Sukses

Karena Solidaritas, Anak-Anak Santun Berubah Jadi Demonstran Kritis

Pemecatan Anin dan Afif dari SMA Negeri 1 Semarang akhirnya berbuahkan solidaritas. Teman-teman Anin yang santun, penurut, dan kritis menggelar protes terbuka dan menuntut sang kepala sekolah mundur.

Liputan6.com, Semarang - Kegelisahan akibat tindakan kepala sekolah SMA Negeri 1 Semarang memecat Anin dan Afif dari sekolah itu mulai merambah ke siswa lain. Lebih dari 100 siswa kelas XII di SMA favorit yang dikenal santun ini, tiba-tiba menggelar protes terbuka di depan sekolah mereka sendiri, Jumat, 2 Maret 2018.

Awalnya murid-murid SMA N 1 Semarang ini hanya berkumpul di halte dekat gerbang sekolah. Tiba-tiba kerumunan ini bergerak bersama menuju ke gerbang. Ada nyanyian pembangkit semangat, yakni mars SMAN 1 Semarang.

"Almamater kita semua. Kami semua bersatu padu dalam naungan panjimu. Keluarga besar sekolah kita SMA satu di Semarang," mereka bernyanyi lantang.

Ada sebuah tulisan yang ditulis dengan cat semprot dan cukup mencolok. "Solidity dan Kepsek Turun Maret 2018". Tiba di gerbang sekolah, ada orasi dan pembacaan puisi yang bersifat spontan.

Dalam orasinya, mereka menuntut pihak sekolah untuk tidak mengeluarkan Anin dan Afif. Para siswa juga mendesak Kepala Sekolah SMAN 1 Semarang Endang Suyatmi untuk turun dari jabatannya. SMA N 1 Semarang dinilai sudah terlalu banyak memainkan sandiwara dan drama, untuk berebut dukungan suara di luar sekolah.

"Tempat ini, bukan tempat beradu suara. Tempat ini adalah tempat kami memahami, siapakah diri kami, untuk apa kami ada, dan apa yang akan kami lakukan nanti. Para petinggi kami, masyarakat menunggu kami," orasi ini lantang, tanpa ada pengeras suara.

Aksi mereka mengundang perhatian guru-guru SMA Negeri 1 Semarang di dalam sekolah. Mereka mendekat, sebagian ada yang mencuri-curi mengambil gambar. Ada juga yang sibuk menelepon, dan melaporkan peristiwa itu seperti layaknya reporter radio.

2 dari 3 halaman

Puisi Pamflet

Sekitar 10 menit kemudian, dua truk Polrestabes Semarang berisi pasukan Dalmas datang dan membubarkan aksi itu.

"Untuk para siswa sekalian, dimohon untuk segera membubarkan diri. Unjuk rasa atau menyampaikan pendapat di muka umum ini tidak ada pemberitahuan. Ini melanggar Undang-undang Nomor 9 Tahun 1998. Seharusnya Anda harus melakukan pemberitahuan 3x24 jam sebelum acara," kata Kanit Dalmas Sat Sabhara Polrestabes Semarang, AKP Yustinus.

Memang dasarnya para siswa ini merupakan siswa yang patuh, aksi langsung berhenti dan siswa membubarkan diri. Mereka mengaku tidak memiliki target apa pun, kecuali hanya menyuarakan solidaritas untuk temannya yang dikeluarkan sepihak tanpa ruang membela diri dan klarifikasi.

"Bukan siapa yang harus dipercaya, lebih tepatnya siapa yang harus menghentikan permainannya. Para petinggi kami, tolong kami hanya ingin ketenangan, kembali lagi kami hanya ingin suara kegembiraan terdengar lagi. Kami tidak ingin cap keburukan menimpa generasi kami. Sebentar lagi, kami akan pergi, tapi bukan pergi untuk menghilang. Kami pergi membawa almamater kami. Kami pergi dengan harapan-harapan kami. Ketika saatnya kelak, kami akan kembali menceritakan kisah kami kepada penerus kami.

Tapi yang ingin kami ceritakan, bukanlah kisah ini. Kelak, kami akan meneriakkan almamater kita semua. Dengan penuh rasa bangga, sebagai rasa terimakasih kami kepada sekolah ini. Jadi kami, yang berada di kasta paling bawah ini memohon kepada petinggi kami.

Sudahi permainan ini! Jangan larutkan tinta hitam lebih banyak lagi. Jangan goreskan tinta merah ke generasi kami. Bukan kami yang memulai, tapi kami yang membawa perubahan ini. Para petinggi kami, solidaritas kami memang tak sekuat pendahulu kami, tapi cinta kami terhadap almamater ini masih sama.

Tapi, jika drama yang hanya kami lihat itu semua akan hilang perlahan. Tempat ini bukan panggung sandiwara. Tempat ini, bukan tempat beradu suara. Tempat ini adalah tempat kami memahami, siapakah diri kami, untuk apa kami ada, dan apa yang akan kami lakukan nanti. Para petinggi kami, masyarakat menunggu kami.

Bangsa ini menunggu kami. Sang ibu pertiwi, ingin melihat anak-anaknya berhasil. Tolong, hentikan sandiwara ini!," sebuah puisi pamfletis melantun garang.

"Keterlaluan. Aksi mereka tak berizin dan mereka tidak menghormati guru mereka," ada sebuah suara perempuan dari kerumunan guru yang awalnya sibuk menelepon itu.

 

3 dari 3 halaman

Somasi

Sementara itu, tim Advokasi Peduli Anak selaku kuasa hukum Anin dan Afif akhirnya melayangkan somasi kepada kepala sekolah untuk mencabut keputusan mengeluarkan Anin dan Afif.

Menurut Listyani W, Koordinator Tim Advokasi Peduli Anak Semarang yang dilakukan pihak sekolah sangat intimidatif, mengancam dan mengadu domba. Bahkan, beberapa kali Anin datang ke sekolah dan dikatakan iblis, serta dikatakan tidak pantas bersekolah di SMAN 1 Semarang. Masih ada pula ucapan yang secara psikis sudah berupa kekerasan terhadap anak.

"Sekolah harus mengikutsertakan Anin dan Afif dalam ujian nasional sebagai murid SMAN 1 Semarang," kata Listyani.

Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Jawa Tengah lebih parah lagi. Listiyani menyebut Disdikbud malas menggali informasi dan hanya mendengarkan penjelasan sepihak dari Kepala Sekolah.

"Disdik abai terhadap versi kedua siswa dan orangtua masing-masing. Menutup pintu klarifikasi dan merampas hak dua anak ini," kata Listyani.

"Jika diabaikan, kami akan melakukan tindakan hukum lebih lanjut berupa pidana maupun perdata. Sebab, Anin maupun Afif telah mendapat tekanan dari sekolahnya. Mereka dipindahkan dari sekolah lain secara paksa," katanya.

Berikut puisi yang diorasikan untuk dukung Anin dan Afif.