Liputan6.com, Yogyakarta - Alumni dan anggota majelis Pendidikan Khusus Dai Ahlul Sunnah wal Jamaah 1926 (Densus 26) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) prihatin atas maraknya aksi radikal dan intoleransi yang terjadi akhir akhir ini.
Koordinator Nasional Densus 26 Umaruddin Masdar mengatakan jika kampus dan masjid masjid di perkotaan menjadi tempat penyebaran paham radikalisme.
"Di kota-kota besar di kampus-kampus masjid jadi pusat radikalisme itu jadi perhatian kita. Kita sudah lakukan pelatihan 162 angkatan se Indonesia diikuti para dai daiyah," katanya di Bale Ayu Imogiri Yogya, Kamis 22 Februari 2018.
Advertisement
Masdar mengatakan pusat dan sumber radikalisme ada di kampus kampus dan masjid perkotaan jadi fokus perhatiannya. Sesuai dengan hasil penelitian LIPI tahun 2012 lalu itu ternyata ada indikasi mahasiswa di kampus umum bersimpati dengan bos ormas radikal dengan jumlah 80 %.
Â
Baca Juga
"Kita ingin kembalikan ini ke Islam ke jalur moderat. Kalo radikal sesama muslim aja ga akur apalagi sesama non muslim," katanya.
Masdar juga menyebutkan hampir semua kampus umum menyebarkan paham radikalisme tersebut. Oleh karena itu ia gencar menggelar pertemuan dengan para mahasiswa dan presiden BEM kampus untuk meredam paham itu.
"Kami selalu bilang ke ketua BEM tantangan kalian adalah mengembalikan kampus sebagai pusat intelektual dan bukan pusat radikalisme di kampus. Ini tantangan serius," katanya.
Yogya dan kota besar lain dari hasil survey Wahid Institute menjadi tempat potensi kasus radikal dan intoleransi tinggi. Yogyakarta menjadi kota kedua setelah Jakarta dalam kasus intoleransi selain Bandung dan Malang.
"Kita cermati hasil survey yang banyak kampus umum perguruan tingginya jadi kota intoleransi Jogja nomor dua," katanya.
Masjid dan Pondok Pesantren
Masjid menurutnya juga menjadi pusat penyebaran radikalisme terutama di perkotaan. Hal ini sangat terlihat ketika masa pilkada DKI lalu dimana banyak masjid yang dikuasai oleh kaum radikal sehingga islam rahmatan lil alamin tertutup.
"Sangat sulit masuk ke masjid itu, tapi liat di kampung-kampung masjid radikalnya sangat sedikit," katanya.
Tidak hanya itu, sebagian pondok pesantren juga menjadi ladang penyebaran radikalisme di Indonesia. Yogyakarta sendiri setidaknya 10 persen pesantren yang menyebarkan paham radikalisme.
"Lebih dari 100 pesantren baik yang kecil maupun sedang berkembang, kami ga sebut namanya ya," katanya.
Jumlah pesantren di Yogyakarta mencapai seribu lebih. Ia menybut pesantren yang berafiliasi dengan NU mencapai 600 pesantren. "Kalo NU 600 yang tidak radikal kalo radikal itu bukan NU," katanya.
Advertisement
Wajib Upacara Bendera
Masdar mengatakan untuk meredam paham radikalisme ini ia mengusulkan agar pemerintah membuat beberapa langkah seperti mewajibkan upacara bendera. Sebab saat ia bertemu dengan Gubernur DIY ia mendapat fakta bahwa banyak sekolah sudah tidak hilang benderanya.
"Tradisi upacara diwajibkan sebelum negara ini lebih parah seperti Afganistan," ujarnya.
Selain itu semua organisasi masyarakat dan partai politik harus berasas Pancasila. Termasuk pegawai negeri sipil baik di kementerian hingga daerah juga harus cinta dengan Pancasila.
"PNS atau ASN tapi gak mau Pancasila kita mau agar dipecat sampai dia berpancasila kembali," katanya.
Ia menghimbau agar masyarakat mampu melihat ada korelasi kuat antara meningkatnya intoleransi dan radikalisme dengan semakin dekatnya pelaksanaan pileg/pilpres. Karena isu SARA digunakan, intoleransi dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye & kekuasaan.
"Maka intoleransi jadi meningkat di tahun politik ini. Tahun politik isu SARA dimunculkan seperti penyerangan kyai dan ulama," katanya.
Ia menghimbau kepada masyarakat jangan main hakim dan koordinasi dengan aparat jika mendapati isu ini. Kampanye-kampanye yang menyebarkan isu SARA & intoleransi, baik di media sosial maupun di tengah masyarakat, harus ditindak tegas.
"Mari kita jadikan momentum tahun politik ini untuk melawan intoleransi, mengembakan politik yang santun, mendidik dan mencerdaskan," katanya.