Sukses

Ritual Sakral hingga 'Berburu' Lumba-Lumba Semarakkan Festival Tidore 2018

Perhelatan kolosal Festival Tidore 2018 digelar sejak 30 Maret hingga 12 April 2018.

Liputan6.com, Tidore - Dalam dua pekan terakhir, beragam ajang menyemarakkan peringatan Hari Jadi Tidore (HJT) ke-910. Perhelatan kolosal Festival Tidore 2018 digelar sejak 30 Maret hingga 12 April 2018.

Festival Tidore 2018 resmi dibuka, pada Jumat malam, 30 Maret 2018. Pembukaan diawali prosesi adat Rora Ake Dango (Air Bambu), di Sonine Gurua (tanah lapang tempat ritual adat) Kelurahan Gurabunga, Kelurahan Tidore, Tidore, Maluku Utara.

Ake Dango adalah ritual paling sakral dari beberapa rangkaian acara yang ada. Menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tidore, Yakub Husain, ritual ini adalah tradisi asli Tidore. Keaslian bisa dilihat dari ritual pengambilan air suci (Tagi Kie) dan bersih gunung.

"Tagi Kie dan bersih gunung memang belum di-publish ke umum dan media. Karena, ritual ini dilakukan oleh orang khusus saat mengambil air dari puncak Gunung Tidore," ucap dia di sela gladi bersih Ake Dango, beberapa hari lalu, dilansir Kementerian Pariwisata (Kemenpar) yang dikutip Liputan6.com, Rabu (11/4/2018).

Sumber air di puncak Gunung Tidore adalah tempat keramat. Sumber air ini juga disebut sebagai pelakon utama atau sumber utama kehidupan. Tidak sembarang orang bisa mengambil air itu. Hanya keturunan lima Sowohi (kepala suku) yang boleh mengambilnya.

"Di sana juga ada sumber air nya. Air ini anggapan kami di sini sebagai air suci dan sebagai sumber kehidupan manusia," katanya.Ritual dan prosesi adat mengawali Festival Tidore 2018 yang berlangsung sejak 30 Maret hingga 12 April 2018. (Foto: Dok. Kemenpar)Air itu menjadi penting, lantaran diantarkan ke pihak Kesultanan Tidore, pada Sabtu, 31 Maret 2018. Dan dilanjutkan dengan Prosesi Ratib Haddad Farraj. Namun, air itu diinapkan terlebih dahulu di lima rumah adat dari lima Sowohi marga yang ada di Kesultanan Tidore. Sowohi ini lah sebagai penjaga wilayah Kesultanan Tidore.

Sementara, Wali Kota Tidore Kepulauan, H Ali Ibrahim, mengatakan prosesi Ake Dango merupakan ritual pertemuan Lima Marga. Prosesi itu untuk mengantarkan air menggunakan Rau yang telah diambil dari puncak gunung. Air dan Rau itu dipersatukan dalam Bambu (Dango).

"Air yang disatukan dalam bambu (Ake Dango) selanjutkan didiamkan semalam di Sonine Gurua dengan dijaga oleh perwakilan Lima Marga yang bersenjatakan parang dan salawaku. Penjagaan ini dilakukan demi keamanan agar Ake Dango tidak mendapat gangguan sampai besok paginya," ujar Ali.

Prosesi dilakukan pada pukul 20.00 Wita. Dengan suasana gelap hanya diterangi obor-obor api. Ritual ini menjadi tontonan menarik bagi masyarakat dan wisatawan yang datang ke Tidore.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 5 halaman

Kembangkan Tidore sebagai Daerah Wisata

Wali Kota Tidore, H Ali Ibrahim pun memberikan apresiasi atas digelarnya prosesi adat Ake Dango. "Kegiatan ini penting dan patut mendapat dukungan semua pihak, karena terkait langsung dengan upaya pemerintah daerah mengembangkan Tidore Kepulauan sebagai daerah wisata di Indonesia," tuturnya.

Menurutnya, Kesultanan Tidore bersama masyarakat adat telah memberi sumbangan besar dalam perkembangan peradaban masyarakat Kota Tidore Kepulauan. Ada nilai-nilai yang dikembangkan sebagai budaya dan peradaban asli. Seperti Fomagogoru se Madodara, Maku Waje, Maku Toa Soninga, Maku Sogise, Maku Digali, Maku Duka.

Nilai-nilai yang bermakna kerja sama untuk kepentingan bersama tersebut, terbukti telah membentuk karakter masyarakat.

"Juga menjadi modal sosial yang sangat penting. Terutama bagi keberhasilan pembangunan di Kota Tidore Kepulauan. Sebab dengan nilai-nilai ini masyarakat kita dapat hidup dengan rukun, damai, aman, dan harmonis," ucapnya.

Wali Kota menyatakan pihaknya menaruh perhatian besar dalam pengembangan Adat Se Atoran, beserta kelembagaannya. Hal ini tercermin dari salah satu misi, yaitu penguatan adat, budaya, dan nilai-nilai kearifan lokal, sebagai modal sosial untuk mendorong akselarasi pembangunan pariwisata daerah.

"Semoga prosesi adat Ake Dango semakin mempererat rasa kebersamaan dan kerja sama antara sesama. Serta menuju visi mewujudkan kemandirian Kota Tidore Kepulauan sebagai kota jasa berbasis agro-marine," katanya.Ritual dan prosesi adat mengawali Festival Tidore 2018 yang berlangsung sejak 30 Maret hingga 12 April 2018. (Foto: Dok. Kemenpar)Sementara, Sultan Tidore, H Husain Syah mengatakan masyarakat Tidore adalah masyarakat yang bijaksana dalam menyikapi perbedaan, menjunjung tinggi toleransi, dan dapat membangun semangat persatuan.

"Insyaallah, jika kita bersatu, kita bekerja sama, dan bergotong royong, maka apa yang menjadi cita-cita bersama akan dapat diselesaikan," tutur Sultan.

Tujuan pelaksanaan kegiatan ini adalah mengangkat kembali nilai-nilai budaya, peradaban serta adat istiadat masyarakat Tidore sebagai implementasi dari rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah daerah seperti yang tertuang dalam visi-misi Pemerintah Kota Tidore Kepulauan.

Kegiatan ini turut dihadiri oleh Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, Ketua dan anggota DPRD Kota Tidore Kepulauan, Ketua TP PKK, Hj. Sulama Ali Ibrahim, Permaisuri Sultan, Pimpinan Cabang BRI Tidore, serta pimpinan SKPD.

Adapun Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya mengatakan, dalam memajukan pariwisata Tidore Kepulauan ini tidak hanya dilakukan pemerintah setempat. Namun, butuh dukungan semua pihak.

"Upaya pengembangan pariwisata itu harus dilakukan semua pihak, atau semangat Indonesia Incorporated. Harus dikedepankan kolaborasi pemerintah untuk memajukan Tidore ini. Sebab upaya tidak hanya bisa diserahkan kepada satu pihak saja. Harus semua stakeholder," ujarnya.

Menpar Arief Yahya meminta kepada Festival kegiatan dan kemeriahan Festival Tidore harus digaungkan di sosial media, dan harus tersebar hingga dunia international.

"Kemasannya juga harus level international, agar Wisman juga tertarik dan menikmati atraksi di Tidore," ujar Menpar.

 

3 dari 5 halaman

Serunya 'Berburu' Lumba-Lumba Pulau Mare

Festival Tidore 2018 pun dimanfaatkan Generasi Pesona Indonesia (GenPI) untuk mengeksplorasi kekayaan alam daerah setempat. Salah satunya Pulau Mare. Pulau ini memiliki keunikan yang memang harus dieksplorasi.

Daya tarik utama Pulau Mare adalah sekumpulan lumba-lumba liar. Jika ingin melihat lumba-lumba di tempat ini, pengunjung ataupun wisatawan bisa naik kapal kayu dari Pelabuhan Rum, Ternate. Perjalanan biasanya memakan waktu sekitar 20 menit dari pelabuhan.

Perwakilan GenPI Jakarta, Jateng, Palembang, Lampung, Yogyakarta, dan Lombok, dibuat penasaran untuk membuktikannya.

Dengan menggunakan kapal mesin milik nelayan, rombengan yang dikoordinasi Elza Dari GenPI Jogja, menuju Pulau Mare dari Pulau Tidore. Sayangnya, mereka tidak berjumpa dengan lumba-lumba. Karena, waktu yang dipilih tidak tepat.

Berdasarkan keterangan warga, untuk melihat lumba-lumba, pengunjung harus berangkat 06.00 WIT dan sekitar jam 18.00 WIT. Namun, waktu yang direkomendasikan adalah pukul 06.00 WIT. Karena, di jam itu para lumba-lumba baru bangun dari tidurnya.

Walau tidak bertemu lumba-lumba, masih banyak yang bisa didapat di Pulau Mare ini. Kita bisa melakukan diving atau snorkeling. Apalagi pemandangan bawah laut Pulau Mare luar biasa. Apalagi, keanekaragaman ikan-ikan di laut ini juga tak kalah luar biasanya.Ritual dan prosesi adat mengawali Festival Tidore 2018 yang berlangsung sejak 30 Maret hingga 12 April 2018. (Foto: Dok. Kemenpar)

Selain itu, pelancong bisa menyaksikan keindahan ekosistem hutan mangrove di Pulau Mare. Mengelilingi pantai yang ada di pulau ini juga bisa dilakukan. Atau menyaksikan aktivitas warga. Terutama, saat mencari ikan di laut, atau bercocok tanam di perkebunan maupun di sawah.

Pulau Mare juga dikenal sebagai pulau penghasil gerabah. Gerabah dari Pulau Mare banyak digunakan masyarakat dari Maluku hingga Papua. Anehnya, laki-laki di Pulau Mare tak satu pun yang dapat membuat gerabah. Semua jenis gerabah dibuat oleh perempuan.

 

4 dari 5 halaman

Mitos di Pulau Mare

Menurut mitos di Pulau Mare, sejak dahulu laki-laki di Pulau Mare dilarang membuat gerabah. Membuat gerabah adalah pekerjaan perempuan. Konon, bila larangan itu dilanggar, maka laki-laki tersebut tidak bisa punya anak.

Mitos tersebut hingga kini masih berlaku di Pulau Mare. Meskipun begitu, bukan berarti semua proses pekerjaan membuat gerabah dilakukan oleh perempuan.

Untuk menggali tanah liat yang terdapat di gunung, biasanya dilakukan oleh laki-laki. Begitu juga setelah gerabah jadi, maka tugas kaum laki-laki yang menjualnya ke luar pulau.

Gerabah yang dihasilkan merupakan gerabah tradisional. Artinya, gerabah yang dihasilkan merupakan perkakas yang masih dibutuhkan untuk melestarikan adat istiadat masyarakat di Maluku dan Papua. Misalnya, gerabah untuk membakar sagu yang disebut forno, hito untuk membakar dupa, ngura-ngura untuk menutup makanan, kuali, belanga, dan lainnya.

Ritual dan prosesi adat mengawali Festival Tidore 2018 yang berlangsung sejak 30 Maret hingga 12 April 2018. (Foto: Dok. Kemenpar)

Akses menuju Pulau Mare juga cukup mudah. Untuk ke Tidore, pengunjung harus naik kapal dari Pelabuhan Bastiong Ternate menuju ke Pulau Tidore. Harga tiket kapal reguler ini sekitar Rp 10.000 per orang. Namun, jika pengunjung ingin menyewa kapal harga sewanya adalah Rp 100.000 per trip/perjalanan.

Dari Pulau Tidore, perjalanan ditempuh lewat pelabuhan penyeberangan rakyat. Tepatnya, di Kelurahan Tomalou. Dari Tomalou, kamu bisa naik kapal regular seharga Rp 35.000 per orang. Selain itu, wisatawan bisa menyewa kapal motor masyarakat menuju ke Pulau Mare.

 

5 dari 5 halaman

Agenda Festival Tidore 2018

Merujuk laman Dinas Pariwisata Tidore, dalam edisi ke-10 tahun, Festival Tidore 2018 menyoroti budaya tradisional masyarakatnya yang kaya dan terus terjaga sampai hari ini.

Tidore dan Ternate adalah dua pulau kecil di sebelah barat Pulau Halmahera yang lebih besar di Maluku Utara, sekarang lebih dikenal sebagai Pulau Rempah-Rempah asli. Dalam sejarah, baik Ternate maupun Tidore pernah menjadi Kesultanan yang berkuasa yang memerintah di sekitar lautan Indonesia timur.

Festival Tidore 2018 menampilkan tiga kegiatan utama. Pertama adalah Parade Juanga yang menampilkan pelayaran kapal tradisional yang berwarna-warni dalam formasi perang.

Armada itu dipimpin oleh Sultan Tidore sendiri ditemani oleh keluarga kerajaan dan dijaga oleh tentara. Kedua adalah Penjelajahan Panji, penelusuran kembali atas perjalanan yang dilakukan oleh Sultan pada saat Pemberontakan oleh Sultan Nuku.

Sedangkan ketiga adalah prosesi kerajaan Sultan Tidore dan rombongan, yang segera diikuti oleh pembukaan Museum Maritim Dunia di Istana Tidore.

Ritual dan prosesi adat mengawali Festival Tidore 2018 yang berlangsung sejak 30 Maret hingga 12 April 2018. (Foto: Dok. Kemenpar)

Festival Tidore juga menampilkan Prosesi Kota Tupa (perjalanan ke rumah-rumah Sowohi atau orang tua di Tambula, Folarora, dan Guruabanga yang terletak di kaki Gunung Kie Matubu), prosesi Tag Jie (perjalanan ke puncak Gunung Mar 'ijan), Rora Dange Ake Dango (ritual penggabungan perairan dari rumah Sowohi Romtoha Tomayou), dan pawai Ny Puja Nyilu.

Selain itu ada juga pameran, pertunjukkan seni, karnaval budaya, seminar budaya, dan lainnya.

Selama Parade Juanga, ratusan kora-kora (kapal perang tradisional khas Kesultanan Tidore) berlayar mengelilingi pulau yang dipimpin oleh Sultan Tidore Husain Sjah ke-37.

Sultan dan rombongannya kemudian berlayar ke pulau tetangga, Ternate. Di sana, mereka disambut oleh Wali Kota Ternate, Burhan Abdurahman. Tarian tradisional Cakalele dan Soya-soya juga dilakukan dengan kuat oleh para penari untuk menyambut Sultan.

Prosesi berlanjut ke Kafaton Tidore, juga dikenal sebagai Tanah Para Raja.

Perahu tradisional yang unik, dan tarian menawan menarik perhatian ratusan penduduk setempat dan pengunjung internasional yang datang. Terutama dari jauh untuk menyaksikan rangkaian acara spesial ini.