriah. Paling bahagia adalah, jika saya kecipratan dapat angpau," kata Kusiam dengan senyum lebarnya.
Baca Juga
Masyarakat Tionghoa di Papua, khususnya di Kota Jayapura selalu merayakan Imlek dengan memasang ribuan lampion di segala sudut Kota Jayapura. Lihat saja di Taman Kota Imbi yang letaknya tepat di jantung Kota Jayapura.
Taman yang berhadapan langsung dengan Kantor DPR Papua itu, identik dengan warna merah dan kuning, dihiasi ratusan lampion dan lampu berwarna-warni. Kemudian, hampir seluruh hotel di Kota Jayapura juga menghiasi tempat usahanya dengan ornamen Imlek.
"Lampion Imlek ini menambah kecantikan taman kota. lebih meriah dan berwarna," ucap Petrus Imbiri, salah satu warga Kota Jayapura, Jumat (16/2/2018).
Tak sampai di situ, lampion yang sengaja dipasang oleh Paguyuban Tionghoa di Kota Jayapura juga terlihat di sejumlah ruas jalan protokol dan pinggiran kota di Abepura.
"Karena Imlek hampir selalu berdekatan dengan perayaan HUT Kota Jayapura yang diperingati setiap 7 Maret, maka lampion-lampion ini dipasang hingga usai peringatan HUT kota," tutur Isak.
Kebiasaan lainnya yang dilakukan masyarakat Tionghoa di Papua dalam merayakan Imlek adalah menyuguhkan tarian barongsai di wihara yang terletak di Bukit Skyland Kota Jayapura. Atraksi barongsai menjadi langganan tontonan warga setempat.
"Atraksi barongsai biasa dimainkan sampai 30 anak usia SD-SMP. Tak hanya anak-anak dari keturunan Tionghoa, tapi banyak juga anak-anak asli Papua," kata Isak.
Keturunan Tionghoa-Papua
Warga etnis Tionghoa di Papua dan Papua Barat saat ini mencapai puluhan ribu. Di Kota Jayapura saja, masyarakat Tionghoa terdiri dari 1.000 kepala keluarga atau jika dirata-rata mencapai 3.000 jiwa.
Irianto Setiawan (67), warga Tionghoa di Kota Jayapura menuturkan masyarakat Tionghoa-Papua yang kawin campur, lebih Tionghoa daripada masyarakat asli Tionghoa.
"Masyarakat Tionghoa yang kawin campur lebih mempertahankan tradisi Chinese ya. Ini menambah corak budaya Indonesia. Kami bersyukur sampai dengan detik ini, kami diberikan kehidupan rukun dan damai," kata Irianto yang telah tinggal 40 tahun lamanya di Kota Jayapura.
Banyak keturunan Tionghoa di Papua disebut dengan Prancis atau Peranakan China-Serui. Komunitas Prancis memang lebih banyak dibandingkan keturunan Tionghoa di kabupaten lainnya di Provinsi Papua dan Papua Barat.
Keturunan Tionghoa-Papua, hampir merata di daerah persisir Bumi Cenderawasih. Mulai dari Sorong, Fakfak, Raja Ampat, Kaimana, Wondama, Teluk Bintuni, kemudian ke arah Kepulauan Yapen, Waropen, Jayapura, Biak Numfor dan Merauke.
Generasi blasteran yang biasa identik dengan kulit putih atau kulit cokelat, rambut keriting dan mata sipit ini mewarisi perpaduan ciri genetika ras Mongoloid dan ras Melanesia. Generasi Prancis sendiri tak canggung menyebut diri mereka Ciko, kependekan dari China Komin atau China Papua.
Sejumlah marga Tionghoa di Papua yang biasa ditemui adalah Tan, The, Oei, Soe, Yo, Sie, Goan, Thung, Chung, Cheng, Chi, dan Bong.
"Salah satu pejabat di Kabupaten Wondama, Papua Barat masih menyimpan nama dan silsilah keturunan dari kakek buyutnya hingga 1000-an orang lebih. Masih terawat dengan baik, sampai dengan alamat dan nomor teleponnya. Ini luar bisa dalam menjaga silsilah keluarga Tionghoa-Papua," kata Irianto.
Penggunaan nama marga ibu dilakukan oleh semua anak-anak keturunan Tionghoa di Serui dan Biak. Misalnya, keluarga Thung yang memakai nama Raweyai dan keluarga Chung yang memakai marga Erari.
Marga Papua lain yang dipakai adalah Imbiri, Wairara, Abba, Sengkui, Ayorbaba, dan lain-lain. Biasanya generasi kedua dan ketiga masih mempunyai nama Mandarin selain nama lokal. Namun, kini, cucu-cicit mereka hanya memakai nama lokal atau nama barat, ditambah marga ibunya.
Perkembangan Tionghoa masuk Papua yang dimulai sebelum abad 17-18 Masehi, lebih banyak berkembang di Serui, ibu kota Kabupaten Kepulauan Yapen, dibandingkan pesisir lainnya.
"Yang saya tahu, keturunan Tionghoa di Papua masih fasih menggunakan bahasa daerahnya dan bahasa asal di Papua itu sendiri. Itu hebatnya, mereka sangat mendalami budaya Papua dan budaya Chinese," ujar Irianto.
Irianto menambahkan, di Kaimana dan Fakfak bahkan ada kelenteng yang usianya lebih dari 100 tahun. Irianto mengklaim keturunan Tionghoa di Papua saat ini telah mencapai 5-6 keturunan.
"Tahun 1969 itu masyarakat Tionghoa mengalami peningkatan dengan berdatangan ke Papua," ucapnya.
Advertisement
Berdagang, Politik, dan Kepala Daerah
Kedatangan etnis Tionghoa di Papua, dipicu oleh perdagangan hasil bumi dan burung kuning. Banyak warga Tionghoa datang seorang diri atau dalam kelompok kecil. Beberapa dari kelompok ini bahkan ada yang bolak-balik datang dan pergi dengan kapal-kapal laut.
Keturunan Tionghoa-Papua di tanah Papua tak hanya merambah dunia bisnis. Tapi peruntungan keturunan ini bisa sampai menjadi bupati dan anggota dewan DPR. Sebut saja, Wakil Gubernur Papua Barat, Irene Lie Manibuy yang menjabat pada periode 2012-2017. Irene kemudian mencalonkan diri sebagai Gubernur Papua Barat pada Pilkada serentak 2017, namun gagal.
Ada juga politikus Golkar, Yoris Raweyai yang keturunan Tionghoa-Papua. Sebut saja sejumlah kepala daerah di Papua, misalnya ada Wakil Bupati Jayawijaya, John R Banua yang saat ini mencoba peruntungannya di Pilkada serentak 2018 dengan menjadi calon Bupati Jayawijaya.
Kemudian ada juga Wakil Bupati Wasior, mantan Bupati Teluk Bintuni, Bupati Kepulauan Yapen hingga lebih dari lima orang keturunan Tionghoa-Papua yang duduk di kursi DPR Papua dan masih banyak lagi keturunan Tionghoa-Papua yang duduk di DPRD kabupaten/kota di Papua.
"Kalau ada yang bilang masyarakat Tionghoa tidak ada kontribusi untuk NKRI, itu salah. Karena kami selalu diajarkan, dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Jadi, bagaimanapun kita berasal, harus ada kontribusi untuk daerah dan bangsa ini," jelas Irianto.Â
Sepanjang warga Tionghoa masuk ke Papua, ia mengklaim tak pernah ada penolakan, bahkan kawin campur pun terus ada hingga saat ini.
"Saya ingin mengingatkan kita semua kepada segenap komponen bangsa, bahwa pelangi itu bisa indah, karena banyak warna. Tapi, jika pelangi itu hanya berwarna tunggal, maka akan janggal. Jadi, di Papua inilah kami diajarkan bagaimana menghargai keberagaman itu," ucapnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: