Sukses

Peringatan Aktivis Lingkungan soal Perburuan Harimau Bonita

Desakan masyarakat untuk membunuh harimau Bonita bisa dimanfaatkan sejumlah pihak, termasuk para pemburu liar.

Liputan6.com, Indragiri Hilir - Tewasnya buruh bangunan bernama Yusri lantaran diserang harimau Sumatera membuat ratusan warga marah. Petugas Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) diberi tenggat atau batas waktu tujuh hari menangkap harimau tersebut, jika tidak masyarakat bertindak sendiri dengan membunuhnya.

Kencangnya isu ataupun tuntutan agar "Datuk Belang" bernama Bonita ini segera dilumpuhkan dapat saja dimanfaatkan oleh pihak tertentu. Mulai dari pemburu liar hingga pihak yang punya kepentingan terkait lahan perkebunan di sana.

"Memungkinkan dimanfaatkan pemburu liar, bisa jadi banyak orang mengembuskan isu supaya kondisinya makin liar," ucap aktivis lembaga konservasi global WWF Bidang Harimau, Soemantri, saat dikonfirmasi dari Kota Pekanbaru, Riau, Selasa, 13 Maret 2018.

Menurutnya, memanfaatkan harimau Sumatera sebagai isu hangat dan pengalih perhatian sudah sering terjadi, bahkan di Provinsi Riau. Terutama, pihak-pihak yang berkepentingan di wilayah konflik antara manusia dan hewan liar.

"Mereka biasanya memanfaatkan harimau yang terbunuh, sehingga persoalan lahan yang ada menjadi fokus ke harimau," Soemantri menegaskan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 3 halaman

Dahulu Kampung Harimau

Lokasi Bonita berkeliaran dahulunya merupakan habitat harimau. Tak hanya Soemantri, BBKSDA juga sudah menyatakan hal tersebut.

Soemantri menyebut lokasi sekarang termasuk lanskap Suaka Margasatwa Kerumutan yang membentang dari Pelalawan, Indragiri Hulu, dan Indragiri Hilir.

Seiring royalnya pemerintah memberi izin konsesi di Riau, setidaknya ada 15 perusahaan HTI (hutan tanaman industri) dan tujuh perkebunan sawit berdiri di Kerumutan dengan luas 120 ribu hektare.

"Dan habitat harimau telah dirusak perusahaan perkebunan sawit dan HTI di lanskap Kerumutan," terang Koordinator Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), Woro Supartinah, saat dikonfirmasi secara terpisah.

Menurut Woro, lanskap Kerumutan itu dulunya diisi beragam flora dan fauna. Tak hanya harimau Sumatera, di Kerumutan ini juga hidup macan dahan serta hewan langka lainnya.

"Akibat pembukaan lahan, konflik harimau tak bisa dihindari," tuturnya.

Atas kejadian ini, Jikalahari meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengevaluasi keberadaan HTI dan perusahaan sawit di lanskap Kerumutan. "Kami mendesak dibentuk tim evaluasi tata kelola dan tata guna Kerumutan," Woro menegaskan.

 

3 dari 3 halaman

Pemburu Liar Juga Incar Bonita

Di sisi lain, ketika Bonita mulai mencuri perhatian pada awal Januari 2018 dengan korbannya Jumiati, BBKSDA yang turun ke Desa Tanjung Simpang, Kecamatan Pelangiran, Kabupaten Indragiri Hilir, harus berpacu dengan beberapa pemburu liar.

Keberadaan pemburu liar menguat setelah petugas menemukan beberapa jerat harimau yang dipasang di perlintasan Bonita. Petugas juga menemukan pondok di tengah hutan.

Meski kosong, pendok dari kayu itu berisi bahan-bahan pembuat jerat harimau, seperti tali. Semuanya kemudian disita petugas dan dimusnahkan.

Perihal pemburu liar ini sebelumnya juga sudah diamini Kepala Bidang I BBKSDS Riau, Mulyo Hutomo. Dia pun menyebut pemburu liar ini mundur secara perlahan ketika petugas bersiaga di lokasi konflik manusia dengan harimau itu.

Dengan adanya korban kedua, isu membunuh Bonita bisa menjadi cara "halal" agar menghilangkan mamalia itu secara paksa. Tanpa relokasi yang selama ini diusahakan BBKSDA.