Liputan6.com, Pangalengan - Tak ada yang salah ketika mendengar nama Bosscha, ingatan langsung tertuju pada sebuah tempat peneropongan bintang di kawasan Lembang di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat. Namun di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, pemilik nama lengkap Karel Albert Rudolf Bosscha punya banyak jejak yang sayang untuk dilupakan.
Di mana saja Bosscha meninggalkan jejak? Berikut penyusuran Liputan6.com.
Advertisement
Baca Juga
Pangalengan termasuk kawasan Bandung Selatan. Berada di wilayah pegunungan dan perbukitan, tempat ini menawarkan udara yang sejuk, semilir angin dan langit yang cerah membiru.
Pada sisi lain wajah Pangalengan adalah hamparan permadani nan hijau yang tampak jelas di Perkebunan Teh Malabar. Walau lokasinya sejauh 45 kilometer dari Kota Bandung, Perkebunan Teh Malabar adalah surga di ketinggian cekungan Bandung.Indahnya pemandangan kebun teh Malabar tak lepas dari faktor ketinggian lokasi yang berada di 1.550 meter di atas permukaan laut (mdpl). Di sini pula, K.A.R. Bosccha memprakarsai kebun teh tertua di Pangalengan, yang kemudian hari diikuti oleh perkebunan teh lainnya seperti Kertamanah, Pasir Malang, Purbasari, Santosa, Talun dan Sedep.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Â
Mengenal Bosscha
Bosscha adalah sosok pemuda 22 tahun ketika tiba di Hindia Belanda. Pada 1887, mulanya dia bekerja untuk pamannya, Edward Julius Kerkhoven, di Sukabumi, Jawa Barat.
Hanya butuh waktu kurang dari sembilan tahun, pria kelahiran Gravenhage, 15 Mei 1865 itu mendirikan Perkebunan Teh Malabar. Menjabat sebagai administrator selama 32 tahun, pria berjuluk Raja Teh Priangan ini sukses mendirikan dua pabrik teh yang menjadikan hasil perkebunannya mampu bersaing di luar negeri.
Dari hasil perkebunan inilah saudagar Belanda itu turut menyumbang ke berbagai yayasan, termasuk mendanai pembangunan Technisce Hogeschool Bandung (ITB), Societeit Concordia (Gedung Merdeka), Sekolah Luar Biasa Cicendo dan yang paling dikenal luas, Observatorium Peneropongan Bintang Bosscha.Tak mengherankan, bila sang meneer (tuan) semasa hidupnya dikenal sebagai pencinta ilmu pengetahuan teknologi (iptek) dan sosiawan. Produk unggulan yang diproduksinya adalah jenis teh hitam yang melalui proses oksidasi sempurna, sehingga menghasilkan rasa dan warna yang khas.
Beberapa produk teh yang dihasilkan Pabri Teh Malabar kini dapat dijumpai di beberapa negara Eropa. Namun, jangan khawatir jika berkunjung ke Malabar tak mendapatkan teh hitam ini. Ada dua produk yang bisa dibeli langsung, yaitu cap Goalpara dan Gunung Mas.
Advertisement
Rumah Bosscha
Selesai mengitari perkebunan teh yang kini dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII, arahkan pada rumah peninggalan sang meneer. Tak jauh dari gerbang utama Perkebunan Teh Malabar atau sekitar 5 menit perjalanan menggunakan roda empat, rumah Bosscha adalah tujuan berikutnya.
Liputan6.com coba memasuki rumah. Tapi, sebelumnya, membayar terlebih dulu tiket retribusi sebesar Rp 5.000. Lalu, pemandu mempersilakan masuk ke rumah yang dahulunya menjadi tempat Bosscha banyak menghabiskan waktu selain berkeliling kebun itu.
Masuk lewat pintu bagian belakang rumah, hawa sejuk seketika berubah menjadi hangat saat memasuki kediaman sang Meneer. Terpampang foto hitam-putih di atas dinding menuju ruang tengah dengan ciri pria gemuk, berkumis dengan senyum simpul. Dialah Bosscha.
Pengelola rumah benar-benar memerhatikan isi ruangan. Sejumlah properti dari abad 18 dan 19 masih terawat dengan baik. Mulai dari sofa antik, meja makan, kursi kayu, serta lampu yang selaras dengan suasana jadul (zaman dahulu). Yang tak kalah pentingnya adalah piano Zeitter & Winkelmann buatan 1837 yang masih menghasilkan suara dengan baik.Ujang, salah seorang staf keamanan Rumah Bosscha menuturkan, pernah atap rumah roboh karena kejadian gempa beberapa tahun lalu. Meski begitu, bagian bangunan tidak mengalami kerusakan berarti.
Bangunan satu lantai dan beratap rendah ini juga memiliki satu bagian yang teramat penting yaitu ruang bawah tanah. Namun, fungsinya saat ini untuk menyimpan barang.
"Dulunya masih berfungsi sebagai tempat evakuasi gempa. Sekarang tempatnya dipakai menyimpan beberapa barang yang sudah tak terpakai," kata Ujang, Minggu, 19 Maret 2018.
Rumah kediaman sang administrator (direktur utama) perkebunan teh ini berlokasi tak jauh dari Gunung Nini, salah satu tempat favorit Bosscha. Di tempat yang sebenarnya bukit itu, juragan perkebunan mengamati kegiatan perkebunannya. Jika kabut tak menghalangi, maka dia akan bisa memantau segala aktivitas di kebunnya yang luas itu.
Kembali ke rumah Bosscha, tepat di belakang rumah terdapat Wisma Malabar (The Malabar Cottage) yang dikelola PTPN VIII. Tersedia kamar untuk menginap bagi wisatawan yang berkunjung. Sewanya mulai dari Rp 325 ribu (awal-tengah pekan) dan Rp 475 ribu (akhir pekan).
"Yang menginap ada yang dari luar kota sampai luar negeri. Paling ramai kalau sudah akhir pekan," Ujang menerangkan.
Makam Bosscha dan Kisah Mistis
Selesai dari Rumah Bosscha, ada satu tempat yang ingin dikunjungi, yaitu sekolah yang didirikan Bosscha. Sekolah yang berada di alam Pangalengan yang didirikan untuk memberikan pendidikan pada karyawannya dan masyarakat sekitar.
Namun, mengingat waktu sudah semakin sore dan tampak gelap, perjalanan diarahkan pada makam. Lokasinya tak jauh dari rumah empunya perkebunan.
Agenda menyusuri jejak Bosscha berakhir juga pada tempat persemayaman pria yang meninggal pada 26 November 1928 itu. Cerita yang tersebar luas, sang juragan meninggal di pangkuan salah satu pekerjanya.
Bosscha meninggal akibat penyakit tetanus yang dideritanya karena terinfeksi saat terjatuh dari kuda di Gunung Nini, yang sebetulnya adalah bukit di belakang rumah sang administrator.
Warga yang bekerja di perkebunan teh masih percaya Bosscha masih sering terlihat di beberapa lokasi, termasuk di makamnya sendiri. Tempat favoritnya adalah di kursi dekat pusaranya di mana sang juragan "menampakkan diri" sambil membaca koran.Upir (59), penunggu makam Bosscha mengakui "kehadiran" Tuan Bosscha masih ada. Namun, itu bukan untuk menakut-nakuti. "Tuan adalah orang yang besar, jasanya sangat besar," kata dia.
Upir adalah sosok yang kini bertutur tentang Tuan Bosscha. Hal itu dituturkan dari mertuanya, Iyet Samhuri.
Pria bernama asli Uus Supriatna ini menuturkan, tragedi kematian tuan kebun berawal dari terjerembabnya tunggangan kuda Bosscha di kebun Cikolotok saat perjalanan menuju Nini untuk mengawasi pekerjanya. Luka dari kaki Bosscha terkena kotoran kuda yang sejak saat itu terserang tetanus yang masuk ke tubuhnya.
Sesuai dengan permintaan sendiri, Bosscha dimakamkan di tengah kebun dan dikelilingi dengan hutan kecil. Sekeliling makam terdapat sejumlah pohon besar berumur tua. Sedangkan di bagian depan makam terdapat prasasti tanda jasa Bosscha semasa hidupnya.
Sementara, rancangan bangun makam sendiri memiliki bentuk yang unik. Bagian atapnya berbentuk bundar menyerupai topi dengan ditopang pilar-pilar layaknya bangunan khas Eropa. Dan, lagi-lagi terdapat foto Bosscha yang khas itu.
Upir mengaku hanya bekerja saat pagi hingga siang. "Saat malam tidak ada yang jaga, saya khawatirnya banyak yang mengambil pohon. Sudah sering kejadian," ujarnya.
Advertisement