Sukses

Menyingkap Misteri di Balik Wayang Potehi, Bukti Akulturasi Tiongkok-Jawa

Setidaknya ada sekitar 200 wayang potehi yang berumur 150 tahun menjadi koleksi di Museum Gudo.

Liputan6.com, Yogyakarta - Wayang potehi identik dengan wayang khas warga Tionghoa yang kerap dimainkan saat perayaan hari besar Tiongkok, seperti Imlek dan Cap Go Meh. Namun, ada cerita tentang koleksi wayang potehi yang berumur ratusan tahun di Museum Wayang Potehi Gudo, Gudo, Jombang, Jawa Timur.

Soni Frans Asmara, salah satu penerjemah koleksi wayang potehi Museum Gudo mengatakan, setidaknya ada 200 wayang potehi yang berumur lebih dari 150 tahun saat ini. Wayang ini masih terjaga baik di Museum Gudo Jombang.

"Wayang itu asli dari zaman dahulu, terbuat dari kayu hanya 200 saja. Masih asli," katanya saat ditemui di pameran wayang potehi PBTY, akhir pekan lalu.

Frans, yang juga dalang wayang potehi, mengaku pernah memiliki pengalaman yang mengejutkan selama hidupnya bersama wayang potehi. Ketika akan mengeluarkan dan memainkan salah satu koleksi wayang potehi terdengar suara petir menyambar pada siang bolong. Koleksi wayang potehi yang dikeluarkan itu adalah wayang dewa petir.

"Waktu itu saya tidak dalang hanya ikut. Pas dewa petir itu dikeluarkan langsung terdengar petir menyambar, padahal tidak mendung. Juru kunci langsung sembahyang, barangkali kurang sesaji. Itu pengalaman sekali selama hidup saya di kelenteng Tegal tahun 2003," katanya.

Menurut dia, kejadian seperti itu bisa terjadi karena beberapa faktor. Salah satunya, dalang tidak menyatu dengan wayang yang dimainkan. Sehingga saat pentas, dalang seolah tidak memiliki jiwa dalam memainkan wayang.

"Mungkin sama bonekanya tidak in atau mainnya tidak tulus. Juga mungkin karena kurang uang emasnya," katanya.

2 dari 5 halaman

Ritual Sebelum Pentas

Saat bermain wayang potehi, setiap dalang memiliki kebiasaan masing-masing. Seperti dirinya, ia selalu melakukan ritual kecil sebelum dan sesudah acara. Kebiasaan ini tidak pernah ia tinggalkan.

"Biasanya bakar uang emas itu sebelum dan sesudah acara. Ya, istilahnya doa kepada leluhur. Kata bapak saya itu sebagai pesangon leluhur. Jadi kertas sin cua itu melambangkan uang emas agar nanti sampai ke sana," katanya.

Ritual ini mungkin berbeda setiap dalang wayang potehi. Namun, kebiasaannya membakar uang emas sebelum dan sesudah acara ini juga diperuntukkan agar acara dapat berjalan lancar.

"Selama saya dalang belum pernah kejadian macam-macam. Aman," katanya.

Ia tidak menampik usia wayang potehi juga memengaruhi permainan saat mendalang. Sehingga kebiasaannya itu juga sebagai permintaan izin untuk memainkan wayang tersebut.

"Ada wayang yang usianya 150 tahun ke atas yang original dari Tiongkok dan ini replika produksi dalam negeri kalau 200 biji umurnya 150 tahun lebih," katanya.

3 dari 5 halaman

Wayang Potehi Sudah Punah di Tiongkok

Berbagai cara yang dilakukannya untuk mengenalkan wayang potehi ini kepada generasi selanjutnya. Sebab, budaya asli Tiongkok ini kini sudah tidak bisa ditemui lagi di Tiongkok dan justru hidup di Indonesia.

"Saat ini menurut dari sumber di Tiongkok tidak ada lagi yang ada Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Taiwan. Kita pernah diundang di Tiongkok mendapat predikat original wayang kita," katanya.

Frans mengaku saat ini pemerintah mengapresiaasi wayang potehi yang merupakan akulturasi budaya Tiongkok Jawa. Frans mengaku merupakan pribumi asli, tetapi siap mempertahankan budaya ini sampai mati.

"Kita akan berjuang mempertahankan potehi. Pemerintah memberikan kesempatan main di kelenteng, mal, pondok pesantren, hingga gereja jadi sekarang sudah bagian dari budaya," kata dia.

4 dari 5 halaman

Museum Wayang Potehi

Frans mengaku masih optimistis selama museum wayang potehi masih menyimpan koleksi wayang potehi dari berbagai daerah di Indonesia. Wayang yang ada di Museum Wayang Potehi Gudo, Gudo, Jombang Jawa Timur ini merupakan koleksi langka.

"Kebetulan yang punya museum itu cucu dari dalang wayang potehi. Kalau koleksinya ya ribuan produksi dari 2001 sampai sekarang," katanya.

Museum Wayang Potehi juga membuat wayang potehi terbaru yang sesuai dengan replika dari Tiongkok. Bahkan, saat ini juga mulai banyak jenis tokohnya.

"Kalo kita pamerkan ini sekitar 60 karakter wayang potehi ada Pat Kay, Sun Go Kong, banyak. Kalau koleksi museum ya ribuan tapi memang ada beberapa yang masterpiece," katanya.

Menurut Frans, wayang Potehi yang saat ini berusia ratusan tahun dan tersimpan di museum tidak ternilai harganya. Sebab, nilai sejarah dan kisah di balik wayang potehi tersebut sangat tinggi.

"Wah sudah tidak ternilai dan tidak dijual," katanya.

Terlebih, salah satu koleksi wayang potehi yang bernama Si Jin Kui, legenda panglima terkenal di Tionghoa. Karena istimewa, ia tidak dibawa saat pameran ataupun acara tertentu.

"Dia masternya, bajunya itu istimewa, buatan tangan. Kalau sekarang tidak dibawa, hanya replika," katanya.

5 dari 5 halaman

Cara Memainkan Wayang Potehi

Wayang potehi yang dibawanya tidak memiliki kesulitan saat bermain karena sangat mudah dimainkan. Namun, saat pentas, ia memiliki standar sendiri karena harus menggunakan bahasa Hokkian.

"Cara memainkannya masukan satu jari ke lubang leher kita masukkan jempol untuk tangan kanan dan tiga jari lainnya untuk tangan kiri," kata Frans sambil menunjukkan cara memainkan wayang itu.

Menurut dia, tidak ada yang sulit untuk memainkan wayang potehi ini. Karena sangat mudah dan bisa digunakan untuk bermain di keluarga. "Ya mudah untuk belajar karena saya dulu juga autodidak, kok," katanya.

Ia mengaku saat dia mendalang ada kesulitan dalam menggunakan bahasa Hokkian. Sebab, saat ini bahasa Hokkian tidak banyak diketahui, bahkan orang Tionghoa sekali pun.

"Kayak bahasa Jawa halus-lah jadi kalau bukan orang China yang dulu pasti enggak tahu-lah," ujarnya.

Saat ini, ia hanya menggunakan 2 persen saja bahasa Hokian untuk mementaskan wayang potehi. Selebihnya, menggunakan bahasa Jawa ataupun bahasa Indoensia.

"Ya kesulitan kita bahasa ya pakai bahasa Hokkian itu kan kuno. Ini untuk pakemnya padahal bahasa Hokkian itu bahasa halusnya China," kata dia.

Dia menambahkan untuk mendatangkan wayang potehi dibutuhkan biaya setidaknya Rp 5 juta. Biaya ini tentu bertambah jika dipentaskan di luar kota Jombang.

"Kalau bikin wayang potehi 500 ribu sampai 1 juta. Seni ya tidak bilang bagus, tapi hidup dan bedanya di karakter itu ketika melihat wayang ini seolah berhadapan dengan orang kan," jelasnya.

Pameran yang dibuat PBTY di Rumah Budaya Ketandan beberapa waktu lalu membuat beberapa pengunjung terkesan. Seperti Supripatmiayati warga Yogyakarta yang ikut dalam workshop mewarnai wayang potehi.

"Ya senang, karena untuk melestarikan budaya Tionghoa. Jadi kami tertarik dan mengajari anak saya, tapi dia malu," katanya.

Mewarnai kepala wayang potehi menurut dia sangat bagus karena mengajarkan anak-anaknya tentang budaya yang ada di Yogyakarta. Sebab, di kota ini tumbuh beragam budaya. "Manfaatnya banyak agar mengajarkan toleransi budaya itu penting," dia mengatakan.

Ia mengaku baru kali pertama memegang wayang potehi ini. Menurut dia, wayang ini juga bisa disejajarkan dengan wayang lainnya. "Kami sangat mendukung pameran potehi ini," ujarnya.

Ia mengakui sulit mewarnai kepala wayang potehi, meski terlihat sangat mudah. Namun, saat memulai mewarnainya justru sangat sukar dilakukan.

"Sukanya meramaikan gembira saja anak-anak bisa melihat keramaian ini. Sulitnya membuat lir-lir di mata, kalau tidak biasa kan susah. Kayak saya ini ya untuk remaja seperti ini bisa untuk refreshing," dia menandaskan.

Saksikan video pilihan berikut ini: