Liputan6.com, Semarang - Pemulung pada zaman Soeharto pernah diperkenalkan kepada masyarakat dengan nama Laskar Mandiri. Mereka adalah orang-orang yang pekerjaannya mengumpulkan barang bekas dan rongsokan dari mana saja, tak terkecuali tempat sampah.
Tentu pendapatan yang dihasilkan kecil jika dibanding aparatur sipil negara. Tapi, mereka boleh memiliki cita-cita atau impian berangkat ibadah umrah. Utopis atau khayalan? Ya, kedengarannya.
Berikut simak kisah Samad yang memiliki keinginan memberangkatkan umrah para pemulung di Semarang, Jawa Tengah.
Advertisement
Kisah diawali dari panas dan pengapnya sebuah tempat pengepul barang bekas di pojok Jalan Kolonel Sugiyono. Tumpukan kardus, plastik, besi, dan kertas jadi penghalang jangkauan pandangan mata.
Baca Juga
"Selamat pagi," seorang perempuan muda menyambut ramah kedatangan Liputan6.com, Jumat (13/4/2018).
Perempuan itu kemudian beringsut dan tak lama datang sang suami. Badannya atletis, model rambutnya disisir dengan jambul, dan dicat merah. Sangat gaul. Tak menyangka ia adalah juragan para pemulung di Semarang.
Laki-laki berjambul itu bernama Samad. Perempuan tadi adalah istrinya, bernama Nanik Wijiastuti. Mereka berdua menjadi tujuan utama 250 pemulung di Semarang. Jika disebut pengusaha, mereka adalah pengusaha pengepul barang bekas dari pemulung.
"Maaf seadanya ya. Di sinilah para pemulung menjual hasil kerja keras mereka seharian. Biasanya mereka menjual besi-besi bekas, plastik maupun kardus dengan harga bervariasi," kata Samad.
Harga yang diberikan berbeda-beda. Misalnya plastik, ia hargai Rp 6.500 per kilogram. Tentu masih ada barang bekas lain yang dia beli.
Setiap hari, Samad mampu mengumpulkan 15 ton kardus, 2 ton plastik, 200 kuintal logam, serta 4 ton besi bekas dari para pemulung binaannya. Hasilnya ia kirim ke pabrik-pabrik di Tangerang, Surabaya dan Solo untuk didaur ulang dan dijadikan barang-barang kebutuhan rumah tangga baru.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Hijrah, dari Pemulung Menjadi Juragan
Samad berasal dari Kaligondang, Kabupaten Demak. Pekerjaannya tak lepas dari latar belakangnya sebagai pemulung sejak kecil. Saat itu, Samad kecil sering membantu ibunya memunguti barang bekas yang berserakan di jalanan. Perjalanan takdir, ia mengadu nasib sampai kawasan Kota Lama Semarang.
Di Kota Lama ini, ia berpikir tentang perubahan hidup. Samad lalu meminjam modal usaha dan mulai membuka tempat jasa pengepul barang bekas.
"Saya namai tempat saya ini Sumber Nikmat. Yang bermakna sumber dari segala kenikmatan para pemulung," kata Samad.
Nanik Wijiastuti, sang istri ikut bergabung dalam obrolan intim. Diceritakan bahwa usaha itu dibuka lima tahun terakhir. Selain menampung hasil para pemulung, mereka mampu memperkerjakan 50 pekerja.
"Kami terbuka. Pekerja dan para pemulung bebas memberi masukan tentang proyeksi ke depan. Bahkan, ketika ulang tahun pernikahan, kami memberi penghargaan juga kepada para pemulung itu," kata Nanik.
Tempat itu memang bukan hak milik. Samad dan Nanik menyewa lahan kosong itu. Yang keren, mereka memiliki pendapatan hingga Rp 500 juta per bulan. Rencananya, mereka akan membeli mesin pres yang lebih besar.
"Karena kompetisi sekarang sangat ketat. Kalau ingin bisa bersaing harus punya jembatan timbang seharga Rp 1 miliar," ujar Samad.
Â
Advertisement
Menabung, Penghargaan dan Umrah Gratis
Dengan obrolan yang menyebut angka ratusan juta dan miliaran rupiah itu, Samad memiliki keinginan mengangkat derajat para pemulung. Tentu tak lepas dari pengalamannya ketika menjadi pemulung.
"Saya ajak mereka menabung. Saya mendirikan layanan tabungan khusus pemulung. Harapannya, para pemulung bisa memanfaatkan dan mengamankan uangnya agar tidak tercecer di jalanan ataupun habis tak karuan," kata Samad.
Gayung bersambut. Setidaknya ada 150 pemulung yang ikut program ini. Mereka menabung dan dicatat rapi di buku tabungan.
"Ada yang menabung Rp 10 ribu setiap hari, Rp 20 ribu setiap minggu. Bahkan, bulanan juga ada. Â Per hari ada, per minggu ada bulanan ada," tutur Samad.
Pemanfaatan tabungan para pemulung ini pun meski Samad tak ikut campur. Namun, ia selalu memberi dorongan semangat dan saran. Baginya para pemulung bukan hanya aset usaha, namun juga rekan bahkan saudara senasib.
Â
Berhadapan dengan Kebijakan Impor Barang Bekas
Samad dan Nanik membayangkan, jika uang para pemulung itu dikelola dengan benar, maka ada pula pemulung yang sudah berangkat haji. Samad dan Nanik berpikir lebih, mereka ingin memberangkatkan umroh para pemulung itu.
"Kami punya angan-angan memberangkatkan pemulung umroh. Kita sedang mencari waktu yang tepat buat mereka," kata Samad.
Salah satu hambatan yang saat ini ada adalah kebijakan pemerintah yang membuka keran impor barang bekas. Kebijakan itu membuat harga jual barang bekas jadi sangat murah. Pabrik lebih suka berhubungan dengan importir.
"Mestinya pemerintah berterimakasih karena membantu kebersihan kota. Dan kami tidak meminta bayaran ke pemerintah," kata Samad.
Dari impor itu, Samad mencontohnya turunnya harga. Misalnya kertas atau kardus bekas dari Rp 3 ribu turun menjadi Rp 2.400 tiap kilogram. Barang bekas hasil pemulung dalam negeri sendiri menurutnya sudah mencukupi. Tak perlu ada impor barang bekas.
Â
Advertisement