Liputan6.com, Denpasar Tak dapat dipungkiri jika salah satu keunggulan Kabupaten Bangli adalah produksi kopi Kintamani yang sudah terkenal ke seantero negeri. Tak hanya di dalam negeri, kopi Kintamani juga terkenal hingga ke mancanegara. Hanya saja, produksi olahan kopi belum dimaksimalkan menjadi pemasukan bagi daerah. Setidaknya hal itu yang disampaikan oleh pengelola pabrik pengolahan kopi Arabika Mengani, Hendarto Setyobudi, Senin (27/3/2018).
Menurut Hendarto, sudah sepatutnya desa-desa di Bangli diberdayakan untuk menjadi motor penggerak industri kopi di Bali. Ia memaparkan, dengan jumlah penduduk Bali sebanyak 4,2 juta ditambah jumlah wisatawan mancanegara dan domestik yang tiap hari ke Bali sebanyak 38 ribu orang, kopi seharusnya menjadi industri unggulan yang memberi sumbangsih besar bagi Bali dan masyarakatnya.
"38 ribu wisatawan itu rata-rata lama tinggalnya adalah tiga hari. Kita ambil saja 20 persen dari 38 ribu itu meminum kopi. Maka, diperlukan sekitar 8,5 ton kopi setiap harinya. Dalam setahun kebutuhan kopi di Bali adalah 3.800 ton," tutur Hendarto.
Advertisement
Baca Juga
Yang mencengangkan, Hendarto menyebut sesungguhnya Bali kekurangan kopi. Ia membandingkan dengan jumlah kamar di Bali sebanyak 130 ribu. Untuk kebutuhan 15 orang turis diperlukan 150 gram kopi seduh. "Sebulan berarti 19 ton dan setahun 7.200 ton yang dibutuhkan di Bali," katanya.
Â
Tiap Tahun Menghasilkan 10.300 Ton Kopi
Setiap tahun, dihasilkan sekitar 10.300 ton kopi dengan rincian 30 persen kopi jenis Arabica dan 70 persen Robusta. Jika kopi jenis Arabica dibanderol seharga Rp5 ribu per kilogram, maka jumlahnya mencapai Rp115 miliar. Sementara untuk jenis kopi Robusta jika dijual seharga Rp4 ribu per kilogram saja maka akan menghasilkan Rp169 miliar.
"Totalnya 285 miliar. Luar biasa uang yang berputar di industri kopi ini. Dalam catatan kami, total perdagangan kopi tiap tahun Rp1,6 triliun dari perkebunan, pengolahan hingga ke hilir. Itu belum ditambah kafe dan lainnya yang punya nilai lebih lagi bisa jadi nilainya mencapai Rp2 triliun," ucap dia.
Advertisement
Butuh Perhatian Pemerintah
Dengan total luas lahan perkebunan kopi di Bali 34 ribu hektare, maka tiap tahun Bali mampu memproduksi 15 ribu ton kopi. "Total petani 57.199 KK menanam kopi jenis Robusta, 16.642 KK kopi jenis Arabika. Sekitar 70 ribu KK hidupnya tergantung dari kopi," ujarnya.
Hanya saja, belum juga kebutuhan kopi di Bali terpenuhi, sudah banyak yang dijual ke luar Bali. Sialnya, begitu kopi Bali diproduksi di berbagai daerah dan menjadi kopi siap saji, maka produk tersebut kembali dipasarkan di Bali dengan harga yang sudah barang tentu melambung tinggi. Alih-alih mengalami peningkatan produksi, sejak tahun 2016 hingga kini produksi kopi justru megalami kemerosotan drastis.
"Tahun 2017 kita harapkan terjadi peningkatan, tetapi merosot jauh dari tahun 2016. Tahun ini juga sepertinya akan merosot lagi. Persoalan yang muncul konversi dari lahan kopi menjadi kebun jeruk atau vila. Kedua, pemeliharaan petani yang relatif rendah. Pemeliharaan dan pemangkasan kopi itu kuncinya industri kopi. Belum lagi ditambah separuh produksi Bali mengalir ke Jawa dalam bentuk gelondong basah," tuturnya.
Ia berharap pemerintah bisa memberikan perhatian terhadap persoalan yang dihadapi petani dan pelaku industri kopi. Bahkan, ia meminta kepada pemerintah untuk turut serta memperhatikan dari hulu hingga hilir.
"Kami mohon agar nantinya mendapat perhatian yang lebih komprehensif, di mana sebetulnya industri kopi ini sudah sampai pada titik merah dari sudut produksi, karena terjadi penurunan drastis. Mohon diperhatikan ke depannya karena industri kopi Bali punya potensi luar biasa dari segi pendapatan," ucap Hendarto sembari mengatakan perusahaannya sudah mengimpor kopi sejak tahun 1825 silam itu.