Liputan6.com, Semarang - Banjir di Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, sudah berlangsung dua pekan. Tak ada tanda-tanda akan segera surut.
Kerugian paling terlihat adalah musnahnya padi dari ratusan hektare sawah. Ini adalah sisi duka banjir Sayung. Seperti terlihat pada Selasa, 20 Februari 2018, Asykuri (57) salah satu petani mengayuh sepedanya ke sawah. Keriput wajahnya mempertegas kelelahan fisik dan psikisnya akibat banjir.
Advertisement
Baca Juga
"Mau lihat sawah, mas. Lha ning parine wis ambruk kabeh. Kena banjir. (Lha tapi padinya sudah roboh semua. Kena banjir)," kata Asykuri sambil tetap mengayuh sepeda. Liputan6.com dan Kepala Desa Kalisari, Saehul Hadi mengikuti dari belakang dengan sepeda motor.
Sebenarnya Asykuri ke sawah hanya ingin melihat dan memastikan saja. Apakah sawahnya masih terendam air atau tidak?
Dari jok sepeda motor, Kepala Desa Kalisari, Saehul Hadi kemudian menjelaskan bahwa banjir kali ini yang paling berduka adalah petani.
"Ada kalau 200 hektare tanaman padi siap panen hancur. Kerugian kira-kira ya Rp 1,2 miliar. Cara menghitungnya simpel. Tiap hektare tanaman padi akan menghasilkan Rp 6 juta," kata Saehul.
Meski busuk, masih ada petani yang nekat memanen padinya. Karena sawahnya besar, jadi mungkin jiwanya terpukul berat. Akhirnya setelah agak surut padinya dipanen, kemudian dijemur.
"Entahlah, nanti bisa digiling atau tidak. Sudah lihat kan dampak banjir di desa kami?" kata Saehul.
Â
Yang Bergembira
Dalam perjalanan mengunjungi kampung banjir ini, tampak juga wajah-wajah ceria. Adalah anak-anak dan remaja. Seperti Muhammad Rasyid dan teman-temannya yang masih kelas 8 di MTs An Nidhom, Kalisari.
"Senang. Bisa njaring dan mancing," kata Rasyid.
Sekumpulan anak-anak itu tertawa-tawa gembira. Mereka terus melanjutkan perburuannya. menjaring ikan betik. Peralatannya sederhana, hanya jaring yang diikatkan pada ujung sebuah galah pendek.
"Dapat 6 kecil-kecil ini tadi. Mau jalan lagi ke utara yang lebih dalam airnya. Sepertinya ikannya banyak," tutur Rasyid.
Meskipun secara verbal mengaku gembira karena bisa menjaring ikan, kesedihannya tak bisa disembunyikan. Dua pekan dalam genangan air, hidup bersama ikan-ikan betik. Sebuah situasi luar biasa yang sangat membosankan.
Ia memang bersekolah. Meskipun biasanya ketika banjir, pihak sekolah tidak mewajibkan untuk masuk. Ia berangkat tanpa sepatu, dengan celana yang basah pula.
"Basah. Kalau berangkat atau pulang saja, celana harus diangkat. Rasanya dingin. Tapi kalau malas ngangkat celana ya tak biarkan basah sekalian gebyuran," ujar Rasyid.
Â
Advertisement
Di Mana Pemerintah?
Kisah akan utuh ketika mendengar keluhan kaum perempuan. Ibu Mansun mengaku sedih, selain aktivitas terganggu, ia kesulitan memenuhi logistik kebutuhan pangan. Sejak awal banjir bantuan juga belum sampai di tangannya.
"Yang lain sudah dapat, saya dan tetangga 'assalamu alaikum' alias belum dapat. Jangan pilih kasih kalau memberi bantuan," kata Mansun.
Rumahnya terendam hingga dada orang dewasa. Sampai sekarang belum ada perhatian apa pun dari pemerintah. Sudah dua minggu ia merasa sendiri, seolah hidup tanpa kehadiran negara.
"Dari banjir setinggi dada sampai sekarang selutut belum juga ada bantuan, entah beras, mi instan atau apa pun," katanya.
Kepala Desa Kalisari itu dengan sabar menjelaskan bahwa bantuan belum bisa merata ke semua warga karena bantuan dari pemerintah kabupaten atau pemkab juga sangat minim. Bahkan, setelah dua minggu kebanjiran, pasokan logistik dari Pemkab Demak hanya berupa mi instan 45 kardus dan obat-obatan.
"Warga juga butuh beras. Mau beli, beli di mana," kata Saehul Hadi.
Pemerintah Desa Kalisari juga terus berkoordinasi dan laporan ke Pemkab Demak maupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) setempat. Sejauh ini, harapannya masih jauh panggang dari api.
Saksikan video pilihan di bawah ini: