Liputan6.com, Semarang - Perundungan atau bullying terhadap anak masih menjadi isu sangat strategis. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak berusaha terus menurunkan angka perundungan. Bekerjasama dengan UNICEF, dikembangkan Model Program Pencegahan Perundungan dan Penerapan Disiplin di sekolah.
Asisten Deputi Perlindungan Anak KPPA Rini Handayani menjelaskan langkah antisipatif atas tingginya angka kekerasan pada anak. Sejauh ini, sekolah justru menjadi tiang tumpu kekerasan pada anak.
"Padahal telah ada Permendikbud no 82 tahun 2015, tentang pencegahan dan penanggulangan kekerasan di sekolah," kata Rini Selasa (20/3/2018).
Advertisement
Baca Juga
Bersama Unicef kementerian kemudian merumuskan upaya penanggulangan dan pencegahan. Kesimpulannya menggunakan dua jalur, meningkatkan peran anak dan perubahan mindset guru.
"Anak dilibatkan sebagai agen perubahan. Juga butuh intervensi terhadap guru dan lingkungan siswa. Kini sudah ada 3000 sekolah yang masuk kategori sekolah ramah anak," kata Rini.
Berdasarkan hasil penelitian yang di release oleh Global School-Based Health Survey pada tahun 2015, di Indonesia tercatat 21Â persen anak mengalami perundungan di sekolah, dan ada 20,8% anak mengalami perundungan di pulau Jawa.
Bersama Unicef, Kementerian memilih Kota Semarang dan Makassar untuk fokus penanganan kasus perundungan. Alasannya dua kota ini memiliki kultur yang nyaris sama, yakni dengan jumlah kekerasan terhadap anak sangat tinggi.
"Kami belum bisa menyurvei keseluruhan, tetapi Jawa Tengah menempati lima besar kasus kekerasan terhadap anak di Indonesia. Dibawahnya terdapat Jawa Barat dengan luasan wilayah yang lebih luas lagi," kata Rini.
Â
Adaptasi Program Amerika
Dua peneliti Unicef, masing-masing Prof Lucy Bowes dari Oxford university dan Emilie Minnick sebagai Spesialis Perlindungan Anak dan Gender digandeng untuk menggodok strategi dalam menyelamatkan anak-anak dari tindakan bullying.
Program ini menjadi istimewa karena bisa kolaborasi dengan orangtua murid dan siswa. Dengan menerapkan program, ia mengharapkan adanya perubahan signifikan dalam proses pembelajaran para guru di kelas untuk mencegah kekerasan terhadap siswa.
"Kami akan mengembalikan posisi guru sebagai pendidik dan pengajar para siswa," kata Rini.
Di tempat yang sama, Emilie Minnick, Spesialis Perlindungan Anak dan Gender Unicef Indonesia menilai Semarang dan Makassar dipilih sebagai proyek percontohan memerangi kasus bullying mengingat wilayahnya yang punya permasalahan kompleks.
"Makassar menuju Kota Layak Anak. Begitu pula dengan Semarang," kata Emilie.
Emile menilai bahwa inovasi dalam program ini adalah dengan melibatkan anak dalam pencegahan bullying, dan mendorong anak-anak menyebar virus positif.
"Setiap anak diminta untuk memilih 10 teman, ini memakai sosial network theory. Kemudian dipilih 30-40 untuk menyebarkan virus positif di sekolah. Karena 1 dari 5 anak di Indonesia mengalami bullying," kata Emile.
Sementara itu Prof Lucy Bowes mengatakan bahwa program tersebut diadopsi dari apa yang dipraktekkan di Amerika. Karena terdapat perbedaan kultur, maka program tersebut mengalami penyesuaian.
"Bullying itu isu yang sangat khusus karena sangat berpengaruh pada pendidikan anak. Kami tidak minta guru, tapi peran siswa yang kami tingkatkan dalam pencegahannya," kata Lucy.
Advertisement