Liputan6.com, Semarang - Sunan Kuning lebih dikenal sebagai sebuah lokalisasi prostitusi di Semarang. Jangankan yang di luar Semarang, warga Semarang saja bahkan malu jika mengaku hendak pergi ke Sunan Kuning karena tahunya Sunan Kuning adalah lokalisasi.
Sebenarnya Sunan Kuning bukanlah kompleks prostitusi. Kisah selengkapnya bisa dibaca di sini.Â
Namun ada yang aneh, pada Sabtu (10/3/2018) ratusan orang berbaju koko, berpeci dan sebagian bersarung datang ke kawasan Sunan Kuning. Mereka khidmat menyimak jejak Sun An Ing pada perayaan haulnya.
Advertisement
Ya, di bukit Argorejo itu memang dikubur salah satu tokoh Islam keturunan Tionghoa, Sun An Ing. Yang oleh lidah lokal kemudian berubah menjadi Sunan Kuning. Ratusan orang tadi datang untuk memperingati wafatnya sang sunan.
Baca Juga
Sesekali ada gelak tawa, kadang ada gumam lirih ketika KH Budi Sulaiman memberikan tauziyah. peringatan haul ulama besar itu dilakukan di tengah pemakaman umum Bukit Argorejo, Semarang, Jawa Tengah. Sebuah tempat yang berdekatan, berhimpitan dengan panti resosialisasi Argorejo untuk tidak menyebut kompleks prostitusi.
Menurut Sayem, perempuan yang menjadi Ketua RT 06/RW II, Kampung Taman Sri Kuncoro, Kalibanteng Kulon, baru pada tahun 2018 ini haul Soen An Ing dirayakan begitu meriah oleh semua warga Argorejo.
"Sebelumnya tidak ada kayak gini. Makamnya Soen An Ing malah puluhan tahun terbengkalai. Warga luar kota Semarang justru mengenal kampung kami sebagai kompleks lokalisasi Sunan Kuning. Padahal, yang namanya Soen An Ing itu ulama besar berdarah China-Jawa," kata Sayem yang sudah sepuh.
Â
Tak Risih Mengaji
Sayem mengaku tak mampu berbuat apapun dengan penamaan Sunan Kuning bagi kompleks prostitusi. Ia mengaku sedih karena branding yang terbentuk sangat kuat dan nyaris menghilangkan jejak peninggalan Soen An Ing di Bukit Argorejo.
Tahun 2018, warga Argorejo tergerak membangkitkan nilai sejarah Soen An Ing. Diawali dari usul para personel TNI untuk penyelenggaraan haul Soen An Ing. Dengan antusias warga mendukung.
"Bagi saya, ini istimewa. Lokasi yang berdampingan dengan komplekstak membuat kami risih ngaji bareng di makamnya Soen An Ing," kata Sayem.
Ketua panitia haul, Serka Usman dari Skadron 11 Serbu Penerbad mengangankan bukit Argorejo bisa menjadi salah satu tujuan ziarah. Sebagaimana Kelenteng Sam Poo Kong yang menyimpan petilasan Laksamana Cheng Ho.
"Mudah-mudahan terwujud, sehingga kesan diluar bahwa Sunan Kuning itu lokalisasi prostitusi lambat laun memudar," kata Usman.
Â
Advertisement
Menjadi Sastra Lisan
Dalam ceramahnya, KH Budi Sulaiman, mengisahkan perjalanan Soen An Ing. Ia adalah seorang mualaf sejak 30 tahun terakhir. Dalam perkembangannya, Soen An Ing menjadi tokoh lintas agama. Umat Islam, Kristen, Hindu, Buddha sampai Khonghucu mengakui eksistensi Soen An Ing.
KH Budi Sulaiman berharap perayaan haul Soen An Ing bisa menjadi wadah untuk mempererat silaturahmi yang terjalin antara warga lokal dengan para peziarah yang mayoritas dari etnis Thionghoa. Menjadi sebuah peristiwa budaya.
"Saya sendiri adalah peranakan Tionghoa. Saya muslim dan mengapresiasi acara ini. Lihat saja kita semua bisa berkumpul, ngaji bareng di makamnya wali esar di Semarang. Yang hadir bukan hanya umat muslim, namun juga agama lain. Ini bagus sekali, bahkan Soen An Ing ini sudah meninggal pun masih bisa menyatukan umat," ujar Budi.
Hikayat Soen An Ing yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kuning karena berkulit kuning ini, ditularkan lewat penuturan turun temurun. Saiful Bakrie salah satu warga mengatakan bahwa makam Soen An Ing sudah ada di kampungnya sejak ratusan tahun silam. Dia pun menerima kisah tentang kebesaran Soen An Ing secara turun temurun.
Â
Pemkot Kurang Ajar?
Soen An Ing menjadi tokoh bangsawan tertinggi peranakan Thionghoa yang hidup pada 1740-1743 silam. Ia menjadi salah satu ulama besar di jaman Wali Songo. Di kompleks pemakaman Soen An Ing itu ada tiga makam pengikutnya.
Pada tahun 1962, Pemkot Semarang memindahkan komplek prostitusi di dekat areal makam. Sejak itu nama Sunan Kuning dikenal sebagai kompleks prostitusi.
Menurut sejarawan Semarang Jongkie Tio, nama Soen An Ing tercatat dalam buku sejarah Indonesia berjudul Babat Pecinan. Soen An Ing adalah anak Amangkurat IV yang ikut berjuang menumpas penjajahan kolonial Belanda.
"Dari penyebutan Soen An Ing, banyak orang keseleo lidah menyebut kompleks lokalisasi jadi Sunan Kuning. Tentunya ini tindakan yang tidak sopan sekali," kata Jongkie.
Sementara itu, juru kunci makam Siti Qomariyah bercerita bahwa pada hari tertentu makam Soen An Ing dipadati warga Tionghoa yang berziarah. Di dalam cungkup (rumah makam) tersebut ada altar dan tempat dupa, kongco atau patung dewas dan sebuah makam yang diyakini berisi jasad sang kyai.
"Yang datang pakai rombongan bus dari Surabaya, Sukorejo Kendal, Yogyakarta maupun daerah sekitar Semarang," kata Qomariyah.
Qomariyah mengatakan dari cerita peziarah banyak dari doa mereka terkabul dengan setelah mendoakan Soen An Ing. Rata-rata para peziarah meminta kelimpahan rezeki, enteng jodoh atau keinginan lainnya.
Advertisement